Him
cw // kiss , harsh words
I caught feelings like a damn amateur.
“Aswoutegdhfst-nya Kei ya?” Kak Dimi – sepupu gue yang paling tua, mulai basa basi nanya.
Kailan yang berdiri di samping gue cuma ketawa. That Goddamn laugh, I'm so freaking weak when it comes to his laugh.
“Ini,” Kailan ngulurin key card villa-nya yang langsung gue serahin ke Kak Dimi.
“Udah sana masuk,” kata gue, berharap sepupu-sepupu jahanam segera menjauh dari Kailan. Can't stand them any longer. “Gue nyusul.”
“Kei,” panggil Kailan, gue baru sadar dia udah nggak berdiri di samping gue. “Kayaknya gue lupa bawa deh.”
Gue menatap Kailan kebingungan.
“Buku.”
Oh.
“Mau ambil dulu nggak ke rumah? Deket kok.”
Can I say yes? No. Can I say no? Hell no.
“Yuk.”
Kailan has the prettiest house I've ever seen in my life.
“Masuk Kei,” katanya sambil menahan pintu depan rumahnya buat gue. “Lagi pada pergi jadi nggak bisa gue kenalin, next time ya.”
I smiled to myself. So there will be a next time for me to visit this beautiful house. Nice.
“Mau minum?” tanyanya smabil berjalan ke arah dapur dan membuka lemari es.
Gue mengangguk. “Boleh.”
Kailan mengulurkan satu kaleng coca cola yang langsung gue terima.
“Capek nggak nyetir Jakarta – Bandung?” tanyanya sambil mengusap pelan pungung gue. I know it's a bare minimun but God only know how much butterflies it gives me. In fact he give me that feeling and I'm not complaining.
“Nggak sih, mungkin karena nggak macet. Kalo macet gue nggak tau deh.” jawab gue sambil terkekeh – berusaha menutupi perasaan nggak karuan yang barusan dia kasih lewat sentuhan fisiknya.
Kami berhenti di satu pintu yang nggak berapa lama kemudian dia buka.
So this is his room.
Hal pertama yang gue notice dari kamar Kailan adalah its cleanliness and tidiness, well organized. Ada satu sudut yang mencuri perhatian gue. His bookshelf.
“Do your friends know you read so much?” tanya gue sambil menelusuri satu demi satu judul buku di bookshelf miliknya.
“Wah kalo itu gue nggak tau,” jawabnya sambil ketawa kecil. “But my family do. Ami is a book-worm, so I'm not the only one.“
“Ami?”
“Nyokap gue.”
Lucu.
Setelah puas meneliti rak buku Kailan, gue bergeser ke meja komputernya. Ada tiga frame foto di sana, dua diantaranya foto dia dan teman-temannya dan foto dengan orangtua serta Kakaknya. That's very sweet of him.
“Ini kenapa kosong satu frame-nya?” tanya gue yang kebingungan sama satu frame kosong di sana.
“Oh, itu, buat foto sama pacar nanti.” gue refleks ketawa. “Kalo punya.”
Gue pikir Kailan bakal ikut ketawa, tapi ternyata nggak. Waktu gue berbalik dan berhadapan sama dia, satu sudut bibirnya terangkat.
“Kenapa?” tanya gue clueless.
Satu tangannya terangkat mengelus pelan rambut gue. “You're here. In my room.“
Eyes. Those damn eyes fucked me over, and over, and over.
Tangannya turun ke pipi gue sambil senyum. “I dreamt of you last night, we were kissing and so in love, you even put your hand on my face. I woke up dizzy. So, may I, Keiramina?”
“Yes.”
Then he grab me by the waist and kissed me as if everything he'd ever been silent about finally found it's way to the surface.
Kailan menarik bibirnya menjauh dan hampir membuat gue marah, tapi begitu mendengar kalimat selanjutnya, I can’t even feel my knees anymore. “I could write a poem or two on your neck with my lips.“
“I'm so in love with you right now.” ucap gue sebelum mengikis jarak diantara kami lagi.
“Kei,” bisiknya ditengah-tengan ciuman kami. “I don't think I'd be able to stop if we keep doing this.“
“Then don't.“