paperlinesz

Bad Blood

TW // Harsh Words, Alcohol, Abuse

Gue menyisip habis sisa White Wine yang tadi sempat gue beli di salah satu mall yang nggak jauh dari hotel tempat gue stay selama di Bandung.

kring ... kring ... kring ...

Gue beranjak dari balkon, sedikit berlari ke meja kecildi samping tempat tidur untuk mengangkat panggilan sebelum terputus.

“Halo?”

“Selamat malam, Ibu Sienna. Ada tamu yang menunggu Ibu di lobby.”

“Tamu?”

“Iya, Bu.”

“Sebentar ya saya ke bawah. Thank you.”

Bathrobe yang masih belum gue ganti sedari selesai mandi tadi langsung gue lepas dan ganti ke piyama satin yang gue bawa.

Sepanjang turun ke lobby, pikiran gue nggak berhenti menebak-nebak siapa yang datang buat menemui gue selarut ini. Sabian? I don't think so, lagipula dia bukan orang yang nekat.

Begitu sampai di lobby dan mendapati satu perempuan dan dua laki-laki di sampingnya. Gue menelan ludah, seketika hati gue mencelos, lutut gue lemas, bahkan tanpa sadar kedua tangan gue bergetar.

Regina.

“Ada apa?” tanya gue setenang mungkin, membuat ketiga orang di hadapan gue berbalik.

Dia ketawa. “Aku kira kamu pengecut dan nggak akan mau nemuin.”

“Langsung ke intinya aja, this is past my bedtime, and I still have to work tomorrow.

“Sabian,”

Kali ini gue yang tertawa sinis. “Of course it's Sabian.”

Satu laki-laki di sampingnya maju – berusaha melayangkan tangannya ke gue, yang beruntung bisa gue hindarin.

“Jangan sok jagoan. Lo berani main tangan di tempat umum? Ada satpam di luar, cctv dimana-mana. Nggak semua orang kampungan kayak lo, yang nggak concern sama privacy dan seneng jadi konsumsi publik.” gue nggak bisa lagi nahan amarah. I don't even know him. FFS.

“Lo,” gue mengalihkan pandangan ke Regina. “Kalo lo ke sini mau ketemu gue, one by one. Jangan jadi pengecut dengan bawa masa.”

Gue berbalik ninggalin mereka bertiga. Sayup-sayup terdengar suara sana udah sana ai kamu dari belakang.

Langkah kaki gue nggak sendiri waktu jalan ke arah lift, jadi begitu masuk, gue tahan pintu lift, and there she is.

Pintu balkon yang tadi belum sempat gue tutup, kali ini gue biarin terbuka. Begitu juga dengan tirai panjang di jendela yang belum mau gue tutup. I don't want her to feel trapped, anyways.

What is it?” tanya gue sambil meletakan satu coke dan dua gelas berisi es batu.

“Permintaan aku masih sama, lepasin Sabian.”

Gue tertawa kecil. “You better come with a better excuse other than kid, or perhaps kids.

“Kenyataannya begitu.” suaranya meninggi.

Gue memainkan kelas di tangan gue. “Gue nggak akan bosen untuk nanya ini, tapi, Regina,” gue memijat pelan pelipis gue. “anaknya mana?”

“Regina, you're a grown up woman. And you do have a boyfriend now according to your conversation over a text with Sabian, oh and happy belated birthday by the way, but why are you still here? The only place you could love each other was at the past. Move on, Regina.

“Sabian bilang kangen.”

He was impulsive.” jawab gue hampir bersamaan.

“KAMU NGGAK BISA TERIMA KENYATAAN KALO SABIAN MASIH SAYANG SAMA AKU.”

Gue tertawa. Kali ini benar-benar ketawa. “He said he missed you over a text and do nothing, while he said he missed me and five minutes later he was on my apartment door asking for hugs and kisses. We're not the same, Regina.”

YOU'RE SON OF A BITCH!

Oh, maybe I am.

“Nama kamu tuh familar, sebelum sama kamu, Sabian sama Diandra – temen kuliahnya. Kamu kok nggak malu ngerebut pacar orang.”

Correct me if I'm wrong, but the last time you two decided to split up was because you choose someone else and leave Sabian, telling him you found someone who can make you happy and take you as you are. Jadi kenapa ganggu Sabian lagi?”

“Karena dia harus tanggung jawab.”

“TANGGUNG JAWAB ATAS APA?” gue nggak bisa lagi nahan.

“KALIAN BERHUBUNGAN BADAN ATAS DASAR SUKA SAMA SUKA. AND THE FACT THAT THE BABY IS NOT EVEN HERE RIGHT NOW MAKE THIS DRAMA LOOK EVEN MORE RIDICULOUS.” gue bangkit dari sofa dan menyambar botol Wine di meja kecil sebelah tempat tidur. “OH AND I'M NOT THAT STUPID, DULU LO SEMPET NGANCAM SABIAN DENGAN LAPOR KE POLISI, LO PIKIR SEGAMPANG ITU LAPOR POLISI? LO PIKIR POLISI MAU NGURUSIN SELANGKANGAN LO BERDUA?”

I hate that somehow I can't control myself.

Regina berdiri dan jalan ke arah gue, tangan kirinya terkepal dan satu tangan yang lain bersiap buat-

Plak

Satu tamparan mendarat di pipi gue.

Gue diam sambil mengatur napas. “Don't worry, I'll never hit women, men, people. Gue nggak akan bales.”

Gue berjalan ke arah pintu dan membukanya lebar-lebar. “Leave, before I call the security.

Waktu dia masih di muka pintu, gue berbisik. “If he really loves you, he wouldn't have to come back to you, he would never left.

“Jalang. Awas lo bakal gue bales.” bisikannya masih jelas terdengar di koridor.

Gue tertawa dan berbalik masuk. Membuka satu botol Red Wine berjalan ke balkon.

The Truth Untold

TW // Abuse, Divorce

Kalo ada temen gue yang tanya perihal hubungan gue dan Sabian, dengan berat hati gue akan jawab cuma temen sambil senyum tipis sebelum berlalu pergi. Do I love him? without doubt, I wish I could explain. Jadi waktu gue buka pintu kosan dan ngeliat Sabian berdiri sambil gigit bibir atasnya – cuma dia dan Tuhan yang tau seberapa lama dia nahan nangis, gue langsung tarik dia masuk buat meluk.

Nggak ada satu kata yang keluar dari mulut Sabian sejak satu jam yang lalu. Tangisannya udah berhenti, menyisakan mata bengkak yang masih merah.

“Minum dulu,” gue ngulurin hot chamomile tea karena di luar hujan. Also chamomile help people relax since he's not at his best self right now.

Thank you.” dia senyum kecil sambil ngulurin mug kosong ke gue. His smile doesn't even reach his eyes.

Feel better?” tanya gue dari dapur. Sabian masih nggak bergerak dari posisi pertama dia – duduk bersandar di kaki tempat tidur.

Much better, thanks to you.


“Aku nggak tau mulai kapan – karena lebih banyak ngabisin waktu di sini dari pada di rumah, tapi beberapa kali Mirza – adik aku, bilang kalo Papa Mama mulai sering ribut dan mecahin barang. Satu waktu bahkan Mirza liat Mama ditampar – yang buat dia bener-bener takut sama Papa-nya sendiri. Kalo udah ada suara ribut-ribut, dia aku suruh masuk kamar dan dengerin lagu full volume, sampe dia nggak bisa denger suara dari luar. Dan meledaknya kemarin – Papa mukul Mama sampe ujung pelipisnya sobek, Mirza kirim voice note ke aku nangis nangis. Aku balik ke Jakarta bener-bener nggak pake rem, isi pikiranku cuma Mirza, karena Zara – adik aku yang paling kecil, lagi di rumah Oma. Aku nggak sempet ketemu Papa, dia cuma suruh tinggal kunci mobil – “

“Makanya kamu balik ke Bandung naik kereta dan dijemput Kak Tama.”

Dia noleh ke arah gue – posisi kita terlentang sebelahan di tempat tidur menghadap langit-langit kamar. Satu tangannya meraih tangan gue. “Maafin aku, Sienna.”

Gue ikut noleh dan senyum – walaupun dia tau banyak pertanyaan yang ada di kepala gue, yang mungkin akan gue tanyain cepat atau lambat.

Sabian balik menatap langit-langit kamar gue sebelum lanjutin ceritanya. “Papa nikah sirih sama perempuan lain dan Mama minta cerai. And that's not even the worst part. Papa jadiin rumah di Jakarta sebagai jaminan atas pinjaman yang dia ajuin di awal bangun usaha propertinya. Semua habis – mobil, motor, furniture. Semester ini aku nggak dikasih uang kuliah – but thanks to Jo yang bantu lobby dosen wali aku dan untuk minta keringanan ke Dekan. Dan alasan aku pindah ke Tama –”

“Karena Papa kamu nggak kasih uang untuk perpanjang kosan.” gue melanjutkan kalimat Sabian dan memutar badan gue buat meluk dia.

It hurts, Sienna. Dadaku sakit.”

Gue cuma bisa meluk dia karena gue juga sama clueless-nya. And it sucks to see someone you love suffer in pain when there's nothing you can do to stop it – and sometimes worse than suffering yourself. Gue menghela napas pelan, satu pertanyaan lain yang sedari kemarin mengganggu pikiran gue, sebisa mungkin gue tahan. Mungkin nggak sekarang.

Stay

Setelah nanya dimana kamar Kak Sabian ke salah satu anak kost yang kebetulan papasan di gerbang tadi, gue akhirnya sampe di kamar paling ujung bangunan tiga lantai ini. Beberapa sepatu – yang gue yakin punya Kak Sabian, berantakan nggak beraturan di sebelah pintu.

Gue coba panggil namanya dua kali tapi nggak ada jawaban, jadi gue coba masuk dan as expected – nggak dikunci. Hal pertama yang gue notice dari kamar ini adalah barang-barang yang berserakan – berantakan, dan gue yakin kalo dia bukan typical orang yang messyaccording to Kak Ten; Sabian is a clean freak.

Satu persatu barang yang ada di depan gue, gue ambil – sedikit coba bantu rapihin, sebelum akhirnya gue duduk di ujung tempat tidur si empunya kamar.

“Kak,” panggil gue pelan sambil nyentuh dahi-nya yang, for the love of God, panas banget.

Gue cepet-cepet ambil bye bye fever yang tadi sempet gue beli di mini market – just in case, yang langsung gue tempelin di dahi-nya.

“Hi,” Gila kali ya, badannya panas gini masih sempet bilang hi.

Gue memutar bola mata sebal dan bantu dia bangun. “Jangan hi hi dulu, Kak. Ayo makan dulu, minum obat, baru tidur lagi.”

Rahangnya mengeras waktu dia sadar sama keadaan kamarnya. “Maaf berantakan ya, Sienna. Such an awful first impression indeed.

“Nggak penting itu, sekarang makan dulu.” Gue mengulurkan mangkok berisi bubur yang tadi udah gue beli.

Tangannya menerima mangkok sambil terkekeh. “Galak banget.”


Setelah berhasil rapihin kamar ala kapal pecah Kak Sabian, gue nyamperin dia yang tidur pules di kasur. Dada-nya naik turun tenang – nafasnya teratur.

Waktu gue bangkit ada tangan yang nahan gue.

Can you please stay?” bisiknya pelan.

Gue menangguk dan ikut rebahan di sebelahnya.

Busy Bee

“Jadi sebenernya udah demisioner?” Sabian menoleh ke perempuan di sebelahnya, sebelum mengembalikan pandangannya ke jalan.

“Iya, Kak. Tapi masih di tahan aja tuh sama Jawi, masih suruh bantu-bantu di himpunan.” Sienna menghela napas kesal. “Gapapa sih sebenernya, tapi kadang anak bawah suka nggak tau waktu kalo minta tolong, nggak sekali dua kali begitu. Kan kesel.”

Sabian menarik rem tangan dan menoleh ke perempuan berambut panjang di sebelahnya — kali ini sepenuhnya. “Jawi tuh ketua himpunan kan ya?”

“Eh kok tau?”

“Dulu sebelum naik jadi ketua himpunan di FEB, dia anaknya Jo di departemen human eksternal BEM kampus.”

Siena mengangguk paham. “Kalo Kak Sab?”

“Hmm,” Sabian berpikir sejenak, mengingat-ingat rentetan organisasi atau kegiatan yang pernah Ia ikuti selama hampir empat tahun berkuliah. “sempet di BEM kampus satu periode jadi staff media, terus ditarik Tama ke himpunan jadi wakil. Setengah tahun jadi penyiar Night Night di radio kampus bareng Jo. Terakhir nemenin Tenio di Fotocraft — UKM fotografi kampus. Terus udah, fokus TA.”

“Keren! “ Sienna mengacungkan kedua jempolnya. “Bisa bagi waktu buat organisasi sama kuliah, padahal Arsi tugas-nya numpuk. Btw di depan belok kanan ya, Kak.”

“Nggak juga.” Laki-laki dengan rambut yang hampir menutupi matanya itu tertawa — mengingat entah sudah berapa kali Ia titip absen. “Kalo bisa titip absen, kenapa nggak.”

Sabian menghentikan laju Accord hitam miliknya di depan bangunan bernuansa putih dengan pagar hitam.

“Makasih ya, Kak Sab. Jadi ngerepotin.” ucap Sienna seraya melepas seat belt yang melingkar di dadanya.

Sabian tersenyum kecil — memperlihatnya sedikit lesung pipinya. “Sama-sama, kayak sama siapa aja.”

Sesaat sebelum Sienna menutup pintu, Sabian mencondongkan tubuhnya ke depan. “Sienna,”

“Iya, Kak?”

By any chance, besok mau nemenin ke Braga lagi nggak?”