Strangers With Memories
Salah satu hal yang gue suka dalam mempersiapkan sebuah acara pernikahan, dari segala banyak macam hal, adalah lokasi. Entah kenapa memilih lokasi menjadi hal yang teramat sangat menyenangkan buat gue pribadi. Di samping gue bisa sekalian jalan-jalan, kadang, beberapa lokasi punya ceritanya sendiri. Jadi waktu gue nggak sengaja ketemu lahan luas kosong yang sedikit terabaikan, dengan bangunan di tengahnya serta kolam ikan dan air mancur di halaman belakang, yang setelah gue cari tau ternyata milik Mak Koneng – penjual bakmi ayam favorite gue dan Dimitri, gue langsung ajak Mak Koneng buat ngobrol.
“Halo?” “Lo udah di sana? Orang design interior-nya nanyain, dia udah di sana.” “Ini gue udah di sini kok. Yang dateng si Mas Reza yang kemarin kan?” “Bukan, bukan. Ini bos-nya katanya yang turun langsung. Soalnya dia yang in charge design semuanya. Orangnya di dalem sih katanya, lo masuk aja langsung.” “Yaudah ini gue sambil jalan kok, Dim. Janjian sama Mbak Sella dari WO juga buat dekor – gue minta dia liat langsung.” “Good. Keep me informed ya.”
Gue melipat tangan di depan dada sambil sesekali berdecak kagum akan desain bagunan baru yang ada di sekeliling gue. Cat putih gading yang dipilih Dimitri, tangga minimalis di tengah ruangan yang gue pilih, serta desain menakjubkan yang bikin seluruh bangunan jadi jauh lebih hiudp dan indah.
“Sienna?”
Napas gue tercekat begitu mendengar suara familiar memanggil nama gue. Bahkan untuk beberapa saat gue enggan berbalik.
“Sienna?” panggilnya lagi.
Gue akhirnya berbalik, memperlihatkan senyum termanis gue – dihadapan Sabian, your heard it right, Sabian Aditama.
“Sabian.” ucap gue sedikit bergetar. You know what, at some point you still questioning yourself and you'll never understand why you were treated so wrong when all you ever trying to do was make them happy. Dan lagi, saat ini, gue mempertanyakan itu sekali lagi, di hadapan Sabian, atas kejadian bertahun-tahun lalu.
“Ah, I see,” dia terkekeh sambil memijat pelipisnya pelan. “Dimitri yang jadi client aku tuh Dimitri-nya kamu ya? Head of Finance, am I right?“
Lagi-lagi gue berusaha tersenyum. “No longer the Head of Finance, but yes, that Dimitri.“
“Mbak Sienna!”
Thank God.
Mbak Sella berlari kecil dari pintu masuk dengan tangan penuh bunga, color catalogue, dan perintilan lainnya.
“Napas dulu, Sel. Buru-buru banget sih.”
“Aku janji jam 11 ini udah jam 11.10, panik aku.” kata Mbak Sella sambil merapikan bunga-bunga di tangan kirinya.
Gue mengambil baby breath di tangan Mbak Sella. “Tuh kan, bagusan juga baby breath. Cocok sama tema wedding-nya.”
“Aku sama yang lain juga bilang gitu, tapi Mas Dimitri tetep mau white lily. Terus sama ini Mbak, jadi mau insial S sama D atau nama aja?”
Gue nggak tau kenapa, tapi waktu Mbak Sella mention inisial nama, gue refleks melirik ke arah Sabian. Sabian yang tadinya melihat sekeliling, tiba-tiba saja menoleh cepat ke arah gue dan Mbak Sella.
“S sama D aja, Mbak.”
“Minum dulu, Sab.” gue mengulurkan satu botol minuman dingin yang langsung disambut Sabian.
“Thank you.”
Setelah beberapa kali pastiin soal overall bangunan, gue dan Sabian memutuskan buat duduk di gazebo taman belakang. Kalau dibilang canggung, tentu masih terasa, tapi nggak se-obvious tadi, again, thanks to Mbak Sella.
“Sienna,”
“Sabian,”
Kami berdua tertawa.
“Kamu dulu aja.” katanya sambil membuka botol minuman dingin di tangannya.
“I was wondering, you know, interior design and architecture, since when,“
Sabian tertawa pelan sebelum gue sempat menyelesaikan kalimat yang mau gue utarakan.
“Couple years ago. I quit my job, walaupun posisiku udah lumayan banget di sana, but you know, it's never too late to follow your passion.”
“Glad to hear that.“
“How's life, Sienna? Seattle treating you good?“
Terrible.
“Nice, yeah, good.“
“So,” dia berdehem sebelum lanjut bertanya, “You and Dimitri?“
“Ye – what?” gue refleks menoleh ke arah Sabian. “Jangan bilang ... “
“You're getting married right? With Dimitri?“
Oh boy.
“No hahaha, God, no, Sabian. I'm not.“
“That S and D the woman mentioned earlier?“
“Dimitri and Shakilla, kalo kamu inget Kakak sepupu – “
“Kakak sepupu kamu yang tinggal di New York.”
“Exactly. Dimitri tuh udah kayak Kakak buat ku, I love him so much but not romantically. And a boyfriend like him? Hell no, thanks. Dia bawel banget.”
Lewat ekor mata, gue menangkap senyum tipis Sabian.
“How's life, Sab? I think I saw your wife and your daughter di Foodhall kemarin. She's cute btw.”
Alih-alih merespon pertanyaan gue, dia lebih memilih buat menegak minumannya.
“I know it's a sensitive topic, so if you're not comfortable to – “
“We divorced.” kata Sabian pelan. “And she's not my, you know,“
Gue menelan ludah. I didn't saw this coming. I mean, gue nggak berharap mereka pisah juga tapi di sisi lain gue juga nggak yakin Regina bisa keep up sama Sabian because his financial things.
“I'm sorry.“
“Don't be.”
Okey this is awkward. Sabian and I are both single and maybe, just maybe, still desperately in love with each other.
“Waktu itu hari Sabtu, aku lagi nonton tv sama Zara, tiba-tiba Regina teriak histeris dari kamar. Aku langsung lari ke kamar, ternyata dia lagi telepon, aku ambil alih teleponnya. Orangtua-nya kecelakaan di Kebumen. Satu mobil kebakar, nggak ada yang selamat. Usia kandungan Regina sekitar 5 bulan waktu itu, dan nggak mungkin aku bawa dia ke Kebumen buat cek orangtua-nya. Akhirnya aku sama Tama bawa mobil ke Kebumen, urus semua yang harus diurus di sana, dan langsung balik ke Jakarta setelah beres. Sekitar jam 4 pagi aku sampe Jakarta, Regina udah tenang. Tapi waktu aku cek, napasnya pendek pendek, badannya panas banget dan basah sama keringet. Aku pikir mungkin dia butuh istirahat karena shock. Setelah itu hampir satu minggu dia cuma makan sehari sekali, itu juga harus dibujuk, sampe berat badannya turun drastis. Puncaknya waktu Mirza mau ke kamar mandi dan nggak sabar karena Regina nggak keluar dari setengah jam yang lalu, akhirnya dia coba buka paksa dan liat Regina geletak di lantai kamar mandi. Saat itu juga dia telepon aku dan kita bawa ke ruma sakit. She was in a coma for a month, more or less.“
Tanpa sadar, gue menahan napas selama mendengar cerita Sabian. Nggak bisa bayangin both Sabian dan Regina ada di posisi itu. Sabian yang khawatir akan istrinya yang lagi hamil, dan Regina yang kalut akan kabar orangtuanya yang pergi dalam keadaan dia lagi mengandung.
“I'm so sorry, Sab, for your parents in law. Regina pasti kalut banget waktu itu.” gue menoleh ke arah Sabian yang entah melihat kemana. “Jadi dia ngelewatin koma satu bulan dalam keadaan hamil?”
“Sienna,”
“Iya?”
“Mau makan Bakmi Roxy nggak? Nggak bawa kendaraan kan ke sini?”
Gue mengangguk – mengiyakan kedua pertanyaannya.
“Yamin dua ya, Mas. Lengkap. Yang satu jangan pake daun bawang. Minumnya Teh Botol pake es batu.”
Gue tertawa kecil mendengar Sabian yang masih ingat pesanan gue di Bakmi Roxy – tanpa daun bawang dan Teh Botol pakai es batu.
“Gapapa kan makan di mobil? Dari pada dempet-dempet gitu tuh rame banget.”
“Modus aja kali kamu mau berduaan sama aku.”
“Yah, ketebak ya. Gapapa lah, bukan calon istri orang ini.”
Kali ini gue ketawa, bener-bener ketawa. “Lagian aneh banget, masa nyangka aku sama Dimi.”
Sabian ikut terkekeh. “Siapa tau kan.”
“Tapi, Sab,” kata gue sambil menurunkan sedikit seat yang gue duduki. “You seem healthier, well in fact you are indeed chubbier.“
“I take it as a compliment.” katanya sambil ketawa.
“It is a compliment.“
Nggak lama setelah itu, pesanan Yamin kami datang. Sambil makan kami lanjut bahas soal Regina yang koma selama kurang lebih satu bulan di rumah sakit. Kata Sabian, nggak ada penyakit serius,* and she was definitely not faking her coma*, kayak, buat apa juga. Satu waktu di hari Jumat, Regina siuman. Kalimat pertama yang dia bilang setelah sadar adalah, “Sabian, aku mau cerai.”
Gue yang baru mau melahap pangsit rebus di sendok seketika berhenti mendengar kalimat Sabian. “All of sudden? Out of nowhere?“
“Of course not. Dia bilang selama koma dia mimpi semua hal buruk yang bakal terjadi di hidup dia kalo dia nggak jujur sama diri sendiri dan sekeliling. Saat itu juga dia bilang kalo bayi yang ada di kandungannya bukan anak aku. I don't know how to respond back then. Waktu itu aku nolak, at least sampai dia lahiran. Dan setelah dia recover selama dua minggu, kita resmi pisah.”
“Bohong kalo aku bilang dunia ku nggak runtuh. Knowing the baby isn't mine – ours. Mulai saat itu aku tata ulang semua dalam arti kata, aku tegas. Zara pindah dari sekolah swasta ke sekolah negeri yang gratis. Mirza yang keras kepala mau kuliah swasta aku kasih dua pilihan; belajar dan masuk negeri atau cari kerja dan hidup sendiri. Mama yang suka irasional kalo minta apa-apa aku coba bujuk buat ikut kelas yang bermanfaat, dia pilih baking dan crochet. Papa juga nggak luput dari ini semua, kita bikin surat perjanjian atas kewajiban beliau nafkahin anak-anaknya (Mirza dan Zara) karena aku udah punya penghasilan jadi nggak termasuk, plus biaya sekolah adik-adik sampai S1 dan kebutuhan mereka, jadi aku bagian rumah, listrik, Wi-Fi, dan perintilannya. Setelah beberapa tahun, semua stabil, dan aku bilang Mama buat resign dari kantor. Aku apply sana sini yang berhubungan dengan arsitektur dan desain, sampai satu awaktu ku diterima di salah satu perusahaan kontraktor. Nggak sengaja asal kasih ide ternyata bos-nya suka, jadi lah aku ikut andil besar. Setelah banyak belajar dan explore, aku putusin buat bikin firma arsitek sendiri plus design interior-nya juga. And here I am now.“
Gue tersenyum kelewat lebar mendengar cerita Sabian. “I'm so proud of you, Sab. For what you've become.“
Sabian tersenyum sambil mengacak-acak rambut gue. “Aku balikin mangkok dulu. Mau air dingin?”
Gue mengangguk.