A for Effort

“Lo kenapa sih? PMS?” tanya Kinar dari meja sebelah. “Cranky banget dari kemarin.”

True. Bahkan Kinar bukan orang pertama yang bilang gue cranky beberapa hari ini.

“Laper.” Such a good liar.

“Lunch di –”

Kinar belum selesai dengan ucapannya tapi telepon di meja gue lebih dulu berbunyi. Gue mengangkat tangan – memberi tanda untuk menunggu.

“Halo?”

“Sienna,”

What?

You've been avoiding me for almost two weeks.

Kepala gue langsung nyeri begitu mendengar suara di ujung telepon.

“Tau dari mana nomer telepon kantor?”

Can we talk? In person? Aku di parkiran kantor kamu.”

Gue menghembuskan napas kasar. I can't stop him, can I?

“10 menit.” kata gue final. “nanti aku ke bawah.”


Tepat pukul 12.35 gue turun ke bawah, menepati janji gue yang akan menemui Sabian.

“Sienna.” gue menoleh begitu mendengar seseorang memanggil nama gue.

“Pak Arga.” gue sedikit membungkuk waktu mengetahui siapa yang memanggil gue. The one and only Pak Argawinata, the CEO.

“Apa kabar, Sienna?” Pak Arga menjabat tangan gue. “How's work?

Sebelum gue sempat membalas pertanyaan Pak Arga, ponsel gue berbunyi.

Sabian Udah lebih dari 10 menit, Sienna. Aku jemput ke dalem aja ya?

Dammit.

“Lancar, Pak. Banyak project baru juga. So far so good.” gue nyengir kuda. “Ada yang urgent kah Pak sampai datang ke sini?”

“Nggak, nggak,” Pak Arga mengibaskan tangannya sambil menggeleng. “Ezra mau buka rekening buat foundation barunya di bank sebelah, sekalian mampir aja kan deket. Eh itu dia kayaknya udah beres. Saya pamit duluan ya Sienna.”

Begitu selesai menjabat tangan Pak Arga dan sedikit membungkuk ke Ezra yang berdiri agak jauh dari tempat gue berdiri, gue segera berlari kecil menuju lobby. Too late, waktu gue sampai di lobby, dengan jelas gue melihat Sabian keluar dari mobilnya, his black B 14 N Mercedes-Benz E300 yang terparkir nggak jauh dari lobby.

Sabian dengan casual berjalan menuju lobby tepat dimana gue berdiri. Dua kancing kemeja putihnya dibiarkan terbuka. I was too stunned to speak, he is indeed God's favorite child. Fuck everyone, it's Sabian Aditama's comma hair for me.

“Katanya 10 menit.” ucapnya sambil melirik Omega di pergelangan tangan kirinya. “Ini sih lebih.”

“Kamu ngapain pake segala turun sih,” gerutu gue. “Nggak sabar banget.”

“Mbak Sienna,” gue menoleh ke sisi kiri, mendapati ibu ibu lantai atas yang lagi nunggu taksi – mungkin untuk ke tempat makan siang. “Pacarnya ya?”

Gue menggeleng sambil nyengir kuda dan menarik Sabian ke mobilnya sebelum dibombardir pertanyaan lebih lanjut, “Duluan ya, Bu.”


I saw her chat on your phone the last time we met.” mulai gue setelah beberapa kali pertimbangan.

“Hmm?”

“Waktu itu aku mau cek jam tapi hp ku di kamar, pas lagi masak di dapur” kata gue mencoba menjelaskan. “Terus ada hp kamu di meja makan, pas aku mau liat jam tiba-tiba ada chat masuk.”

“Oh,” Finally. “Itu.”

The freaking oh itu.

“Karena itu kamu silent treatment aku hampir dua minggu?”

Sort of.

“Buka aja hp-ku, passcode-nya masih sama.” Sabian merogoh saku celananya dan mengulurkan ponselnya ke gue. Yang jelas-jelas langsung gue tolak.

“Regina mau pamit, dia kasih tau aku kalo ayah dari anaknya mau tanggung jawab. She will be leaving somewhere this Friday.”

Oh?

Gue cuma mengangguk, mengembalikan pandangan gue ke luar jendela.

“Kamu mau lunch apa? Ini udah 30 menit kita muter SCBD lho.”

“Drive thru McD aja, I'm craving for their spicy chicken.

I don't know, but deep down, this feels weird. Being with Sabian; feels weird. Talking, laughing, eating, strolling, and the list is endless.