Edinburgh
Belum ada satu pun balasan dari Kailan, bahkan sampai gue menginjakan kaki di lantai apartment-nya. Setelah mengirim pesan singkat izin masuk, gue menekan passcode unit-nya, 0616, gabungan tanggal lahir kami.
Click.
Nggak ada tanda-tanda kehidupan, gelap, dingin. Gue meraih saklar lampu di balik pintu. As expected, rapih. Unit apartement Kailan selalu rapih. Gue tersenyum kecil, si clean freak, my clean freak.
“Kai?” panggil gue memastikan keberadaan si empunya kamar.
Nggak ada balasan. Hanya suara angin.
Kebiasaan deh tirai sama pintu balkon nggak ditutup, gerutu gue dalam hati sambil berjalan ke arah balkon.
Belum sempat gue menginjakan kaki di area balkon, ada suara yang menghentikan langkah gue.
“Jangan ke sini dulu, aku masih ngerokok.” katanya sambil menghembuskan asap dari mulutnya.
Gue berhenti di ujung pintu, mengangguk singkat dan memilih diam, memperhatian sosok laki-laki yang sedang duduk di kursi balkon dengan raut wajah, yang buat gue sendiri, sulit diartikan. Kailan, dengan t-shirt Nirvana favorite-nya dan rambut acak-acakan. My favorite.
“Sini,” sambungnya sambil mengulurkan tangan, setelah melempar puntung rokoknya ke tempat sampah di sebelahnya.
Gue melangkah maju mendekatinya. “Maaf aku tiba-tiba ke sini.”
Seperti magnet, lengannya langsung ia tempatkan di pinggang gue.
“It's okey,” Kailan membenamkan seluruh wajahnya di perut gue. “Tadi aku baca lewat notif, I miss you too.”
Gue ketawa mendengar ucapannya, refleks mengacak-acak rambutnya yang udah mulai panjang menutupi mata.
“Ayo masuk, udah malem.” Kailan menarik diri dari gue dan bangkit, tapi satu lengannya di pinggang gue nggak dia lepas. “Kamu nginep kan?”
“Pulang aja deh.” canda gue yang langsung dibalas dengan seringai nyebelinnya.
Setelahnya dia masuk ke kamar buat ambil baju dan celana pendeknya. Si paling bisa mandi malem.
“Aku mandi dulu bentar, bau rokok.” katanya, diiringi dengan satu kecupan yang mendarat di puncak kepala gue sebelum dia berlalu pergi.
“Maaf ya aku nggak bales chat. Tadi bener-bener kesel. Maaf belum bisa kontrol emosi dan malah jadi diemin kamu kayak tadi. Won't happen again, I promise.” jelasnya waktu Kailan rebahan di sebelah gue setelah dia beres mandi. “Aku tuh dari awal udah bilang sama kajur buat nerusin di CU sama anak-anak, terus tiba-tiba ada info kalo CU nggak nerima mahasiswa kampus mitra buat ke sana. Kayak, anying sia kunaon.”
Seketika gue ketawa dan buru-buru menutup mulut dengan tangan.
“Kamu kalo ketawa sekali lagi aku cium ya.” katanya, yang membuat gue malah makin terbahak sama ekspresi wajahnya yang kesal.
“Kamu kalo ngomong bahasa sunda tuh lucu, walaupun marah tapi gemes. Sorry, can't help it.”
Kailan melempar satu bantal ke arah gue, yang membuat gue lagi-lagi ketawa. Namun setelahnya dia menarik gue mendekat. Kali ini giliran gue yang menenggelamkan wajah di dada bidangnya.
Gue mendongak, memainkan jari telunjuk di lehernya. “Terus jadinya kemana kalo CU nggak bisa?”
“Edinburgh University.”
“Berapa lama?”
“Dua tahun, more or less.“