paperlinesz

Gift

Namanya Giftan. Laki-laki tinggi dengan aroma parfum yang bahkan sampai saat ini aku sama sekali nggak tau merk-nya, adalah satu-satunya laki-laki yang ku beri sewa gratis di pikiranku, sejak lima tahun lalu. Kutempelkan sebelah pipiku ke kaca jendela kamar, sambil sesekali melirik ponsel yang ku taruh di ujung tempat tidur – menunggu kabar darinya.

Giftan dan aku sudah mengenal satu sama lain sedari kami duduk di bangku SMA, entah nasib buruk atau baik, kini, aku dan dia ada di satu fakultas yang sama, namun dengan jurusan yang berbeda.

Bohong kalau aku bilang Giftan nggak menarik, karena nyatanya dia amat sangat menarik. Bahkan kalau boleh jujur, salah satu alasan terbesarku datang ke sekolah, dulu, adalah karena Giftan. Kadang kami bertemu secara kebetulan di tangga menuju lantai dua, dia yang masuk dari parkiran dan aku yang masuk dari gerbang utama, yang sejurus kemudian membuat kami tertawa, perihal kebetulan yang terlalu sering terjadi. Lucu.

Giftan, si menyenangkan. Dari awal menaruh hati, aku pribadi sudah siap dengan segala konsekuensinya – bersaing dengan hampir seluruh perempuan di sekolah, yang sudah pasti jauh lebih cantik, lebih pintar, dan lebih baik.

Satu waktu di jam istirahat saat kami kelas 11, Giftan duduk di sebelahku sambil membuka bekal makan siang buatan Mama-nya, sebelum berkata, “Namira ngirimin gue voice note nyanyi.”

Ada yang aneh? Ada. Dari sekian banyak orang, kenapa harus aku yang diberi tahu perihal berita ini?

“Nyanyi apa?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari buku catatan yang sedang kubaca di atas meja.

Giftan merogoh saku celana abu-abunya, mengeluarkan ponsel hitam miliknya yang kemudian ia dekatkan ke telingaku. Suara Namira – si pemegang tahta nomor satu gadis paling cantik di sekolah, mengalun indah menyanyikan salah satu lagu Sara Bareilles, lengkap dengan alunan piano.

“Bagus suaranya.” jawabku, where's the lie though, memang bagus kok. “Kirim voice note balik aja, nyanyi apa gitu, supermassive black hole misalnya.”

Sepersekian detik kemudian, aku menerima cubitan tanpa ampun dari Giftan di kedua pipiku. “Sakit, Giftan!”

Laki-laki dengan tatapan teduh di sebelahku hanya tertawa. Bahunya berguncang hebat, seakan reaksiku seperti punchline komika favoritenya. “Pipi lo chubby, gemes. Namira tirus gitu nggak bisa dicubit.”

Namira, Namira, Namira.

Nama itu selalu ada diantara obrolan kami, kapan pun, di mana pun. Bahkan sampai sore tadi.

Ting!

Giftan : Gue di depan, masuk aja atau lo mau keluar? Giftan : Masuk aja lah, di luar dingin, nggak enak diliatin orang lewat nanti dikira lagi berantem.

Belum sempat aku membalas pesan Giftan, suaranya sudah terdengar di depan pintu kost-ku. “Janiiiii bukaaaaa.”

Aku disambut cengiran lebar miliknya saat membuka pintu. Satu tangannya terangkat memamerkan paperbag restaurant fast food kesukaanku, masih dengan cengirannya yang semakin melebar.

“Kok nggak ada ice cream?” gerutuku saat mendapati isi paperbag cokelat hanya dipenuhi french fries dan cheeseburger. “Nggak ada coca-cola juga pula.”

Satu jitakan pelan berhasil mendarat di keningku. “Coca-cola coca-cola, badan lu kalo dibelah isinya coca-cola doang. Minum tuh air putih.”

“Ih kok marah, emang siapa nyuruh nyuruh.”

Jari tangannya yang sibuk membuka cheeseburger, tiba-tiba berhenti. Kepalanya mendongak ke arahku.

“Lo tau nggak alasan kenapa Namira selalu nolak gue? Karena – “

”– karena lo kurang decent kali buat dia yang sophisticated.”

“Karena gue nggak pernah nembak dia, Jani.” aku tersedak mendengar pernyataan Giftan barusan. “Gimana mau diterima orang gue aja nggak pernah nembak.”

Perlahan aku memberanikan diri menatap kedua matanya. “Terus?”

Giftan menggidikan bahu. “Seru aja bikin lo cemburu.”

Kalau dipikir-pikir, sudah bukan saatnya aku mengelak. Toh aku bukan sedang bermain air di pinggir kolam – I freaking drowning eversince he lent me his jacket for the first time five years ago. “Sejak kapan, Gift?”

“Sejak kapan ya?” Giftan menaikan satu alisnya – nyebelin. Kemudian senyum simpulnya merekah. “Sejak gue sadar setiap lo ada di deket gue, bukannya salting kayak cewek lain tapi malah diem, I mean in a good way ya, don't get me wrong.

Oh?

“Nama kontak gue di hp lo juga.”

Oh – WHAT?

“Kok tau?”

Bukannya menjawab, Giftan malah menyumpal mulutku dengan cheeseburger yang baru ia buka. “Banyak nanya.”

Setelahnya aku memilih diam. Mencoba mencerna ucapan Giftan tadi, setiap lo ada di deket gue bukannya salting kayak cewek lain tapi malah diem, perasaan hangat menjalar di tubuhku begitu mengingat kalimat yang memang benar adanya.

“Lo capek ya, Jan?” tanyanya, ada sedikit nada kekhawatiran di sana. “Gue egois banget ya, Jan? Sampe lo terang terangan nyuruh gue nembak, pasti lo udah capek banget ya. Maaf ya, Jani.”

Giftan mengulurkan satu tangannya, yang sedikit membuatku kaget, namun segera ku ulurkan satu tanganku.

“Harusnya lo tau kenapa gue nggak pernah punya pacar. Harusnya lo juga tau kenapa setiap jam pelajaran olahraga, dulu, gue selalu titip hp ke lo. Harusnya lo tau kenapa gue nggak biarin lo lepasin headset kita waktu Namira mergokin di kelas.” Giftan menarik napas panjang sebelum menyelesaikan kalimat terakhirnya. “Harusnya lo yang paling tau kalo gue cuma sayang sama lo, dari dulu.”

Tatapan mata kami bertemu.

“Jani,” Giftan tersenyum – manis. “When I looked at you back then, for the first time, it terrifies me. It terrifies me what I would do for you.

The feeling is mutual, Giftan.”

I'm about to say those three words but don't laugh.”

Bermenit-menit setelahnya, nggak ada satu patah kata pun keluar dari bibir tipis milik Giftan, karena yang ada hanyalah bibirnya, di bibirku.

Even though we never said it to each other, we knew.

Slow Dancing

tw // kiss

Salah satu dari sekian banyak hal yang gue syukuri dari Kailan adalah sosoknya yang selalu paham keadaan, tanpa gue atau orang sekitar yang perlu angkat bicara. Kayak sekarang, kedua tangannya sibuk menggosok piring dan gelas serta alat makan yang tadi kami pakai. Waktu gue mulai mengangkat bekas makan kami di meja tadi, dia lebih dulu bangkit dan mengecup puncak kepala gue, “Kamu udah masak, gantian aku yang beresin dan cuci piring.”

Gue berjalan ke arah balkon apartment Kailan dengan satu gelas white wine di tangan, memperhatikan kerlap-kerlip lampu kendaraan yang berlalu-lalang di bawah sana. Gue selalu suka pemandangan dari sini. 18th floor, no wonder.

“Mikirin apa?” gue merasakan satu lengan Kailan di pinggang gue – his favorite spot.

Gue senyum ke arah Kailan. “Nothing in particular. Just enjoying the view.

Kailan memutar badan gue menghadapnya, mengambil gelas wine di tangan gue, menegak habis isinya sebelum dia letakan di meja kecil nggak jauh dari tempat kami berdiri.

Do you dance?” tanyanya dengan nada yang kelewat lembut, mengutip line favorite gue di salah satu series favorite kami.

Lagi-lagi gue tersipu akan tingkahnya. “If I'm asked properly.

Lady Keiramina of Storybrooke, will you dance with me?

Gue mengangguk.

I heard from a friend of a friend, if you can't picture yourself with them slow dancing at midnight then they're not worth it.

Gue dan Kailan saling tenggelam di netra satu sama lain, dengan satu tangan kami yang berkaitan serta masing-masing tangan lain di pinggang gue dan bahunya.

I miss you.” bisiknya di telinga gue yang tengah bersandar di bahunya.

I'm here.

I know, but I miss you.

His hands now touching anywhere he pleased. Traveled up my back. Slowly caressing my skin through my sweater.

Keiramina, your ex is watching from his balcony.” bisiknya. “I think we should kiss.

I pull away from his embrace and leaning in – connecting my lips with his soft ones. I can feel him smiling.

Her ex wasn't watching us from his balcony, I just wanted to kiss her right now.

Edinburgh

Belum ada satu pun balasan dari Kailan, bahkan sampai gue menginjakan kaki di lantai apartment-nya. Setelah mengirim pesan singkat izin masuk, gue menekan passcode unit-nya, 0616, gabungan tanggal lahir kami.

Click.

Nggak ada tanda-tanda kehidupan, gelap, dingin. Gue meraih saklar lampu di balik pintu. As expected, rapih. Unit apartement Kailan selalu rapih. Gue tersenyum kecil, si clean freak, my clean freak.

“Kai?” panggil gue memastikan keberadaan si empunya kamar.

Nggak ada balasan. Hanya suara angin.

Kebiasaan deh tirai sama pintu balkon nggak ditutup, gerutu gue dalam hati sambil berjalan ke arah balkon.

Belum sempat gue menginjakan kaki di area balkon, ada suara yang menghentikan langkah gue.

“Jangan ke sini dulu, aku masih ngerokok.” katanya sambil menghembuskan asap dari mulutnya.

Gue berhenti di ujung pintu, mengangguk singkat dan memilih diam, memperhatian sosok laki-laki yang sedang duduk di kursi balkon dengan raut wajah, yang buat gue sendiri, sulit diartikan. Kailan, dengan t-shirt Nirvana favorite-nya dan rambut acak-acakan. My favorite.

“Sini,” sambungnya sambil mengulurkan tangan, setelah melempar puntung rokoknya ke tempat sampah di sebelahnya.

Gue melangkah maju mendekatinya. “Maaf aku tiba-tiba ke sini.”

Seperti magnet, lengannya langsung ia tempatkan di pinggang gue.

It's okey,” Kailan membenamkan seluruh wajahnya di perut gue. “Tadi aku baca lewat notif, I miss you too.”

Gue ketawa mendengar ucapannya, refleks mengacak-acak rambutnya yang udah mulai panjang menutupi mata.

“Ayo masuk, udah malem.” Kailan menarik diri dari gue dan bangkit, tapi satu lengannya di pinggang gue nggak dia lepas. “Kamu nginep kan?”

“Pulang aja deh.” canda gue yang langsung dibalas dengan seringai nyebelinnya.

Setelahnya dia masuk ke kamar buat ambil baju dan celana pendeknya. Si paling bisa mandi malem.

“Aku mandi dulu bentar, bau rokok.” katanya, diiringi dengan satu kecupan yang mendarat di puncak kepala gue sebelum dia berlalu pergi.


“Maaf ya aku nggak bales chat. Tadi bener-bener kesel. Maaf belum bisa kontrol emosi dan malah jadi diemin kamu kayak tadi. Won't happen again, I promise.” jelasnya waktu Kailan rebahan di sebelah gue setelah dia beres mandi. “Aku tuh dari awal udah bilang sama kajur buat nerusin di CU sama anak-anak, terus tiba-tiba ada info kalo CU nggak nerima mahasiswa kampus mitra buat ke sana. Kayak, anying sia kunaon.”

Seketika gue ketawa dan buru-buru menutup mulut dengan tangan.

“Kamu kalo ketawa sekali lagi aku cium ya.” katanya, yang membuat gue malah makin terbahak sama ekspresi wajahnya yang kesal.

“Kamu kalo ngomong bahasa sunda tuh lucu, walaupun marah tapi gemes. Sorry, can't help it.”

Kailan melempar satu bantal ke arah gue, yang membuat gue lagi-lagi ketawa. Namun setelahnya dia menarik gue mendekat. Kali ini giliran gue yang menenggelamkan wajah di dada bidangnya.

Gue mendongak, memainkan jari telunjuk di lehernya. “Terus jadinya kemana kalo CU nggak bisa?”

“Edinburgh University.”

“Berapa lama?”

“Dua tahun, more or less.

Him

cw // kiss , harsh words

I caught feelings like a damn amateur.

“Aswoutegdhfst-nya Kei ya?” Kak Dimi – sepupu gue yang paling tua, mulai basa basi nanya.

Kailan yang berdiri di samping gue cuma ketawa. That Goddamn laugh, I'm so freaking weak when it comes to his laugh.

“Ini,” Kailan ngulurin key card villa-nya yang langsung gue serahin ke Kak Dimi.

“Udah sana masuk,” kata gue, berharap sepupu-sepupu jahanam segera menjauh dari Kailan. Can't stand them any longer. “Gue nyusul.”

“Kei,” panggil Kailan, gue baru sadar dia udah nggak berdiri di samping gue. “Kayaknya gue lupa bawa deh.”

Gue menatap Kailan kebingungan.

“Buku.”

Oh.

“Mau ambil dulu nggak ke rumah? Deket kok.”

Can I say yes? No. Can I say no? Hell no.

“Yuk.”


Kailan has the prettiest house I've ever seen in my life.

“Masuk Kei,” katanya sambil menahan pintu depan rumahnya buat gue. “Lagi pada pergi jadi nggak bisa gue kenalin, next time ya.”

I smiled to myself. So there will be a next time for me to visit this beautiful house. Nice.

“Mau minum?” tanyanya smabil berjalan ke arah dapur dan membuka lemari es.

Gue mengangguk. “Boleh.”

Kailan mengulurkan satu kaleng coca cola yang langsung gue terima.

“Capek nggak nyetir Jakarta – Bandung?” tanyanya sambil mengusap pelan pungung gue. I know it's a bare minimun but God only know how much butterflies it gives me. In fact he give me that feeling and I'm not complaining.

“Nggak sih, mungkin karena nggak macet. Kalo macet gue nggak tau deh.” jawab gue sambil terkekeh – berusaha menutupi perasaan nggak karuan yang barusan dia kasih lewat sentuhan fisiknya.

Kami berhenti di satu pintu yang nggak berapa lama kemudian dia buka.

So this is his room.

Hal pertama yang gue notice dari kamar Kailan adalah its cleanliness and tidiness, well organized. Ada satu sudut yang mencuri perhatian gue. His bookshelf.

Do your friends know you read so much?” tanya gue sambil menelusuri satu demi satu judul buku di bookshelf miliknya.

“Wah kalo itu gue nggak tau,” jawabnya sambil ketawa kecil. “But my family do. Ami is a book-worm, so I'm not the only one.

“Ami?”

“Nyokap gue.”

Lucu.

Setelah puas meneliti rak buku Kailan, gue bergeser ke meja komputernya. Ada tiga frame foto di sana, dua diantaranya foto dia dan teman-temannya dan foto dengan orangtua serta Kakaknya. That's very sweet of him.

“Ini kenapa kosong satu frame-nya?” tanya gue yang kebingungan sama satu frame kosong di sana.

“Oh, itu, buat foto sama pacar nanti.” gue refleks ketawa. “Kalo punya.”

Gue pikir Kailan bakal ikut ketawa, tapi ternyata nggak. Waktu gue berbalik dan berhadapan sama dia, satu sudut bibirnya terangkat.

“Kenapa?” tanya gue clueless.

Satu tangannya terangkat mengelus pelan rambut gue. “You're here. In my room.

Eyes. Those damn eyes fucked me over, and over, and over.

Tangannya turun ke pipi gue sambil senyum. “I dreamt of you last night, we were kissing and so in love, you even put your hand on my face. I woke up dizzy. So, may I, Keiramina?”

Yes.

Then he grab me by the waist and kissed me as if everything he'd ever been silent about finally found it's way to the surface.

Kailan menarik bibirnya menjauh dan hampir membuat gue marah, tapi begitu mendengar kalimat selanjutnya, I can’t even feel my knees anymore. “I could write a poem or two on your neck with my lips.

I'm so in love with you right now.” ucap gue sebelum mengikis jarak diantara kami lagi.

“Kei,” bisiknya ditengah-tengan ciuman kami. “I don't think I'd be able to stop if we keep doing this.

Then don't.

Priceless

Sinar matahari dari celah jendela kamar membuat Sienna memicingkan matanya, setelah beberapa menit bergulat dengan rasa malas, ia akhirnya menyerah dan bangun.

Kepalanya masih terasa berat, plester di lengan kanan – bekas test ambil darah tadi malam, masih di sana. Ia melepas plester dengan kapas putih di dalamnya, beberapa kali mengernyitkan dahi kala menahan sedikit rasa sakit, lalu membuangnya ke kotak sampah di ujung kamar.

Samar-samar aroma butter menyapa indra penciumannya, siapa, batinnya. Nama demi nama ia pertimbangkan dan nggak ada satu pun yang masuk logika. Mama dan Papa baru tiba di Ankara sore kemarin, Dimitri dan Shakilla masih di dalam penerbangan mereka ke kota cinta untuk baby moon, Lima? sudah tiga hari di Bintan, business trip. Jadi, siapa?

Saat ia memutar kenop pintu kamarnya, aroma manis menghambur semakin jelas. Suara berisik di dapur apartment-nya semakin membenarkan kalau memang ada orang lain selain dirinya.

“Ezra?”

Laki-laki yang dipanggil namanya berbalik. Senyum tipis khasnya seketika terukir kala melihat perempuan yang membuat ia rela terbang belasan jam secara tiba-tiba tadi malam tampak sehat di hadapannya.

You up?” tanyanya sambi melepas apron hitam milik Sienna. Kemeja hitam body fit-nya sudah nggak lagi rapih, tiga kancing-nya dilepas begitu saja – mengekspos dada bidangnya.

Sienna yang masih tampak kebingungan belum beranjak dari tempatnya berdiri. “Kamu ngapain di sini?”

Bukannya menjawab pertanyaan perempuan di hadapannya, Ezra justru menempelkan punggung tangannya ke dahi dan pipi Sienna. kemudian menariknya perlahan untuk duduk di meja makan.

I made you breakfast.” katanya tanpa memperdulikan pertanyaan Sienna tadi. “Aku mandi dulu sebentar, lengket banget.” tambahnya kemudian. Satu kecupan singkat mendarat di puncak kepala Sienna sebelum Ezra berlalu pergi.


I can take care of myself, Zra.” gerutu Sienna.

I reckon.” bisiknya di antara surai hitam milik Sienna – sibuk menghirup dalam-dalam aroma magnolia yang melekat pada tubuh perempuan di dekapannya tersebut.

Kini keduanya sudah berada di sofa ruang tengah apartment Sienna, setelah menghabiskan ricotta pancakes honeycomb butter yang Ezra buat. 99.9/100, kurang 0,1 karena sampai sekarang Ezra belum menjelaskan kenapa dia ada di sini, di apartment Sienna, di Jakarta, bukan di Lake Como, di Italy, menghadiri grand opening resort Salieri.

Sienna membalikkan tubuhnya, kini posisi keduanya berhadapan. Ezra mempererat rangkulan lengan kirinya pada pinggul Sienna – nggak mau kalau perempuannya jatuh ke lantai.

C'mon,” ucapnya sambil merapikan beberapa helai rambut laki-laki di hadapannya yang mulai panjang menutupi mata.

“Siapa yang nggak panik, Sienna,” Ezra meneghembuskan napas kasar, “aku dapet kabar dari Papa kalo kamu pingsan di depan lift kantor sehabis acara entah apalah itu, Dimitri-Shakilla lagi babymoon, Lima ternyata lagi di Bintan, aku bahkan sampe minta tolong Papa buat cek kamu tapi ternyata udah keburu jalan ke Solo.”

You know, you don't have to.

Ezra mendengus kesal. “Akhirnya aku minta PA-ku buat gantiin di grand opening Salieri dan aku langsung ke airport, cari flight paling cepet buat ke sini, cuma ada SQ.”

Sienna mengelus pipi laki-laki di hadapannya dengan mata yang berkaca-kaca. “Mahal banget pasti ya naik SQ dari sana ke sini. Direct dan tiket on the spot pula.”

“Liat kamu tidur, safe and sound, dengan mata kepala ku sendiri itu priceless, Sienna.” ungkap Ezra yang semakin membuat Sienna nggak bisa lagi menahan tangisnya.

“Emosional banget sih kamu nangis terus dari tadi,” canda Ezra sambil mempererat pelukannya. “Ini yakin kamu nggak mandi perfume? wangi banget gini. I can't never get enough of you.”

She smiles to herself. After a tiring, sleepless nights, questioning whether she's worth it or not to be loved, well, she's here. She's not crazy for wanting a man who chooses her over and over, she's not insane for that. She shouldn't settle for less. She wants a man who commits and she deserve it. Never settle for something half-asses when you should be getting a whole.

Souls Don't Meet By Accident

Setiap gue berkunjung ke Bali, mampir ke Salieri adalah wajib hukumnya. Hari ini gue sengaja memilih meja pojok. Well, kalau aja gue nggak butuh sedikit privasi, gue akan dengan senang hati memilih duduk di outdoor lantai dua yang langsung menghadap ke laut.

Nggak seperti biasanya, kali ini gue cuma memesan Sparkling Honey Lemon dan satu slice Salieri's most famous Black Ocean Velvet cake.

Waktu pesanan gue datang, nggak lama Sabian datang.

“Where have you been, Sienna?” tanyanya dengan raut wajah khawatir.

Relax, Sab.” gue menegakan posisi duduk. “I'm not leaving you to marrying some other guy in here, though.

No, Sienna, don't.” katanya sambil mengusap kasar wajahnya.

Satu pitcher beer pesanannya datang. Gue melempar senyum ke waiter dan berbisik, terima kasih.

Sabian menegak habis satu gelas beer dinginnya. “What's going on?

Alih-alih menjawab pertanyaan Sabian, gue lebih memilih untuk mendengar penjelasannya. “Well, hello to you too. So?”

Sabian nampak kebingungan akan pertanyaan yang baru aja gue lontarkan. Namun nggak lama dia paham.

I'm sorry,” mulainya. “Regina chat aku, kasih kabar kalo visa Laluna ditolak karena akta kelahiran dia bermasalah, sedangkan besoknya mereka harus terbang ke Amsterdam. Waktu aku mau ngabarin kamu, hp ku mati. Maaf, Sienna. Aku minta maaf. Karena waktu telepon, Laluna lagi nangis dan Regina juga panik.”

Gue menegakan duduk dan melipat kedua tangan di depan dada. “Terus akhirnya gimana? Bisa diurus dan berangkat?”

Yes, thanks to Om Radian – Papanya Tama, yang udah mau bantu di menit terakhir.”

Gue mengangguk – berusaha mengerti. “You know you could just buy her a new tickets, right? Untuk dia bisa urus berkas anaknya. Or she could buy herself a tickets for two alongside with her daughter, no? So you don't have to bail out.

“Sien – “

I'm not finished.” kata gue sambil mengangkat satu tangan – tanda untuk nggak menginterupsi.

“Sabian, I do understand that you have a big heart to help people. Even if it's Regina. But you need to set your priority. I'm not asking you to put me on your top list but you need to choose which one is your priority.” gue menarik napas sebelum melanjutkan, “So, which one?

You,” jawabnya tanpa ragu. “It's always been you, Sienna.”

Gue tersenyum sinis. “But you still keep her picture in your wallet.

Sabian terlihat kebingungan mendengar kalimat gue barusan. “What picture?

Figure it out yourself.

Ia merogoh saku belakang celananya dan mengeluarkan Bottega Veneta leather wallet-nya. Air mukanya berubah sesaat Ia menyadari kebenaran yang gue ungkapkan beberapa detik lalu.

“Kayaknya kalo aku nggak bilang, fotonya bakal ada di situ terus ya.” Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.

Sabian menarik keluar foto Regina di dalam dompetnya. “Aku nggak tau ada foto Regina di sini. I'll throw it away.

Gue menaikan satu alis. “You bought the wallet after you two split up, right?

Of course.

Then how come its still there?

I don't really remember put it in my wallet, Sienna.”

You don't remember or you don't want to remember?

Sabian terdiam.

Gue, lagi-lagi, manarik napas panjang. I know it's going to be mentally exhausted talking to him but I didn't expect that it'd be this hard. “Sabian, you still have a picture of her inside your wallet and you don't get rid of it up until now. Accept it.

Sabian mengangguk pasrah. “I'm sorry.”

Then it's settled.”

But I love you, Sienna.”

Gue tersenyum. “I don't think so, Sab. You just love the idea of us. Just because things could've been different doesn't mean they'd have been better.

But you enjoyed my company.

I do. Because I've missed you, Sab. Because I don't why I treated so wrong back then. You left me when I did everything in my power to make you happy – to make us happy. But why,

Gue nggak bisa nahan air mata yang tiba-tiba aja mengalir deras. It hurts. Pikiran gue melayang di hari dimana Sabian menerima permintaan keluarga Regina untuk menikah dengannya, sebab mulai hari itu, Sienna yang berhadapan dengannya hari ini, bukan lagi Sienna yang sama.

“Sienna,” Sabian menarik tangan gue ke genggamannya. “I'm sorry. Please do believe when I say I love you, I mean it. Wholeheartedly.”

I'm gonna miss his warm hands holding mine. “You chose to her. You chose her since day one, Sabian.”

I'm not choosing anyone over anyone, Sienna. I know I screwed up. I know I was stupid when I said you deserve better because I didn't even try to be better for you. I know I was stupid when I decided to marry her, hanya karena aku nggak mau liat kamu makin menderita.”

Sabian berpindah duduk ke sebelah gue saat melihat tubuh gue yang mulai bergetar.

I'm sorry, Sienna. I hurt you so bad. Aku pikir dengan nikahin Regina, at least, satu masalah selesai. But I was wrong, it costs me to lose you. And I don't want to lose you again.

Kami diam selama beberapa saat dengan gue yang masih menstabilkan nafas, serta Sabian yang masih mengusap pelan punggung tangan gue.

“Sabian,” mulai gue lagi, “After almost two weeks, I realized something.

Tell me, Sienna. I'll listen.

I love you Sabian, I do.” gue mendongak dan menatap Sabian tepat di manik matanya. “But I don't like you anymore.

“Sienna, kamu cuma takut. Don't let your anxiety lying to you.

“Sab, semenjak kita ketemu lagi, aku tutup mata sama apa yang pernah terjadi. I thought that if I acted like it didn't matter then it wouldn't, but I was wrong. Aku sengaja lupa akan sakit hati dan semua trauma di hari lalu, pretend like nothing happen. Aku nggak pernah bener-bener lupain, Sab, aku cuma berusaha buat nggak inget rasa sakit itu semua. Dan aku nggak mau kalo nantinya akan saling curiga karena nggak percaya sama kamu, aku nggak mau hal-hal kayak gini bakal jadi boomerang kedepannya, karena aku belum ikhlas diperlakuin kayak gitu, Sabian. Akan ada masa dimana aku meledak nantinya kalo kamu paksain ini semua – paksain kita. I can't Sab.”

“Kamu bisa, Sienna.”

“Sab, aku nggak bisa. Kita nggak sehat.”

“Kamu bukan nggak bisa. Tapi kamu nggak mau!” bentak Sabian.

Gue meringis kala merasakan pergelangan tangan gue yang digenggam terlalu erat. “Sab, please, lepas. Sakit.”

We can try. We can always try, Sienna.”

“Sab, please, lepasin dulu. Tanganku sakit.”

She says it hurt.

Gue dan Sabian mendongak, mendapati satu wajah familiar – at least buat gue, yang menginterupsi kami.

“Ezra?”

Sabian melempar tatapan nggak suka ke laki-laki di sebelahnya. “It's no one of your business. Back off.”

Unfortunely, it is.” ujarnya dengan suara dan tatapan yang jauh lebih mengintimidasi. “You made a bit of chaos in my restaurant.

Sebelum Sabian sempat menjawab, gue melepaskan genggaman tangannya dan bangkit. “Ke restroom.”

Gue duduk di dalam toilet, memandangi bekas merah di pergelangan tangan kiri gue. This is not Sabian I know. Or perhaps, I never really knew him at all.

You there?

It's not Sabian, I can tell only by his voice.

“Y-yes.”

Suara langkah kakinya mendekat. “He's waiting for you outside, probably at the parking lot. You can come out and meet him. I'll be watching from afar. Don't worry.

“Ezra,” gue membuka sedikit pintu toilet yang gue tempati. “Thank you.

Nggak ada jawaban, hanya suara langkah kakinya yang kembali menjauh.

Gue menarik napas panjang sebelum beranjak keluar dari toilet. Merapikan rambut gue yang sedikit berantakan di depan cermin sebelum benar-benar melangkah keluar.

“Sienna,” katanya begitu melihat gue. Puntung rokok ditangannya langsung ia buang ke sembarang arah setelah dimatikan. “Maaf. How's your hand?

Gue sedikit menepis tangan Sabian yang mencoba menarik tangan gue. “It's fine.”

It hurts.

I'm so sorry Sienna, I was – “

“Sab, I don't think we can make it. Let's end this, whatever it is between us. I'm no longer available for things that made me feel like shit, and I rather have nobody than half of somebody. You need to heal – we need to heal. Pelan-pelan Sab, pelan-pelan nikmatin hidup kamu. Make up for your lost time; visit Reykjavík, pet a Samoyed, buy your dream grand piano, anything. We're two broken people, Sab. And two broken people don't fix each other.

And that's how it ends. Sabian yang mengambil satu langkah maju untuk memeluk gue. He understand. He finally understand. I'm gonna miss you, bisiknya di telinga gue. It will pass soon, jawab gue sambil melepas pelukannya.

“Kamu nginep dimana? Aku anter ya?” Enough, Sabian. I'm not risking anything ever again.

Pertanyaannya yang keluar dari mulutnya dan getar ponsel gue datang di saat yang bersamaan.

I already ordered a taxi.” kata gue sambil senyum ke Sabian. Tangan kami masih terpaut di bawah sana. “Good luck?

You too, Sienna.”

Sabian, Sabian Aditama, I was once silently hoping that time has made a mistake and has already reserved a moment for us to find each other again one day. Sabian Aditama, my Sabian, I love you, more than I've ever loved anyone in a long time. You will never be unloved by me. You're too well tangled in my soul, despite everything that we've been through. Sabian Aditama, my once in a lifetime, meeting you will never be my regret, but tolerating the way you hurt me, always will be.

A for Effort

“Lo kenapa sih? PMS?” tanya Kinar dari meja sebelah. “Cranky banget dari kemarin.”

True. Bahkan Kinar bukan orang pertama yang bilang gue cranky beberapa hari ini.

“Laper.” Such a good liar.

“Lunch di –”

Kinar belum selesai dengan ucapannya tapi telepon di meja gue lebih dulu berbunyi. Gue mengangkat tangan – memberi tanda untuk menunggu.

“Halo?”

“Sienna,”

What?

You've been avoiding me for almost two weeks.

Kepala gue langsung nyeri begitu mendengar suara di ujung telepon.

“Tau dari mana nomer telepon kantor?”

Can we talk? In person? Aku di parkiran kantor kamu.”

Gue menghembuskan napas kasar. I can't stop him, can I?

“10 menit.” kata gue final. “nanti aku ke bawah.”


Tepat pukul 12.35 gue turun ke bawah, menepati janji gue yang akan menemui Sabian.

“Sienna.” gue menoleh begitu mendengar seseorang memanggil nama gue.

“Pak Arga.” gue sedikit membungkuk waktu mengetahui siapa yang memanggil gue. The one and only Pak Argawinata, the CEO.

“Apa kabar, Sienna?” Pak Arga menjabat tangan gue. “How's work?

Sebelum gue sempat membalas pertanyaan Pak Arga, ponsel gue berbunyi.

Sabian Udah lebih dari 10 menit, Sienna. Aku jemput ke dalem aja ya?

Dammit.

“Lancar, Pak. Banyak project baru juga. So far so good.” gue nyengir kuda. “Ada yang urgent kah Pak sampai datang ke sini?”

“Nggak, nggak,” Pak Arga mengibaskan tangannya sambil menggeleng. “Ezra mau buka rekening buat foundation barunya di bank sebelah, sekalian mampir aja kan deket. Eh itu dia kayaknya udah beres. Saya pamit duluan ya Sienna.”

Begitu selesai menjabat tangan Pak Arga dan sedikit membungkuk ke Ezra yang berdiri agak jauh dari tempat gue berdiri, gue segera berlari kecil menuju lobby. Too late, waktu gue sampai di lobby, dengan jelas gue melihat Sabian keluar dari mobilnya, his black B 14 N Mercedes-Benz E300 yang terparkir nggak jauh dari lobby.

Sabian dengan casual berjalan menuju lobby tepat dimana gue berdiri. Dua kancing kemeja putihnya dibiarkan terbuka. I was too stunned to speak, he is indeed God's favorite child. Fuck everyone, it's Sabian Aditama's comma hair for me.

“Katanya 10 menit.” ucapnya sambil melirik Omega di pergelangan tangan kirinya. “Ini sih lebih.”

“Kamu ngapain pake segala turun sih,” gerutu gue. “Nggak sabar banget.”

“Mbak Sienna,” gue menoleh ke sisi kiri, mendapati ibu ibu lantai atas yang lagi nunggu taksi – mungkin untuk ke tempat makan siang. “Pacarnya ya?”

Gue menggeleng sambil nyengir kuda dan menarik Sabian ke mobilnya sebelum dibombardir pertanyaan lebih lanjut, “Duluan ya, Bu.”


I saw her chat on your phone the last time we met.” mulai gue setelah beberapa kali pertimbangan.

“Hmm?”

“Waktu itu aku mau cek jam tapi hp ku di kamar, pas lagi masak di dapur” kata gue mencoba menjelaskan. “Terus ada hp kamu di meja makan, pas aku mau liat jam tiba-tiba ada chat masuk.”

“Oh,” Finally. “Itu.”

The freaking oh itu.

“Karena itu kamu silent treatment aku hampir dua minggu?”

Sort of.

“Buka aja hp-ku, passcode-nya masih sama.” Sabian merogoh saku celananya dan mengulurkan ponselnya ke gue. Yang jelas-jelas langsung gue tolak.

“Regina mau pamit, dia kasih tau aku kalo ayah dari anaknya mau tanggung jawab. She will be leaving somewhere this Friday.”

Oh?

Gue cuma mengangguk, mengembalikan pandangan gue ke luar jendela.

“Kamu mau lunch apa? Ini udah 30 menit kita muter SCBD lho.”

“Drive thru McD aja, I'm craving for their spicy chicken.

I don't know, but deep down, this feels weird. Being with Sabian; feels weird. Talking, laughing, eating, strolling, and the list is endless.

Strangers With Memories

Salah satu hal yang gue suka dalam mempersiapkan sebuah acara pernikahan, dari segala banyak macam hal, adalah lokasi. Entah kenapa memilih lokasi menjadi hal yang teramat sangat menyenangkan buat gue pribadi. Di samping gue bisa sekalian jalan-jalan, kadang, beberapa lokasi punya ceritanya sendiri. Jadi waktu gue nggak sengaja ketemu lahan luas kosong yang sedikit terabaikan, dengan bangunan di tengahnya serta kolam ikan dan air mancur di halaman belakang, yang setelah gue cari tau ternyata milik Mak Koneng – penjual bakmi ayam favorite gue dan Dimitri, gue langsung ajak Mak Koneng buat ngobrol.

“Halo?” “Lo udah di sana? Orang design interior-nya nanyain, dia udah di sana.” “Ini gue udah di sini kok. Yang dateng si Mas Reza yang kemarin kan?” “Bukan, bukan. Ini bos-nya katanya yang turun langsung. Soalnya dia yang in charge design semuanya. Orangnya di dalem sih katanya, lo masuk aja langsung.” “Yaudah ini gue sambil jalan kok, Dim. Janjian sama Mbak Sella dari WO juga buat dekor – gue minta dia liat langsung.” “Good. Keep me informed ya.”

Gue melipat tangan di depan dada sambil sesekali berdecak kagum akan desain bagunan baru yang ada di sekeliling gue. Cat putih gading yang dipilih Dimitri, tangga minimalis di tengah ruangan yang gue pilih, serta desain menakjubkan yang bikin seluruh bangunan jadi jauh lebih hiudp dan indah.

“Sienna?”

Napas gue tercekat begitu mendengar suara familiar memanggil nama gue. Bahkan untuk beberapa saat gue enggan berbalik.

“Sienna?” panggilnya lagi.

Gue akhirnya berbalik, memperlihatkan senyum termanis gue – dihadapan Sabian, your heard it right, Sabian Aditama.

“Sabian.” ucap gue sedikit bergetar. You know what, at some point you still questioning yourself and you'll never understand why you were treated so wrong when all you ever trying to do was make them happy. Dan lagi, saat ini, gue mempertanyakan itu sekali lagi, di hadapan Sabian, atas kejadian bertahun-tahun lalu.

“Ah, I see,” dia terkekeh sambil memijat pelipisnya pelan. “Dimitri yang jadi client aku tuh Dimitri-nya kamu ya? Head of Finance, am I right?

Lagi-lagi gue berusaha tersenyum. “No longer the Head of Finance, but yes, that Dimitri.

“Mbak Sienna!”

Thank God.

Mbak Sella berlari kecil dari pintu masuk dengan tangan penuh bunga, color catalogue, dan perintilan lainnya.

“Napas dulu, Sel. Buru-buru banget sih.”

“Aku janji jam 11 ini udah jam 11.10, panik aku.” kata Mbak Sella sambil merapikan bunga-bunga di tangan kirinya.

Gue mengambil baby breath di tangan Mbak Sella. “Tuh kan, bagusan juga baby breath. Cocok sama tema wedding-nya.”

“Aku sama yang lain juga bilang gitu, tapi Mas Dimitri tetep mau white lily. Terus sama ini Mbak, jadi mau insial S sama D atau nama aja?”

Gue nggak tau kenapa, tapi waktu Mbak Sella mention inisial nama, gue refleks melirik ke arah Sabian. Sabian yang tadinya melihat sekeliling, tiba-tiba saja menoleh cepat ke arah gue dan Mbak Sella.

“S sama D aja, Mbak.”


“Minum dulu, Sab.” gue mengulurkan satu botol minuman dingin yang langsung disambut Sabian.

Thank you.”

Setelah beberapa kali pastiin soal overall bangunan, gue dan Sabian memutuskan buat duduk di gazebo taman belakang. Kalau dibilang canggung, tentu masih terasa, tapi nggak se-obvious tadi, again, thanks to Mbak Sella.

“Sienna,”

“Sabian,”

Kami berdua tertawa.

“Kamu dulu aja.” katanya sambil membuka botol minuman dingin di tangannya.

I was wondering, you know, interior design and architecture, since when,

Sabian tertawa pelan sebelum gue sempat menyelesaikan kalimat yang mau gue utarakan.

Couple years ago. I quit my job, walaupun posisiku udah lumayan banget di sana, but you know, it's never too late to follow your passion.”

Glad to hear that.

How's life, Sienna? Seattle treating you good?

Terrible.

Nice, yeah, good.

So,” dia berdehem sebelum lanjut bertanya, “You and Dimitri?

“Ye – what?” gue refleks menoleh ke arah Sabian. “Jangan bilang ... “

You're getting married right? With Dimitri?

Oh boy.

No hahaha, God, no, Sabian. I'm not.

That S and D the woman mentioned earlier?

“Dimitri and Shakilla, kalo kamu inget Kakak sepupu – “

“Kakak sepupu kamu yang tinggal di New York.”

Exactly. Dimitri tuh udah kayak Kakak buat ku, I love him so much but not romantically. And a boyfriend like him? Hell no, thanks. Dia bawel banget.”

Lewat ekor mata, gue menangkap senyum tipis Sabian.

How's life, Sab? I think I saw your wife and your daughter di Foodhall kemarin. She's cute btw.”

Alih-alih merespon pertanyaan gue, dia lebih memilih buat menegak minumannya.

I know it's a sensitive topic, so if you're not comfortable to – “

We divorced.” kata Sabian pelan. “And she's not my, you know,

Gue menelan ludah. I didn't saw this coming. I mean, gue nggak berharap mereka pisah juga tapi di sisi lain gue juga nggak yakin Regina bisa keep up sama Sabian because his financial things.

I'm sorry.

Don't be.”

Okey this is awkward. Sabian and I are both single and maybe, just maybe, still desperately in love with each other.

“Waktu itu hari Sabtu, aku lagi nonton tv sama Zara, tiba-tiba Regina teriak histeris dari kamar. Aku langsung lari ke kamar, ternyata dia lagi telepon, aku ambil alih teleponnya. Orangtua-nya kecelakaan di Kebumen. Satu mobil kebakar, nggak ada yang selamat. Usia kandungan Regina sekitar 5 bulan waktu itu, dan nggak mungkin aku bawa dia ke Kebumen buat cek orangtua-nya. Akhirnya aku sama Tama bawa mobil ke Kebumen, urus semua yang harus diurus di sana, dan langsung balik ke Jakarta setelah beres. Sekitar jam 4 pagi aku sampe Jakarta, Regina udah tenang. Tapi waktu aku cek, napasnya pendek pendek, badannya panas banget dan basah sama keringet. Aku pikir mungkin dia butuh istirahat karena shock. Setelah itu hampir satu minggu dia cuma makan sehari sekali, itu juga harus dibujuk, sampe berat badannya turun drastis. Puncaknya waktu Mirza mau ke kamar mandi dan nggak sabar karena Regina nggak keluar dari setengah jam yang lalu, akhirnya dia coba buka paksa dan liat Regina geletak di lantai kamar mandi. Saat itu juga dia telepon aku dan kita bawa ke ruma sakit. She was in a coma for a month, more or less.

Tanpa sadar, gue menahan napas selama mendengar cerita Sabian. Nggak bisa bayangin both Sabian dan Regina ada di posisi itu. Sabian yang khawatir akan istrinya yang lagi hamil, dan Regina yang kalut akan kabar orangtuanya yang pergi dalam keadaan dia lagi mengandung.

I'm so sorry, Sab, for your parents in law. Regina pasti kalut banget waktu itu.” gue menoleh ke arah Sabian yang entah melihat kemana. “Jadi dia ngelewatin koma satu bulan dalam keadaan hamil?”

“Sienna,”

“Iya?”

“Mau makan Bakmi Roxy nggak? Nggak bawa kendaraan kan ke sini?”

Gue mengangguk – mengiyakan kedua pertanyaannya.


“Yamin dua ya, Mas. Lengkap. Yang satu jangan pake daun bawang. Minumnya Teh Botol pake es batu.”

Gue tertawa kecil mendengar Sabian yang masih ingat pesanan gue di Bakmi Roxy – tanpa daun bawang dan Teh Botol pakai es batu.

“Gapapa kan makan di mobil? Dari pada dempet-dempet gitu tuh rame banget.”

“Modus aja kali kamu mau berduaan sama aku.”

“Yah, ketebak ya. Gapapa lah, bukan calon istri orang ini.”

Kali ini gue ketawa, bener-bener ketawa. “Lagian aneh banget, masa nyangka aku sama Dimi.”

Sabian ikut terkekeh. “Siapa tau kan.”

“Tapi, Sab,” kata gue sambil menurunkan sedikit seat yang gue duduki. “You seem healthier, well in fact you are indeed chubbier.

I take it as a compliment.” katanya sambil ketawa.

It is a compliment.

Nggak lama setelah itu, pesanan Yamin kami datang. Sambil makan kami lanjut bahas soal Regina yang koma selama kurang lebih satu bulan di rumah sakit. Kata Sabian, nggak ada penyakit serius,* and she was definitely not faking her coma*, kayak, buat apa juga. Satu waktu di hari Jumat, Regina siuman. Kalimat pertama yang dia bilang setelah sadar adalah, “Sabian, aku mau cerai.”

Gue yang baru mau melahap pangsit rebus di sendok seketika berhenti mendengar kalimat Sabian. “All of sudden? Out of nowhere?

Of course not. Dia bilang selama koma dia mimpi semua hal buruk yang bakal terjadi di hidup dia kalo dia nggak jujur sama diri sendiri dan sekeliling. Saat itu juga dia bilang kalo bayi yang ada di kandungannya bukan anak aku. I don't know how to respond back then. Waktu itu aku nolak, at least sampai dia lahiran. Dan setelah dia recover selama dua minggu, kita resmi pisah.”

“Bohong kalo aku bilang dunia ku nggak runtuh. Knowing the baby isn't mine – ours. Mulai saat itu aku tata ulang semua dalam arti kata, aku tegas. Zara pindah dari sekolah swasta ke sekolah negeri yang gratis. Mirza yang keras kepala mau kuliah swasta aku kasih dua pilihan; belajar dan masuk negeri atau cari kerja dan hidup sendiri. Mama yang suka irasional kalo minta apa-apa aku coba bujuk buat ikut kelas yang bermanfaat, dia pilih baking dan crochet. Papa juga nggak luput dari ini semua, kita bikin surat perjanjian atas kewajiban beliau nafkahin anak-anaknya (Mirza dan Zara) karena aku udah punya penghasilan jadi nggak termasuk, plus biaya sekolah adik-adik sampai S1 dan kebutuhan mereka, jadi aku bagian rumah, listrik, Wi-Fi, dan perintilannya. Setelah beberapa tahun, semua stabil, dan aku bilang Mama buat resign dari kantor. Aku apply sana sini yang berhubungan dengan arsitektur dan desain, sampai satu awaktu ku diterima di salah satu perusahaan kontraktor. Nggak sengaja asal kasih ide ternyata bos-nya suka, jadi lah aku ikut andil besar. Setelah banyak belajar dan explore, aku putusin buat bikin firma arsitek sendiri plus design interior-nya juga. And here I am now.

Gue tersenyum kelewat lebar mendengar cerita Sabian. “I'm so proud of you, Sab. For what you've become.

Sabian tersenyum sambil mengacak-acak rambut gue. “Aku balikin mangkok dulu. Mau air dingin?”

Gue mengangguk.

Decision, Decision

Pukul sebelas kurang dua puluh delapan menit – delapan menit terlambat dari janji , akhirnya, terdengar suaraderu mesin mobil di depan rumah Sabian, yang kami asumsikan sebagai keluarga Regina.

Diantara kami berenam – Mama & Papa Sabian, Sabian, Mirza, Zara, dan gue, cuma Papa Sabian dan Sabian yang beranjak dari duduk mereka. Genggaman tangan Zara dilengan kiri gue makin kuat – she's scared, well aren't we all. Nggak ada yang tau akan apa yang bakal terjadi di pertemuan kali ini. Anything could happen.

“Emang mereka punya mobil?” kata Mama Sabian.

Mirza – yang duduk di sebelahnya menggidikan bahu. “Pinjem orang kali.”

Gue, yang notabene bukan bagian dari keluarga, lebih memilih buat nggak buka suara.

“Kak Nana, ” gue menunduk lebih dekat ke Zara, “aku mau ke Oma aja.”

Dada gue terasa nyeri begitu dengar Zara berbisik. Entah gimana cara gue kalau ada di posisi Zara – anak 7 tahun yang tumbuh besar di lingkungan, well, nggak sehat?

Sabian melirik gue sekilas sebelum mempersilahkan Regina dan keluarganya masuk, yang gue balas dengan anggukan kecil dan senyum – there's no turning back.

Waktu tatapan gue dan Regina bertemu, dia langsung memutuskannya detik itu juga. What a shame, gue pikir kita akan terlibat staring contest yang sengit.

“Maaf ya, Pak, Buk, semuanya, kami telat. Jalanan Jakarta macet sekali.” laki-laki paruh baya, yang gue taksir berumur kurang lebih 50 tahun, membuka obrolan. Mereka datang bertiga – Regina, Bapak, dan Ibunya.

Gue melirik Mama Sabian yang membuang muka ke sembarang arah, dan Papa Sabian yang cuma tersenyum – yang gue tau pasti dipaksakan. Gue melirik ke Regina, yang secara kebetulan sedang melambaikan tangannya ke arah Zara. Sayangnya si anak malah menyembunyikan kepalanya di belakang punggung gue.

Sabian akhirnya masuk setelah menutup pintu pagar, menempatkan diri duduk di samping kanan gue.

“Ini siapa?” tanya Bapak Regina – menunjuk ke arah gue.

Gue tersenyum, jarak yang cukup jauh – walaupun nggak jauh banget, membuat gue nggak bisa menjabat tangan si Bapak. “Saya Sienna, temen Sabian.”

Gue dan Sabian sepakat memperkenalkan diri gue sendiri sebagai “teman” kalau nanti pihak Regina bertanya, yang mana ternyata kejadian. Meanwhile Regina, yang duduk di sebelah kiri Bapaknya tersenyum sinis.

“Sab,” gue menyenggol lengan Sabian. “Aqua yang di dus tadi keluarin aja.”

Sabian mengangguk paham dan langsung bangkit ke dapur.

Sabian meletakan kotak air mineral yang terbuka lebar di tengah kami. “Maaf ya Pak, Bu, cuma ada ini.”

Gue melirik Regina dan mengangkat satu alis, entah kenapa gue bisa ngerasain hawa dia yang terintimidasi akan hadirnya gue ditengah-tengah urusan mereka ini.

Bapak Regina berdehem sebelum kembali buka suara. “Begini, Pak, Bu, maksud dari kedatangan kami sekeluarga ke sini untuk membicarakan perihal anak-anak kita – Regina dan Sabian.”

Apa lagi yang mau dibicarain.

“Gimana baiknya, apa mau dinikahkan saja Regina dan nak Sabian, Pak, Bu?”

Right in front of my salad.

“Bukan gimana ya, sudah berbuat berarti siap bertanggung jawab. Dari pada maksiat lebih baik disatukan biar halal. Kalau dilihat nak Sabian juga sudah ada penghasilan, bisa membiayain Regina. Dulu susah bareng Regina, sekarang sudah sukses sama yang lain ya. Regina juga nggak keberatan kalau tinggal bersama keluarga Sabian di sini. Ya, Nak?”

The audacity.

Papa Sabian menegakkan duduknya. “Sebelumnya mungkin saya sampaikan info dulu kalau saya dan Mamanya Sabian sudah pisah dari beberapa tahun lalu.” Regina yang mendengar kalimat tersebut langsung mendongak kaget. “Sabian tinggal di sini sama Mama dan dua adiknya – Mirza sebentar lagi masuk kuliah, Zara naik kelas 3 ya, Zar?”

Gadis kecil di samping gue mengangguk.

“Kita bertemu begini kan untuk mencari solusi terbaik, dan menurut saya menikahkan mereka bukan solusinya. Kembali lagi, perbuatan mereka, yang sudah beberapa tahun lalu itu, dilakukan dalam keadaan sadar atas persetujuan dua belah pihak. Dan untuk pertanggung jawaban yang dilimpahkan ke anak saya, tanggung jawab apa?”

Nice, Om.

Waktu gue lagi nunggu jawaban pihak Regina, Sabian menoleh ke arah gue, mengaitkan jari kelingkingnya dengan milik gue, entah apa maksudnya. Gue hanya tersenyum.

“Sienna, ada yang mau disampaikan?” gue kaget waktu Om Emil – Papa Sabian, menyebut nama gue. “She's part of us, jadi saya rasa dia boleh buka suara.”

Gue menunggu jawaban Bapak Regina, yang nggak lama mempersilahkan gue untuk angkat bicara.

“Saya cuma ingin mendengar jawaban atas pertanyaan yang tadi diajukan Om Emil – Papa Sabian. Itu saja.”

Gue bisa melihat Regina menelan ludah.

“Ya saya minta tanggung jawab atas perbuatan anak Om dan Tante terhadap saya.”

Little Regina, so naive, so clueless herself.

“Kan saya udah pernah bilang ke Tante, struggle saya dulu gimana, banyak hal yang saya korbankan demi Sabian.”

“Sekarang kamu maunya apa sih?” Shit, Mama Sabian. “Kamu mau nikah sama Sabian?”

“Iya.” jawab Regina tegas.

“Saya bersedia.” Sabian buka suara di tengah panasnya ruangan. “Saya bersedia menikah dengan Regina. Saya akan tanggung jawab atas hal yang terjadi diantara saya dan dia beberapa tahun lalu. Saya tau nggak mudah untuk melalui semuanya seorang diri bagi Regina. Saya juga minta maaf atas perbuatan saya yang merugikan banyak pihak.”

“Sab?” gue merasa dada gue seperti habis dihujani batu besar – sesak.

“Kak!” Mirza yang juga nggak terima atas keputusan Sabian, mendorong Kakaknya hingga Sabian bergeser dari posisi awal duduknya.

“Kakak ... ” Zara yang masih mencari perlindungan di belakang punggung gue berucap lirih.

“Terserah, Kak. Mama pusing. Urusin tuh Pa, anak kamu.”

Make Up

TW : Make Out

Setelah membaca pesan Sabian di chat, gue menoleh ke arah kiri dan mendapati Sabian yang sedang berjalan ke arah gue. I hate him so much right now but he's so fine wearing all black outfit.

“Hai,” sapanya sambil merengkuh gue ke pelukannya.

Salah satu sifat Sabian yang nggak gue suka – pretend like nothing happened.

“Mobil siapa?” tanya gue begitu kita udah duduk di dalam mobil.

“Kantor.” jawab Sabian sambil menyalakan mesin mobil. “Can I take you somewhere?

Sure.


Sekitar kurang lebih satu jam, gue dan Sabian sampai di Pelabuhan Sunda Kelapa. He sure knows my favorite – Sea.

Sabian menghela napas sebelum berkata, “Sienna, aku minta maaf. For everything I did wrong you wrong, everything.

“Ada satu waktu, kemarin, dimana aku bahkan ngerasa kayak nggak kenal kamu Sab.” gue melepas seat belt dan sedikit memundurkan jok gue ke belakang.

I know, I'm sorry.” Sabian mengusap wajahnya kasar. “Aku udah cut off semua hal yang berhubungan sama dia. Aku minta maaf, Sienna. Aku nggak berpikir panjang, I was impulsive. It won't happen again, aku nggak mau bilang janji karena trust issues kamu pasti makin tinggi – but I'll do everything in my power to make you happy – to make you the happiest. Dan kamu nggak harus maafin aku sekarang. Fuck, I love you, Sienna. Like love love love you, I wish I could explain. I hate that I hurt you. I fucking hate it – “

“Sab,” gue berusaha nurunin tangan dia yang nutupin wajahnya. “udah.”

Gue melepas seat belt Sabian dan narik dia ke pelukan. Mengusap-usap punggung kokohnya pelan.

I miss you.” bisiknya pelan sebelum menarik diri dari pelukan gue.

Yang terjadi kemudian adalah bibirnya mengecup pelan bibir gue – I have a weak spot for his lips and I hate it. Kecupan singkatnya perlahan berganti menjadi lumatan, begitu sadar gue membalasnya, dia memundurkan sekaligus menurunkan seat-nya dan menarik gue untuk berpindah posisi ke pangkuannya.

Lengan Sabian memeluk pinggang gue erat, bibirnya kembali melumat bibir gue – kali ini sedikit menuntut. Gue merasakan pangkal paha kami bergesek, yang membuat desahan kecil keluar dari bibir masing-masing.

“Sab,” ucap gue pelan diantara ciuman kami, “people can see us.

“Shhh, that's why I park the car behind these containers.

This mother fucker came prepared.