Gift
Namanya Giftan. Laki-laki tinggi dengan aroma parfum yang bahkan sampai saat ini aku sama sekali nggak tau merk-nya, adalah satu-satunya laki-laki yang ku beri sewa gratis di pikiranku, sejak lima tahun lalu. Kutempelkan sebelah pipiku ke kaca jendela kamar, sambil sesekali melirik ponsel yang ku taruh di ujung tempat tidur – menunggu kabar darinya.
Giftan dan aku sudah mengenal satu sama lain sedari kami duduk di bangku SMA, entah nasib buruk atau baik, kini, aku dan dia ada di satu fakultas yang sama, namun dengan jurusan yang berbeda.
Bohong kalau aku bilang Giftan nggak menarik, karena nyatanya dia amat sangat menarik. Bahkan kalau boleh jujur, salah satu alasan terbesarku datang ke sekolah, dulu, adalah karena Giftan. Kadang kami bertemu secara kebetulan di tangga menuju lantai dua, dia yang masuk dari parkiran dan aku yang masuk dari gerbang utama, yang sejurus kemudian membuat kami tertawa, perihal kebetulan yang terlalu sering terjadi. Lucu.
Giftan, si menyenangkan. Dari awal menaruh hati, aku pribadi sudah siap dengan segala konsekuensinya – bersaing dengan hampir seluruh perempuan di sekolah, yang sudah pasti jauh lebih cantik, lebih pintar, dan lebih baik.
Satu waktu di jam istirahat saat kami kelas 11, Giftan duduk di sebelahku sambil membuka bekal makan siang buatan Mama-nya, sebelum berkata, “Namira ngirimin gue voice note nyanyi.”
Ada yang aneh? Ada. Dari sekian banyak orang, kenapa harus aku yang diberi tahu perihal berita ini?
“Nyanyi apa?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari buku catatan yang sedang kubaca di atas meja.
Giftan merogoh saku celana abu-abunya, mengeluarkan ponsel hitam miliknya yang kemudian ia dekatkan ke telingaku. Suara Namira – si pemegang tahta nomor satu gadis paling cantik di sekolah, mengalun indah menyanyikan salah satu lagu Sara Bareilles, lengkap dengan alunan piano.
“Bagus suaranya.” jawabku, where's the lie though, memang bagus kok. “Kirim voice note balik aja, nyanyi apa gitu, supermassive black hole misalnya.”
Sepersekian detik kemudian, aku menerima cubitan tanpa ampun dari Giftan di kedua pipiku. “Sakit, Giftan!”
Laki-laki dengan tatapan teduh di sebelahku hanya tertawa. Bahunya berguncang hebat, seakan reaksiku seperti punchline komika favoritenya. “Pipi lo chubby, gemes. Namira tirus gitu nggak bisa dicubit.”
Namira, Namira, Namira.
Nama itu selalu ada diantara obrolan kami, kapan pun, di mana pun. Bahkan sampai sore tadi.
Ting!
Giftan : Gue di depan, masuk aja atau lo mau keluar? Giftan : Masuk aja lah, di luar dingin, nggak enak diliatin orang lewat nanti dikira lagi berantem.
Belum sempat aku membalas pesan Giftan, suaranya sudah terdengar di depan pintu kost-ku. “Janiiiii bukaaaaa.”
Aku disambut cengiran lebar miliknya saat membuka pintu. Satu tangannya terangkat memamerkan paperbag restaurant fast food kesukaanku, masih dengan cengirannya yang semakin melebar.
“Kok nggak ada ice cream?” gerutuku saat mendapati isi paperbag cokelat hanya dipenuhi french fries dan cheeseburger. “Nggak ada coca-cola juga pula.”
Satu jitakan pelan berhasil mendarat di keningku. “Coca-cola coca-cola, badan lu kalo dibelah isinya coca-cola doang. Minum tuh air putih.”
“Ih kok marah, emang siapa nyuruh nyuruh.”
Jari tangannya yang sibuk membuka cheeseburger, tiba-tiba berhenti. Kepalanya mendongak ke arahku.
“Lo tau nggak alasan kenapa Namira selalu nolak gue? Karena – “
”– karena lo kurang decent kali buat dia yang sophisticated.”
“Karena gue nggak pernah nembak dia, Jani.” aku tersedak mendengar pernyataan Giftan barusan. “Gimana mau diterima orang gue aja nggak pernah nembak.”
Perlahan aku memberanikan diri menatap kedua matanya. “Terus?”
Giftan menggidikan bahu. “Seru aja bikin lo cemburu.”
Kalau dipikir-pikir, sudah bukan saatnya aku mengelak. Toh aku bukan sedang bermain air di pinggir kolam – I freaking drowning eversince he lent me his jacket for the first time five years ago. “Sejak kapan, Gift?”
“Sejak kapan ya?” Giftan menaikan satu alisnya – nyebelin. Kemudian senyum simpulnya merekah. “Sejak gue sadar setiap lo ada di deket gue, bukannya salting kayak cewek lain tapi malah diem, I mean in a good way ya, don't get me wrong.“
Oh?
“Nama kontak gue di hp lo juga.”
Oh – WHAT?
“Kok tau?”
Bukannya menjawab, Giftan malah menyumpal mulutku dengan cheeseburger yang baru ia buka. “Banyak nanya.”
Setelahnya aku memilih diam. Mencoba mencerna ucapan Giftan tadi, setiap lo ada di deket gue bukannya salting kayak cewek lain tapi malah diem, perasaan hangat menjalar di tubuhku begitu mengingat kalimat yang memang benar adanya.
“Lo capek ya, Jan?” tanyanya, ada sedikit nada kekhawatiran di sana. “Gue egois banget ya, Jan? Sampe lo terang terangan nyuruh gue nembak, pasti lo udah capek banget ya. Maaf ya, Jani.”
Giftan mengulurkan satu tangannya, yang sedikit membuatku kaget, namun segera ku ulurkan satu tanganku.
“Harusnya lo tau kenapa gue nggak pernah punya pacar. Harusnya lo juga tau kenapa setiap jam pelajaran olahraga, dulu, gue selalu titip hp ke lo. Harusnya lo tau kenapa gue nggak biarin lo lepasin headset kita waktu Namira mergokin di kelas.” Giftan menarik napas panjang sebelum menyelesaikan kalimat terakhirnya. “Harusnya lo yang paling tau kalo gue cuma sayang sama lo, dari dulu.”
Tatapan mata kami bertemu.
“Jani,” Giftan tersenyum – manis. “When I looked at you back then, for the first time, it terrifies me. It terrifies me what I would do for you.“
“The feeling is mutual, Giftan.”
“I'm about to say those three words but don't laugh.”
Bermenit-menit setelahnya, nggak ada satu patah kata pun keluar dari bibir tipis milik Giftan, karena yang ada hanyalah bibirnya, di bibirku.
Even though we never said it to each other, we knew.