Decision, Decision
Pukul sebelas kurang dua puluh delapan menit – delapan menit terlambat dari janji , akhirnya, terdengar suaraderu mesin mobil di depan rumah Sabian, yang kami asumsikan sebagai keluarga Regina.
Diantara kami berenam – Mama & Papa Sabian, Sabian, Mirza, Zara, dan gue, cuma Papa Sabian dan Sabian yang beranjak dari duduk mereka. Genggaman tangan Zara dilengan kiri gue makin kuat – she's scared, well aren't we all. Nggak ada yang tau akan apa yang bakal terjadi di pertemuan kali ini. Anything could happen.
“Emang mereka punya mobil?” kata Mama Sabian.
Mirza – yang duduk di sebelahnya menggidikan bahu. “Pinjem orang kali.”
Gue, yang notabene bukan bagian dari keluarga, lebih memilih buat nggak buka suara.
“Kak Nana, ” gue menunduk lebih dekat ke Zara, “aku mau ke Oma aja.”
Dada gue terasa nyeri begitu dengar Zara berbisik. Entah gimana cara gue kalau ada di posisi Zara – anak 7 tahun yang tumbuh besar di lingkungan, well, nggak sehat?
Sabian melirik gue sekilas sebelum mempersilahkan Regina dan keluarganya masuk, yang gue balas dengan anggukan kecil dan senyum – there's no turning back.
Waktu tatapan gue dan Regina bertemu, dia langsung memutuskannya detik itu juga. What a shame, gue pikir kita akan terlibat staring contest yang sengit.
“Maaf ya, Pak, Buk, semuanya, kami telat. Jalanan Jakarta macet sekali.” laki-laki paruh baya, yang gue taksir berumur kurang lebih 50 tahun, membuka obrolan. Mereka datang bertiga – Regina, Bapak, dan Ibunya.
Gue melirik Mama Sabian yang membuang muka ke sembarang arah, dan Papa Sabian yang cuma tersenyum – yang gue tau pasti dipaksakan. Gue melirik ke Regina, yang secara kebetulan sedang melambaikan tangannya ke arah Zara. Sayangnya si anak malah menyembunyikan kepalanya di belakang punggung gue.
Sabian akhirnya masuk setelah menutup pintu pagar, menempatkan diri duduk di samping kanan gue.
“Ini siapa?” tanya Bapak Regina – menunjuk ke arah gue.
Gue tersenyum, jarak yang cukup jauh – walaupun nggak jauh banget, membuat gue nggak bisa menjabat tangan si Bapak. “Saya Sienna, temen Sabian.”
Gue dan Sabian sepakat memperkenalkan diri gue sendiri sebagai “teman” kalau nanti pihak Regina bertanya, yang mana ternyata kejadian. Meanwhile Regina, yang duduk di sebelah kiri Bapaknya tersenyum sinis.
“Sab,” gue menyenggol lengan Sabian. “Aqua yang di dus tadi keluarin aja.”
Sabian mengangguk paham dan langsung bangkit ke dapur.
Sabian meletakan kotak air mineral yang terbuka lebar di tengah kami. “Maaf ya Pak, Bu, cuma ada ini.”
Gue melirik Regina dan mengangkat satu alis, entah kenapa gue bisa ngerasain hawa dia yang terintimidasi akan hadirnya gue ditengah-tengah urusan mereka ini.
Bapak Regina berdehem sebelum kembali buka suara. “Begini, Pak, Bu, maksud dari kedatangan kami sekeluarga ke sini untuk membicarakan perihal anak-anak kita – Regina dan Sabian.”
Apa lagi yang mau dibicarain.
“Gimana baiknya, apa mau dinikahkan saja Regina dan nak Sabian, Pak, Bu?”
Right in front of my salad.
“Bukan gimana ya, sudah berbuat berarti siap bertanggung jawab. Dari pada maksiat lebih baik disatukan biar halal. Kalau dilihat nak Sabian juga sudah ada penghasilan, bisa membiayain Regina. Dulu susah bareng Regina, sekarang sudah sukses sama yang lain ya. Regina juga nggak keberatan kalau tinggal bersama keluarga Sabian di sini. Ya, Nak?”
The audacity.
Papa Sabian menegakkan duduknya. “Sebelumnya mungkin saya sampaikan info dulu kalau saya dan Mamanya Sabian sudah pisah dari beberapa tahun lalu.” Regina yang mendengar kalimat tersebut langsung mendongak kaget. “Sabian tinggal di sini sama Mama dan dua adiknya – Mirza sebentar lagi masuk kuliah, Zara naik kelas 3 ya, Zar?”
Gadis kecil di samping gue mengangguk.
“Kita bertemu begini kan untuk mencari solusi terbaik, dan menurut saya menikahkan mereka bukan solusinya. Kembali lagi, perbuatan mereka, yang sudah beberapa tahun lalu itu, dilakukan dalam keadaan sadar atas persetujuan dua belah pihak. Dan untuk pertanggung jawaban yang dilimpahkan ke anak saya, tanggung jawab apa?”
Nice, Om.
Waktu gue lagi nunggu jawaban pihak Regina, Sabian menoleh ke arah gue, mengaitkan jari kelingkingnya dengan milik gue, entah apa maksudnya. Gue hanya tersenyum.
“Sienna, ada yang mau disampaikan?” gue kaget waktu Om Emil – Papa Sabian, menyebut nama gue. “She's part of us, jadi saya rasa dia boleh buka suara.”
Gue menunggu jawaban Bapak Regina, yang nggak lama mempersilahkan gue untuk angkat bicara.
“Saya cuma ingin mendengar jawaban atas pertanyaan yang tadi diajukan Om Emil – Papa Sabian. Itu saja.”
Gue bisa melihat Regina menelan ludah.
“Ya saya minta tanggung jawab atas perbuatan anak Om dan Tante terhadap saya.”
Little Regina, so naive, so clueless herself.
“Kan saya udah pernah bilang ke Tante, struggle saya dulu gimana, banyak hal yang saya korbankan demi Sabian.”
“Sekarang kamu maunya apa sih?” Shit, Mama Sabian. “Kamu mau nikah sama Sabian?”
“Iya.” jawab Regina tegas.
“Saya bersedia.” Sabian buka suara di tengah panasnya ruangan. “Saya bersedia menikah dengan Regina. Saya akan tanggung jawab atas hal yang terjadi diantara saya dan dia beberapa tahun lalu. Saya tau nggak mudah untuk melalui semuanya seorang diri bagi Regina. Saya juga minta maaf atas perbuatan saya yang merugikan banyak pihak.”
“Sab?” gue merasa dada gue seperti habis dihujani batu besar – sesak.
“Kak!” Mirza yang juga nggak terima atas keputusan Sabian, mendorong Kakaknya hingga Sabian bergeser dari posisi awal duduknya.
“Kakak ... ” Zara yang masih mencari perlindungan di belakang punggung gue berucap lirih.
“Terserah, Kak. Mama pusing. Urusin tuh Pa, anak kamu.”