paperlinesz

Midnight Encounter

Kurapatkan jaket hitam milik Terra yang sengaja kubawa ke Bandung kali ini – in case I miss his heavenly scent. Belum ada balasan dari Terra sejak terakhir kali aku mencoba untuk menghubunginya, pun pesan dariku belum ada yang ia baca.

Kenapa lama banget, batinku di depan lift yang masih berjalan dari lantai lima ke lantaiku di tiga belas.

Ding!

“Le?” aku mendongak kala mendengar seseorang memanggil namaku, di saat yang bersamaan dengan terbukanya pintu lift. “Mau ke mana?”

Aku mendongak dan mendapati sosok laki-laki yang jauh lebih tinggi dariku tengah menaikan satu alisnya. “Lo ngap –”

Kalimatku belum sepenuhnya tuntas ketika Terra menarik pergelangan tanganku ke kamar nomor 908 – kamar yang kutempati.

I miss you.” bisiknya sebelum merapatkan tubuhku ke dinding setelah berhasil menutup pintu, detik berikutnya ia memangkas jarak di antara kami. Aku tersenyum seraya melingkarkan kedua lenganku pada lehernya.

“Kalimat balik kerja tuh alibi doang ternyata, cih,” aku memukul pelan bahunya. “Miss me that much?

I do.” tangannya kini berada di pipiku, dengan perlahan turun ke rahang – his favorite spot to -

Dering telepon di sudut ruangan membuyarkan fokus kami.

Aku memejamkan mata kesal dan membiarkan Terra berjalan ke sebelah tempat tidur guna mengangkat panggilan.

“Halo?”

”.....”

“Boleh tolong diantar ke kamar?”

”.....”

Thank you.

Aku menghampiri Terra yang kini duduk di ujung tempat tidur. “Kenapa?”

Ia menepuk pahanya – mengisyaratkanku untuk duduk di pangkuannya, yang segera kuturuti.

“Gue order makanan.”

Satu alisku terangkat. “Woah, so I'm not your dinner.

Dessert.” balasnya cepat, diikutin senyum jahilnya. “Or appetizer, if you want.”

The latter sounds interesting.

After Hours

“Capek?” tanyanya dengan suara kelewat lembut, membuat mataku yang semula terpenjam kembali terbuka.

Aku menoleh ke sosok laki-laki di balik kemudi yang beberapa menit lalu menjemputku di kantor. “Lumayan.”

Ia mengulurkan satu lengannya untuk mengusap pelan rambutku. “Mau makan dulu nggak?”

Aku mengangguk.


Alterra Mariano Riahi, yang biasa kupanggil Terra – or babe in certain situation, adalah sosok laki-laki dengan senyum yang sampai detik ini masih belum bisa kujabarkan penggambarannya. Pembawaannya yang tenang, cara ia bicara, gesture tubuhnya, ah the list is endless.

Kami bertemu dalam penerbangan dari Paris menuju Jakarta, berbulan-bulan lalu. Secara nggak sengaja ia duduk di seat sebelahku pada kelas bisnis. Aku yang gusar akan penempatan seat yang ternyata tidak sesuai ekspektasiku nyataya menyita perhatiannya.

Would you like to switch the seat?

Kudapati senyum manis dan nada suara hangat miliknya. “Is it okey?

Bukan jawaban yang kudapatkan, melainkan dirinya yang bangkit dari kursi dan mempersilahkan aku menempatinya kursinya.

I hate aisle.” akuku yang disambut tawa renyahnya. “Thank you.

It's Terra.” katanya sembari mencari posisi nyaman di tempat duduk barunya. “And you're welcome.

It's Ariella, by the way.

Kami menghabiskan waktu belasan jam di atas pesawat dengan bertukar kisah – pendidikan, pekerjaan, bahkan keluarga. Percakapan bahasa inggris yang semula kami gunakan mendadak berubah menjadi candaan setelah aku yang nggak sengaja mengumpat karena ponselku yang jatuh, membuat laki-laki disampingku ikut tergelak lantaran dirinya nggak menduga bahwa aku dan dia berasal dari negara yang sama. Cerita tentang Tera akan kuberi tahu lagi nanti, karena kini yang terpenting adalah meyakinkan perasaanku bahwa Terra hanyalah sosok laki-laki asing biasa, dengan senyum yang luar biasa.

“Dijemput?” tanyanya saat kami sudah berada di baggage claim Terminal 3.

Aku menggeleng. “Naik taksi.”

“Mau bareng? Gue bawa mobil.”

Aku mengangguk sebelum akhirnya mengutuk diri dan membiarkan Terra mengambil alih koper besarku untuk berjalan ke arah di mana mobilnya terparkir.


“Lo inget kan event project yang gue ceritain kemarin?” Terra mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya pada jalan. “Itu tuh mereka minta ganti hari, sedangkan semua persiapannya udah hampir selesai. Gimana gue nggak migraine coba.”

“Udah coba ngomong sama atasan lo? Jangan semua jobdesc lo yang kerjain, Le. You're not paid enough for this.” Terra menarik rem tangannya saat kami berhenti di lampu merah. “Gue nggak mau ya angkat telepon dari lo jam dua pagi ngeluh sakit kepala and ended up di IGD RSPI.”

Aku menoleh ke arahnya dan mengulurkan satu lenganku untuk mengusap pipi tirusnya. “Won't happen again, I promise.

Aku pikir setelah di mana malam ia mengantarku pulang saat kami tiba di Jakarta kala itu, nggak akan ada lagi alasan untuk kembali bertemu karena, well, nggak ada yang berinisiatif untuk meminta nomor telepon untuk sekedar bertanya kabar atau hal klise lainnya.

Namun satu minggu kemudian, kudapati dirinya yang sedang merokok di lobby apartmentku.

I don't know,” katanya sambil mengangkat kedua bahu. “I just feel like talking to you.

Kalimat pamungkas yang berakhir dengan satu botol white wine dan sekotak pizza di ruang tv apartmentku, serta beberapa lebam ungu menghiasi bawah leherku.

Hingga berbulan-bulan kemudian, sosoknya nggak pernah absen di hari-hariku.

Thank you for another drive me home safely, Alterra.” aku mengecup pipinya saat ia menahan pintu mobil untuk aku keluar. “Rest well.


Home sweet home, after a tiring-hectic-chaos day.

Aku menyalakan kran air di bathtub sebelum masuk ke kamar dan mengganti semua pakaianku. Sesaat kupandang diriku di depan cermin; bulu alisku yang mulai tumbuh, kantung mataku yang terlihat lebih hitam, serta pipi tembamku yang belakangan ini menjadi bulan-bulanan hampir semua orang kantor.

Ting!

Kulirik ponsel di ujung meja rias saat tengah membersihkan make up, yang segera kuraih setelah sekilas mendapati nama Terra di sana.

Terra : I change my mind. Can I go upstairs?

Merry-Go-Round of Life

Do you ever look at someone and your heart just freaking melts? Because I just did.

Rakailan bersandar di sebelah Volkswagen Beetle hitam miliknya dengan satu tangan di saku celana dan tangan lain yang sibuk dengan ponselnya. Ripped jeans abu-abu, t-shirt putih dan kemeja lengan panjang yang ia gulung sampai siku screams Rakailan so much. It feels like forever since I've seen him, bahkan setelah berbulan-bulan nggak bersua, masih dia yang jadi juara pertama perihal membuat gue salah tingkah hanya dengan kehadirannya.

“Apa kabar, Keiramina?” tanyanya sambil menyisir rambutnya yang sudah panjang dengan jari lentiknya, setelah duduk di sofa yang bersebrangan dengan gue di ruang tengah. He calls my name like a prayer – like an amen.

“Baik, Kailan. How's yours?” No, it's the way we call each other's name like a prayer – like an amen.

So,” gue melipat kedua tangan di depan dada, mempersiapkan diri untuk mendengar segala penjelasan darinya. “What brought you here?

Ada helaan napas kecil yang samar gue dengar di sana. Di satu sisi, ingin rasanya menghampiri Kailan dan mengusap puggungnya – sekedar menyampaikan secara tersirat bahwa nggak ada salahnya menjadi rentan. Namun di sisi lain, ada satu keraguan tak kasat mata di antara kami yang masih sarat akan kejelasan.

“Ami bilang, when we assume what our friends, partner, even family are feeling and thinking, we somehow created a story that might not be true. So if you want to know – to clarify, go ask them.” tatapan mata Kailan bertemu dengan mata gue yang sedari tadi nggak lepas dari sosoknya. “Are you and that guy named Aceng, a thing?

What makes you say that?

I saw you two, I don't know, pretty close.

We were close, does that mean we are a thing?

We are, not we were.

Gue menggigit bibir bagian dalam ketika mendengar penekanan Kailan pada kata are. I know Kailan, when you love someone so much, letting go is never an option. But love, is a strong word for both of us right now.

“Aceng has a girlfriend, Kailan.” kali ini gue mendongak sambil tersenyum kecil. “He has a crush on Claudia – junior aku di jurusan. Clau cerita ke aku, karena kita satu divisi di BEM. Aceng juga cerita ke aku, karena basically dia temenku. So I helped them and voila, two became one.

Kailan menatap gue dengan senyum simpul samarnya. “It's a relief.

Ada hening di antara kami pasca kalimat terakhirnya. Bukan, bukan hening yang canggung. Berbulan-bulan nggak bertemu dan minim kamunikasi nggak bikin kita jadi orang asing, in fact his heart and my heart are very very old friends.

“Aku minta maaf, Keiramina.” for a split I knew, I love Rakailan so much it's not even funny because he is a comfort and a heartbreak to me at the same time, at least for now. “Keizya – adik kembarku, meninggal karena hanyut di sungai, tujuh tahun lalu, waktu kami masih tinggal di Prague. Waktu itu aku, Ami, Ayah, dan Kagi lagi piknik di pinggir sungai. Aku sama Keizya cari batu kali sampe agak jauh dari yang lain, karena arusnya tenang, aku sama Keizya ke tengah. Tapi tiba-tiba ada arus deres ... itu cepet banget ... aku bahkan nggak bisa liat Keizya ... the world just stops –”

Kailan is a man of a few words and emotions. Melihat dia yang bicara terbata-bata membuat gue langsung beranjak dari sofa dan berpindah ke sebelahnya. Menceritakan kembali kejadian menyakitkan di dalam hidup bukanlah hal yang mudah. Jadi yang gue lakukan setelahnya adalah menggenggam satu tangannya dan mengusap punggungnya dengan satu tangan yang lain. Kailan being vulnerable is a rare sight to see.

“Aku shock ditinggal Keizya secepat itu. Bertahun-tahun aku coba buat ikhlas tapi ternyata nggak bisa.” Kailan mendongak dan menoleh ke arah gue. Tatapan matanya tenang, namun gue tau ada perih yang ia simpan di sana, berusaha sekuat tenaga agar nggak menjatuhkan satu tetes air mata. “Waktu aku bilang I saw familiar faces di Old Town itu, yang aku tinggal kamu di Candy Store, aku lihat Keizya – lagi jalan bawa tas belanja hijau pakai cardigan lavender yang Oma bikin khusus buat dia sebagai hadiah ulang tahun. Aku masih denial, Keiramina. Aku bahkan ribut sama Ayah perihal ini. Sampai akhirnya kita semua ketemu di Prague dan bahas semua hal yang nggak aku tau.”

If Rakailan was a book, this is the ripped chapter – the one with the drops from the tears shed.

“Aku selalu punya pikiran kalau Keizya masih ada, that the police did us dirty. Bertahun-tahun, Keiramina, aku hidup dalam rasa bersalah. Hari itu Ayah dan Ami kasih tau kalo polisi kasih mereka bukti – karena Ayah sama keras kepalanya sama aku perihal kehilangan Keizya. Liontin dengan foto keluarganya kita. Saat itu rasanya aku mau marah – ke diri sendiri. But then I remember you, a girl who came and help me laugh a little harder and cry a little less. And I decided to forgive everything, including myself.”

“Aku nggak pernah ada niat buat jadiin kamu pelampiasan atas apa pun. Di awal aku pikir aku tertarik sama kamu karena sekilas kamu ngingetin aku sama Keizya – muka mungil dan rambut panjang. Tapi nggak Keiramina, you're more than that. Kamu Keiramina, buka Keizya.” Kailan memijat pelipis kirinya dengan pelan setelah kaitan tangan kami terlepas. “Aku minta maaf perihal kalimat this isn't working yang pernah aku ucapin ke kamu. Maksud dari kalimat itu bukan hubungan kita, tapi lebih ke cara komunikasi kita saat itu. Maaf karena aku seakan narik diri juga. Setelahnya pun aku nggak langsung bahas, I really need time back then. Soal drunk calls and texts, like I said, I have so much of you in my heart, dalam keadaan sadar dan nggak sadar sekali pun – my head is spinning but all I think about is you. And the worst pick up lines I've ever said to you, hell, I wish I could take my words back. Aku minta maaf ya, Keiramina. I'm sorry if I hurt you during the process.”

Gue mengulurkan tangan untuk mengambil segelas air dingin di meja kecil sebelah sofa, menegak tandas isinya tanpa sisa.

“Kailan,” mulai gue tanpa mengalihkan pandangan dari gelas di tangan gue. What do you expect? Me looking at him while letting out my doubts? No, thanks.

Dia menoleh ke arah gue. “Hm?”

“Aku minta maaf juga, ya? Asumsiku waktu itu keterlaluan, harusnya aku paham keadaan kamu, bukan malah nge-push kamu buat jawab dan mentingin egoku. Sekali lagi maaf ya, disaat kamu butuh dimengerti, aku malah nggak bisa ngertiin sama sekali. Jadi mulai sekarang bagi dukanya sama aku, ya? It's not fair that we laugh together but you cry alone.”

Ada banyak hal yang mau gue ucapkan, tapi ternyata yang bisa gue keluarkan hanya itu. But it's good, though. Ada satu hal yang gue sadari belakangan ini, we can apologize because we value them, and it isn't always about being wrong.

Gue meletakan kembali gelas kosong ke meja di sebelah sofa. “Mau kamu atau aku?”

“Apa?” tanyanya dengan tatapan bingung.

“Yang peluk?”

Detik berikutnya Kailan sudah merengkuh gue ke dalam dekapannya. Damn, he smells like a dream – a really good dream. His hug is always warm, Kailan indeed sunshine in a human form. I've never ever been more stresses out than this. To finally able to be in his arm all over again.

On a serious note,” Kailan melonggarkan pelukannya. “Mulai sekarang aku mau egois, boleh ya? Buat sayang sama kamu lebih dari porsinya. Jadi, sama aku terus ya, as my significant other – my better half.”

Boleh, Kai. I'm all yours. Namun yang keluar hanya anggukan.

Dari artikel tentang healthy relationship yang gue baca, ada empat bagian yang harus kita pahami perihal hubungan yang kita jalani itu sendiri. Appreciation, along side with safety in conflict – which the ability to disagree without harsh judgement, realistic expectation dimana jelas kita sadar kalau nggak ada satu orang pun yang bisa memenuhi apa yang kita mau, dan yang terakhir openness – to be curious, vulnerable, and emotionally conncected.

Kailan kembali menarik gue ke pelukannya, diikuti satu lengannya yang mengusap lembut punggung gue. “I really like the fact that as a grown up, we're able to learn that life doesn't always turn out the way we initially wanted – dreamed. And somehow, that's okey.

Lagi-lagi gue mengangguk setuju. Memeluk Kailan is a free therapy. Kalau ada moment di mana otak gue nggak bisa diajak kerja sama untuk berpikir, mungkin ini salah satunya.

“Kailan,” gue memposisikan dagu gue tepat di bahunya. “I never wanted to be your whole life, just your favorite part. If you don't mind.

You already are.” jawabnya. Gue bahkan bisa merasakan senyumnya di kalimat yang baru saja ia ucapkan.

Sewaktu gue berusaha untuk melepas pelukan, Kailan menolak. Ia malah mempererat rangkulannya. “If you give me a long hug I might start crying.”

Kemudian Kailan menyerah dengan melepaskan pelukannya, walaupun kedua lengannya masih setiap di pinggul gue. “Ami was right, when a women cut her hair, she could kill a man too. I'm nearly dying, you know. And I realized you deserve happiness and everything you could possibly desire and I'm going to work my ass off so I can give you everything. God, I love you so much and I hope you stay around for a long time because I think, well, forever is such a long time, but I want you in my life forever.

You're being talkative,” gue mengangkup wajahnya. “I love it.”

My mouth can do a better job than talking tough.” godanya sambil mendekatkan wajahnya ke arah gue, diikutin dengan senyum jahilnya.

Gue tertawa untuk beberapa saat sebelum mengamati wajah Kailan, tiap lekuknya nggak luput dari pandangan. Why on earth this man is so attractive. “I love you, boyfriend.

It's such an honor to finally call you my girlfriend, Keiramina.” ucapnya tulus tepat di mata gue, sedangkan jari-jarinya mengelus lembut pipi gue. At this point, I couldn't be more in love with this guy. “And I love you too. Always.

Somebody once said that trauma isn't something about what happened to us, it's about the story we tell about ourselves based on what happened to us, and re-writing our story is key.

No one compares to the person I met on my healing pace. Rakailan, thank you for making me feel things I thought I could never feel in life.

Kailan : Transatlanticism book version available in offline and online bookstore, published by Penerbit Bukune.

Transatlanticism

Should I let her go?

Dari sekian banyak pekan yang gue lewati tanpa Keiramina, nggak pernah sedikit pun terbesit di otak gue buat pergi dari dia – literally and figuratively. But this time, it's different. I feel lost – not to mention I was drunk.

Perihal asumsi Keiramina, gue rasa hak untuk sedikit kesal wajar adanya. You can heal from a painful experience and still carry the scars from what you went through and you still have it cross your mind sometimes. Buat gue pribadi, jalan beriringan dengan trauma bukan hal yang mudah. Trauma doesn't make you stronger, trauma makes you traumatised. Gue nggak minta banyak, cukup sedikit waktu buat memproses semuanya, bukan dengan dituntut segala macam pertanyaan dalam kondisi yang nggak stabil. Lalu gimana dengan trauma gue? Apa gue harus jawab dan meledak saat itu juga dengan menjawab semua pertanyaan Keiramina? Atau kita harus adu argumen atas siapa yang salah dan siapa yang benar? I prefer not to. Gue tau ini salah karena kunci dari suatu hubungan yang sehat, yang kita semua setujui, adalah kejujuran. Gue akan berhenti di situ, nggak perlu ada alasan-alasan lain yang membuat gue menjadi laki-laki yang terlihat nggak mau mengakui kesalahannya, karena jauh di dalam lubuk hati yang terdalam, gue tau gue salah.

Kalimat this isn't working yang gue kirim ke Keiramina dan membuat jarak diantara kami terlampau semakin menjauh adalah kesalahan nomer dua, setidaknya buat gue. This yang gue maksud adalah cara kita komunikasi, yang ternyata berbeda dengan interpretasi Keiramina yang merujuk ke hubungan kami. Karena setelahnya, gue nggak lagi terima panggilan dan pesan darinya.

Satu minggu pertama, kedua, dan ketiga, all fine. Di minggu keempat, gue mulai limbung. Gue kangen Keiramina. And it's not fair that I'm thinking of her and she probably haven't thought of me at all. But again, if you're doing something for someone to get something in return, that's not actually kindness, that's unconscious manipulation. Jadi yang gue lakukan setelahnya adalah, kasih dia waktu. Sebagaimana dia kasih gue waktu.

Setiap Vanya beli Thai Tea di City Center, selalu ada Keiramina di benak gue – the way her face lights up when I bought her a cheap Thai Tea. Keiramina ada di mana-mana. Di pojok perpustakaan umum tempat kami membaca sambil beberapa kali mencuri kecup, di tiap sudut unit dorm gue yang entah sejak kapan dipenuhi dengan aroma peony khas dirinya, di tempat tidur, di dapur, bahkan di balkon – her favorite spot to read.

Keiramina, I don't think I have ever found a real connection with anyone other than you and screw your Instagram update with that coffee guy because I'll shoot my shot this time without hesitation. She's worth more than second thoughts and maybes, she deserve not only my yesterdays but also my tommorows. It's the way I would risk my life for her.

And I shouldn't let her go.

Sad Movie

What's the most pain you've felt that wasn't physical? Mine is loving Rakailan, recently.

Satu minggu yang lalu nama Kailan muncul di notifikasi ponsel gue, setelah hampir satu bulan bungkam perihal salah paham yang gue sendiri nggak tau apa yang salah dan harus dipahami. Bubble chat terakhirnya cuma gue baca tanpa ada niatan untuk memperpanjang percakapan. Karena yang butuh waktu bukan cuma dia, untuk kali ini.

“Woi,” gue mengerjapkan mata saat Aceng melambaikan satu tangannya di depan wajah gue. “Mikirin Kailannya nanti dulu, besok acara nih.”

Gue tertawa sinis sambil menarik satu kertas dari tumpukan dokumen yang ada di hadapan gue. “Kok tau?”

“Tau kalo lo lagi mikirin Kailan?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop. Aceng melirik gue dari ekor matanya saat gue mengangguk. “Air muka lo beda, Ciw. Lo keliatan, apa ya, tenang?”

Gue mengangguk paham sambil kembali menatap dokumen-dokumen yang sekarang berada di tangan gue.

Kalau ditanya apa rasanya nggak komunikasi sama Kailan selama lebih dari satu bulan, I'd go with weird – right, it feels weird. Mungkin bisa dibilang hampir mirip putus sama pacar. Well, actually it worse. It was like breaking up with your best friend.

Sejujurnya gue merasa bersalah atas asumsi nggak baik yang gue lontarkan ke Kailan tempo hari. Harusnya gue tau kalo dia butuh waktu buat proses semua ini. Kailan bukan tipe orang yang dengan mudah menyerah akan suatu masalah – besar atau kecil, mengalah karena terlalu malas untuk beradu argumen nggak pernah ada di kamus seorang Rakailan. Dia akan dengan senang hati mendengar dan beropini, sekesal dan semarah apa pun. Jadi, sewaktu dia secara nggak langsung minta gue untuk kasih dia waktu perihal Keizya, gue tau masalah ini bukan sekedar asumsi gue atas Keizya, it's Kailan against himself. And I decided to back off and gave him some space – for both of us.

“Ceng,” gue menutup laptop yang menghalangi kami. “Menurut lo Kailan nggak nembak gue karena apa?”

“Karena nggak semua orang butuh validasi atas suatu hubungan.” jawabnya sambil membolak-balik dokumen di atas meja.

“Kan biar jelas, Ceng.”

“Jelas nggak jelasnya hubungan bukan didasari dengan tembak menembak, Keiramina.”

Ouch, right in the heart.

But he has a point.

Hari-hari di mana Kailan dan gue nggak komunikasi, nggak ada satu hari pun gue lewatin dengan merasa kalau hubungan kami – yang entah bisa disebut apa, berjarak. Kalau ditanya apa gue sakit hati perihal Keizya, jawabannya nggak. Gue nggak sakit hati, gue kecewa. Sebisa mungkin gue coba buat lihat ini semua dari sudut pandang Kailan – walaupun hasilnya nihil, karena nggak ada yang benar-benar tau isi hati si gemini satu itu. I feel bad for him, di saat dia lagi butuh dukungan, gue malah membombardir dia dengan segala asumsi gue.

And now I miss him.

Gue kangen Kailan main dota, bahkan kadang gue buka Steam cuma buat lihat activity dia. Sekarang baru terasa kalau berisiknya dia ternyata nggak senyebelin itu. Kadang kalau Abang lagi main dota sama Kailan, gue suka nguping dari depan pintu. Speaking of Abang, dia nggak tau kalau gue dan Kailan lagi dalam keadaan yang nggak terlalu baik.

Beberapa kali gue mendapati Ami yang sedang typing di WhatsApp, she probably knows about me and Kailan being not in a good term, yang berhari-hari setelahnya nggak ada satu pun chat yang beliau berhasil kirim.

Keilist yang Kailan buat khusus buat gue, surprisingly, selalu bertambah satu lagu setiap hari senin – as promised. Dari spotify activity juga gue bisa melihat dia yang dengerin Transatlanticism on loop. Kailan is the man of his words.

Satu yang gue sayangkan dari semua ini adalah, dia yang nggak transparan. Kailan selalu bilang, bahkan kalau kamu kesandung batu di depan fakultas pun cerita ke aku. Dan kenapa perihal Keizya – his twin sister, I repeat, his twin sister, dia nggak bisa cerita. Apakah gue nggak cukup baik buat tau soal keluarganya? Which leads me to think about who am I in his life for these past two and half freaking years.

“Ceng, abis acara free nggak?” tanya gue ke Aceng yang sekarang sibuk mengaduk kopi hitamnya dengan sendok plastik.

“Mau ciuman?”

“You wish. Tolong temenin ke salon, mau nggak?”

“Mau ngapain?”

“Kayaknya gue mau potong rambut.”

Detik berikutnya Aceng tertawa. “Do you really want to cut your hair or do you just want to change something in your life physically that you can't do emotionally?

Aldrich Abasi speaking the truth.

Pain Demands To Be Felt

tw // death

Tepat pukul satu siang di rumah sakit Santo Borromeus Bandung, dua malaikat kecil saya lahir. Air mata saya tumpah begitu melihat bayi laki-laki dengan rambut hitam lebat menangis di gendongan salah satu suster yang tidak henti-hentinya memberi ucapan selamat kepada saya dan suami. Selang tiga menit kemudian, kontraksi di perut kembali terjadi, saya kerahkan seluruh sisa-sisa tenaga yang saya punya.

Ayo Ami bisa ...” “Tarik napas Bu ... keluarkan ... dorong ... “

Saya berteriak kencang seiring pecahnya tangisan bayi perempuan cantik dengan rambut hitam yang tak kalah lebatnya dari sang Kakak. Dengan berat 3,5 kg dan panjang 51 cm, Rakailan Manggala Riahi dan Keizyalara Jelita Riahi lahir dengan sehat dan sempurna.

Satu setengah dekade kemudian, tepat satu minggu setelah Kai dan Kei merayakan ulang tahunnya yang kelima belas, salah satu dari mereka meninggalkan kami, selamanya.

“Kailan,” panggil saya dari daun pintu. Anak laki-laki saya yang satu ini minim emosi, jauh berbeda dengan Rakagi – kakaknya, dan sang adik Keizyalara yang ekspresif. “Makan malam dulu yuk, Oma bikin Goulash.”

Rakailan hanya tersenyum dan menggeleng lemah. “Ami sama yang lain duluan aja, nanti aku nyusul.”

Ada getar yang jelas bisa saya dengar dan rasakan di suara tenangnya. Diantara kakak dan adiknya, anak tengah saya ini memang unik. Senyumnya sehangat sup bikinan Mama saat saya masih kecil, tawanya serenyah popcorn yang saya beli di kencan pertama saya dengan Ayahnya, serta sorotmatanya yang setenang samudra dalam. Rakailan, si menyenangkan.

They found this.” Raylan mengulurkan satu tas plastik tebal, ada sesuatu di dalamnya. “Hers.

Detik itu juga saya kolaps.

Pagi itu, setelah melapor ke pihak yang berwajib dan mendapat konfirmasi bantuan, saya dan keluarga diminta untuk menunggu. Namun tidak dengan Kailan, sorot mata tenangnya berubah menjadi tajam, beberapa kali saya turunkan pandangan ketika netra cokelat kelabunya bertemu dengan milik saya, tatapannya seperti belati tajam yang siap menguhunus siapa pun di dekatnya. Ia membangun tenda di pinggir sungai, berjalan menyusuri sekeliling berharap adik kembarnya muncul mematahkan hipotesa miliknya.

Sampai akhirnya tubuh dingin anak bungsu saya ditemukan di pinggir sungai, 850 meter dari titik Rakailan membangun tenda dan tempat kami piknik, dua hari lalu.

Setelah berbagai proses melelahkan, keluarga kami akhirnya sepakat untuk mengkremasi si bungsu paling cantik dan membawa abunya kembali ke kota kelahirannya, untuk kami sama-sama taburkan di salah satu laut di Jawa Barat.

Kami semua berduka, kami semua kehilangan. Namun anak tengah saya berbeda, di saat saya dan Raylan kehilangan anak perempuan kami dan Rakagi kehilangan satu-satunya adik perempuan yang ia miliki, Rakailan kehilangan setengah jiwanya.

Hari di mana kami meninggalkan Prague adalah hari di mana Rakailan memutuskan untuk menutup dirinya rapat-rapat. Dari dunia dan dari dirinya sendiri.

Rakailan hampir telah melewati lima tahap kesedihan.

Yang pertama adalah denial. Rakailan menyangkal adik kembarnya telah tiada. Saya bisa bilang kalau Rakailan menerima semua hal buruk yang terjadi, namun Ia berpura-pura seakan tidak ada hal buruk yang terjadi. Rakailan menolak rasa sedihnya dan memilih untuk memeluknya dibanding melepaskannya.

Yang kedua, anger. Rakailan adalah salah satu sosok dengan self control yang amat sangat baik, persis seperti Ayahnya. Namun setelah membopong abu kremasi adik kembarnya, tangisnya tumpah. Setelah lama bergulat dengan batinnya, siang itu ia mengelurakan semuanya. Ia menyalahkan dirinya yang tidak bertanggung jawab akan keselamatan Keizyalara, Ia menyalahkan aliran deras sungai yang menghantam Keizyalara sampai tak terlihat mata, dan terkahir, Ia menyalahkan keputusan semesta untuk mengambil Keizyalara dari hidupnya. “Kenapa bukan aku aja, Ami?! Kenapa harus Kei?!” teriaknya penuh emosi, saya hanya bisa menagis melihat jagoan hebat saya yang selama ini bungkam, akhirnya menyuarakan seluruh isi hatinya.

Yang ketiga, bargaining. Di masa-masa ini, Rakailan sudah jauh lebih tenang. Senyum cerahnya berangsur kembali, tawanya kini sering terdengar. “Ami, aku mau kenalin seseorang.” katanya di ujung telepon sore itu. Saya bukan main bahagianya, tak lagi kuasa menahan bulir-bulir air mata untuk jatuh merayakan kembalinya sosok menyenangkan ke dalam keluarga. Satu minggu setelah percakapan di telepon dengan Rakailan, saya bertemu Keiramina. Cantik, batin saya saat duduk di seberang gadis dengan pembawaannya yang tenang. Keiramina, saya rapalkan namanya bak mantra. Saya tidak berbohong, ada rasa khawatir jauh di lubuk hati saya perihal Keiramina, rambut panjangnya yang nyaris menyerupai Keizyalara di akhir hidupnya, tutur lembutnya, senyum simpulnya, entah, sebisa mungkin saya buang jauh-jauh pikiran Rakailan yang masih terjebak dengan traumanya yang belum benar-benar pulih. Namun asumsi saya segera terpatahkan saat menerima pesan singkat Rakailan beberapa hari setelahnya.

Rakailan We've got another Kei in out lives, Ami. Kailan tau kekhawatiran Am, but I do like her as she is. I adore. I don't know, but, I think I love her – as she is.

Yang keempat, depression. Pukul sebelas lebih dua puluh tiga menit waktu Bandung, ada panggilan masuk dari Rakailan. Begitu mendengar suaranya yang bergetar di ujung telepon, tubuh saya lemas bak tak ada tulang. Suara getar itu kembali setelah sekian tahun lamanya pergi. “Ami, I saw her.” ucapnya nyaris berisik di ujung telepon. Detik itu juga saya mengutuk diri sendiri, membiarkan jagoan saya larut dalam labirin yang membingungkan. Saya hancur melihat Rakailan hancur. Saya rela membayar berapapun untuk bisa memeluknya saat itu juga. Rakailan bukan sosok yang mudah patah, namun saya tau, kali ini dia jatuh, sejatuh-jatuhnya. Mengabaikan semua dan bergulat dengan dirinya sendiri. Sejak hari itu, tawa dan senyumnya ia tarik kembali. Keiramina pun menjadi saksi.

Dan yang terakhir, acceptance.

“Aku liat Kei di Old Town Square, Yah.” lagi, ada penyangkalan di sana. “Pake cardigan lavender yang Oma bikin khusus buat dia.”

Melihat tangan saya yang mulai gemetar, Rakagi menarik saya kepelukannya. Anak sulung saya yang satu ini, juara umum paling peka terhadap hal kecil dan sekitar. Rakagi Jenggala Riahi, si paling peduli.

Kami berempat duduk di ruang tengah apartemen yang Raylan sewa untuk kami selama di Prague. Saya sama sekali tidak membenarkan perbuatan saya dengan menutupi kebenaran, atau berpura-pura mendukung Rakailan walaupun saya jelas tau realitanya. Karena tidak pernah satu hari pun saya berhenti merapal doa dan kata maaf untuk anak tengah saya, yang beberapa tahun setelah kejadian kami kehilangan Keizyalara, meminta dengan tulus untuk memanggil dirinya adik. Rakailan menyerah menjadi anak tengah.

“Rakailan,” Raylan memposisikan dirinya duduk di sebelah anaknya. “Kamu tau kenapa kamu lihat Keizyalara di Old Town Square?”

Rakailan menggeleng.

“Karena kamu belum ikhlas, Nak. You have to let her go, so you can let yourself grow as well.

Saya hanya bisa bersandar kuat-kuat di pundak Rakagi, berbisik maaf karena kemejanya sudah basah akan air mata yang tak bisa saya tahan lagi.

“Ini,” Raylan akhirnya mengulurkan satu tas plastik yang ia pernah tunjukan ke saya. “Coba dilihat.”

Rahangnya seketika mengeras, saya bisa melihat perubahan air mukanya. Ruangan menjadi terlampau sunyi sampai saya bisa mendengar degup kencang masing-masing dari kami.

Rakailan masih terdiam, jari-jari lentiknya mulai bergetar.

“Kalau kamu pikir Ayah diam saja selama ini, you were wrong,” Raylan membenarkan letak kacamatanya. “Setiap Ayah ada business trip ke Eropa, selalu, selalu, selalu ayah sempatkan ke Prague. Minta bantuan ke teman Ayah, mulai dari warga sipil sampai pejabat negara. Ayah sangat berusaha, Ayah dan Ami sangat berusaha. Ayah, Ami, dan Rakagi amat sangat berusaha, terutama untuk kamu, Nak.”

Rakailan masih duduk terdiam di kursinya, tatapannya terkunci di tas plastik yang ia genggam dengan tangan gemetarnya. Perlahan ia buka benda transparan di hadapannya dan menarik keluar benda emas dengan rantai yang menjuntai – sebuah liontin milik Keizyalara, dengan foto kami di dalamnya. Genggaman Rakagi di tangan saya mengerat, Ia tahu hati Ibunya kian tersayat.

“Pihak kepolisian kasih ini ke Ayah, tiga bulan setelah kita pindah dari Prague.” kali ini Raylan menoleh ke arah saya. Saya tahu apa yang ia mau saya lakukan. “Ami ada yang mau diomongin?”

Saya bergeser duduk mendekat ke Rakailan. “Rakailan ... “

Ia mendongak, secepat kilat menemukan netra saya yang saya yakin masih berwarna merah basah. Tidak ada suara yang keluar dari bibir tipisnya.

“Ami minta maaf ya, Dek.” saya merasakan satu tangan mengusap lembut punggung saya. Rakagi. “Ami minta maaf karena Ami nggak langsung kasih tau soal ini ke kamu. Ami nggak maksud untuk nutupin ini, Ami juga nggak membenarkan perbuatan Ami yang mana semakin bikin Kailan sedih. Ami pikir kamu udah baik-baik aja, tapi, siapa yang baik-baik aja? Ami pikir kamu perlahan udah mulai bisa terima, terlebih beberapa tahun belakangan ini kamu, apa kata yang pas, bahagia? Maaf, Ami bukan mau cari alasan. Sekali lagi Ami minta maaf, Ami harap kamu mau maafin Ami. Nggak perlu sekarang.”

Saat saya sibuk menyingkirkan air mata yang tak bisa dibendung, ada tangan hangat yang menyentuh punggung tangan saya. “Ami jangan nangis.”

Saya memberanikan diri menatap dua netra gelapnya. Sayu.

“Aku yang minta maaf ya Mi,” ucapnya lembut. “Ke Ayah sama Kagi juga. Mungkin ke Keizyalara, bahkan Keiramina.”

Raylan bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke Rakailan seraya mengusap pelan rambut jagoannya.

“Aku paham kenapa Ami baru kasih tau ini ke aku, bahkan mungkin kalau pun Ami dan Ayah kasih tau aku langsung saat itu, aku belum tentu bisa terima. Jadi aku rasa sekarang waktu yang tepat, karena diri Kailan sendiri bisa terima sama semuanya. Jadi, makasih ya Ayah, Ami, Kagi.”

Tangisan saya pecah begitu mendengar Rakailan menuntaskan kalimatnya. Jagoan kecil saya yang dulu tidak terima kalau rambutnya dipangkas dan meminta sang Ayah mengembalikannya seperti semula, kini sudah menjadi laki-laki dewasa.

Rakailan anak Ami, sekuat apa pun kamu berusaha untuk melepaskan, kalau jauh di lubuk hati terdalam ia menolak, ikuti. Terima dan rasakan sampai satu waktu kamu sadar kalau itu cara semesta bekerja dan menerima segalanya dengan lapang dada – dengan dewasa.

Keizyalara would be so proud of you, of us.

Hamburg Song

Sore ini gue harus sedikit mengumpat saat gaun satin hitam dan coat panjang yang sudah gue persiapkan sedari siang, harus basah diterpa hujan angin. Hamburg nggak seperti Prague. Well, sama cantiknya, tapi sayang di sini lebih sering hujan, yang mana semakin membuat udara turun drastis.

Pagi tadi gue dan Kailan menyempatkan diri berkunjung ke Hamburger Rathaus dan Mönckebergstraße. Kemudian berpindah menikmati indahnya the famous artificial lakes a.k.a Alster Lakes, dan untuk makan siang di salah satu resto di area Pöseldorf.

Pukul empat sore, gue dan Kailan memutuskan untuk pulang ke hotel, untuk bersiap menghadiri The Nutcracker di Hamburg State Opera. Everything went well. The ballet was epic and beautiful. The songs, the orchestra, just perfect. Worth every penny.

“Kailan,” panggil gue dari belakang bahunya.

Kailan mematikan puntung rokok dan membuangnya ke tempat sampah tepat di sebelahnya. Kemudian membuka lebar-lebar coat hitamnya. “Sini.”

Gue nyengir lebar dan segera masuk ke dekapannya. Kailan hanya tertawa sambil merapatnya badan gue ke badanya serta mendaratnya satu kecupan di puncak kepala gue sebelum ikut mengistirahatnya dagunya di atas kepala gue.

“Pelan-pelan,” Kailan mengulurkan lengannya ke gue saat kami berjalan keluar Opera menuju gerbang utama untuk kembali ke hotel.

Tepat dilangkah kelima, titik-titik air turun turun. Gue refleks melindungi kepala dengan handbag dan sedikit berlari menuju tempat berteduh terdekat sambil mengumpat dalam hati. Namun nggak lama setelah itu, ada satu tangan yang menarik gue dari belakang, sontak membuat gue berputar seratus delapan puluh derajat.

Ditengah hujan dan udara delapan derajat kota Hamburg, Kailan mencium gue. Satu tangannya dia selipkan ke belakang punggung gue – menahan limbung tubuh yang sudah ia tau persis sebabnya. Iya, Keiramina Earl nggak bisa dicium dalam keadaan berdiri, terutama ciuman dari laki-laki satu ini. Detik berikutnya gue nggak peduli lagi dengan tetesan hujan dan orang asing yang berlalu-lalang, I kissed him back, wholeheartedly. Dengan sisa tenaga, gue berjinjit untuk melingkarkan kedua lengan gue di lehernya. Gue merasakan senyum Kailan – dia tau kelemahan gue yang satu ini, jadi bisa dipastikan kalau he did this intentionally.

“Aku nggak bisa nyium kamu di tengah m-bloc,” ucapnya saat dua belah bibir kami nggak lagi menyatu. “Jadi mumpung di sini ya sekalian.”

Gue masih mengatur napas yang belum kembali normal. Ciuman Kailan, entah kenapa, selalu berhasil membuat gue limbung. Selalu. It wasn't just butterflies, it was a fucking fireworks, bahkan detak jantung gue melebihin dentuman pasak bumi yang sedang ditanam di suatu bangunan baru di tengah kota.

“Besok kayaknya flu nih,” kata gue sambil memijat pelan pelipis kanan saat kami sudah sampai di lobby hotel. “Gapapa lah ya, ada kamu ini yang rawat kalo sakit.”

“Ada kamu juga ini,” sambung Kailan. “Saling rawat aja deh biar win-win solution.

“Di lantai delapan kayaknya ada grand piano, liat nggak kamu tadi pas kita late breakfast?” tanya Kailan sambil merangkul pinggang gue saat kami masuk ke lift.

“Ada, di pojok ruangan gitu kalo nggak salah.”

“Mampir ke sana dulu mau nggak?” gue menoleh ke arah Kailan dengan satu alis terangkat. “I'll sing you one song. Well, I need the urge to sing this song since this is the perfect city that suit the song itself. So, may I, Miss. Keiramina Earl?

I'd love to.

Prague, with you.

Terhitung sudah lebih dari delapan belas kali Kailan berkata I miss you dalam tiga puluh menit terakhir. Kalau saja setiap Kailan mengatakan I miss you gue mendapatkan satu euro, I'd be a millionaire by now.

Sebenarnya bukan hal baru, pun sewaktu kami ada di satu ruangan yang sama, dia akan tetap berkata I miss you. Satu waktu gue tanya ke dia, jawabannya, It's very much possible that you're missing someone despite the fact that they're right in front of you, Keiramina.

Stay close.” titah Kailan sewaktu kami mengamati The Dancing House dari ujung jembatan. “Nanti kamu diculik drakula.”

Gue mengalihkan pandangan ke Kailan sambil senyum sinis. “That'd be a pleasure, Kailan. I don't mind, like, at all.

Stop watching Vampire Diaries, they can't actually bite you.” gue tau Kailan memutar bola matanya di sebelah gue.

But two can play a game, right? “Who can bite me then?

Kailan menaikan satu alisnya dan mendekatnya wajahnya ke hadapan gue, detik setelahnya dia turun ke ceruk leher sambil membuka lebar-lebar mulutnya seakan dirinya makhluk yang haus darah di depan mangsa utama. Then he kissed my neck.

Perks of having you outside Jakarta.” bisiknya sambil tertawa jahil.

Say no more.” gue menarik diri dari Kailan sebelum mengecup kilat bibirnya dan berjalan mendahuluinya.

Kailan were right, Prague is magical. Deretan bangunan tua ghotic yang mungkin terkesan menyeramkan untuk beberapa orang, namun menjadi daya tarik tersendiri bagi penikmat peradaban bohemia.

Setelah mengamati The Dancing House – yang nggak benar-benar menari, kami berjalan menyusuri Vlatava River – the longest river in the Czech Republic, menuju Charles Bridge.

Kailan menghentikan langkahnya tepat di depan gerbang hitam dengan tinggi menjulang yang menjadi salah satu tempat wisata utama kota ini.

“Kenapa, Kai?” tanya gue sambil ikut menghentikan langkah. Berusaha menahan tubuh gue yang sesekali beradu dengan milik orang lain.

Kailan nggak langsung menjawab, alih-alih dia mendongak, urat lehernya sampai terlihat jelas.

Gue ikut mendongak.

I remember when I was six, when I first visited this bridge with Ayah – karena yang lain masih jet lag waktu itu, I was really amazed by its magnificent.” Kailan menurun kepalanya dan tersenyum ke gue. “Then I realized, it was Charles Bridge that made me fell in love with Europe, not The Eiffel Tower.

Aku mengangguk setuju. “Couldn't be more agree.

Shall we?” Kailan mengulurkan lengannya yang langsung gue amit sebelum kami melangkah masuk ke Charles Bridge.

Lima lahkah setelah kami memasuki Charles Bridge, Kailan memulai ceritanya. Kailan kecil tinggal di Prague setelah Ayah-nya harus kembali ke HQ perusahaan multinasional tempat beliau bekerja. Gue juga baru tau kalau orangtua Ayah tinggal di sini. Kailan bilang, Oma nggak mau jauh-jauh dari belahan jiwanya. Oma loves reading so much, just like you and Ami, kata Kailan saat ia membantu gue turun dari tangga batu di ujung jembatan.

“Opa tuh salah satu eksil yang nggak bisa balik ke Indonesia, kewarganegaraannya dicabut. Sedangkan Oma masih WNI, tapi nggak mau ninggalin Opa sendiri. Jadi mutusin buat tinggal di sini, bahkan sampai Opa tutup usia – lima tahun lalu, Oma masih nggak mau pulang.”

Kailan menghentikan langkahnya tepat di sebelah dindang besar penuh coretan.

“Ini namanya Lenon Walls, as in John Lenon.” jelasnya sambil menaruh beberapa crown – mata uang Ceko, di kotak musisi jalanan yang sedang melantunkan lagu If I Fell.

If I fell in love with you Would you promise to be true And help me Understand

Cause I've been in love before And I found that love was more Than just Holding hands

If I give my heart To you I must be sure From the very start That you Would love me more than her

If I trust in you Oh please Don't run and hide

If I love you too Oh please Don't hurt my pride like her

Cause I couldn't stand the pain And I Would be sad If our new love was in vain

So I hope you see That I Would love to love you

If I fell in love with you ...

One of my favorite The Beatles songs.” bisik gue di telinga Kailan. “What a luck.

“Mau nulis nggak?” Kailan menunjuk kotak spidol di tengah dinding.

“Yuk!”

Kalan bilang, Lenon Walls ini satu-satunya tempat di Prague yang legal untuk dicoret-coret.

It's a significant political and historical symbol all in one, mirip Berlin Wall lah kalo kata orang.” katanya sambil menuliskan entah kalimat apa dengan spidol warna merah. “Yoko Ono even visited this place in 2003. Kamu nulis apa?”

Gue menutup spidol hitam dan memberikan ruang untuk Kailan melihat kalimat yang barusan gue tulis.

In the end, when it's over, all that matters is what you've done.” ucapnya dengan senyum. “Alexander the Great, am I right?

Gue mengangguk. Mengingat obsesi gue akan mitologi – entah yunani atau romawi, yang tiba-tiba kembali naik pesat setelah membaca ulang salah satu buku Edith Hamilton. Membuat Kailan harus extra sabar menjadi pendengar yang baik kala gue mengirimkannya tiga puluh menit voice notes teori konspirasi kalau Alexander the Great hanyalah title, bukan sebuah nama.

“Kamu nulis apa?” tanya gue sambil mendekat ke dinding tempat dia menuliskan -

“Kailan,you gotta be kidding me.

I'm not?

Come on, Kailan was here with Keiramina? You could've, ah udahlah.”

Kailan hanya tertawa melihat gue yang sedikit frustasi akan tingkah konyolnya dan memutuskan untuk berjalan meninggalkannya.

“Kai,” panggil gue saat kami duduk di outdoor area Starbucks sambil menunggu antrian masuk Prague Castle merenggang.

Kailan yang sibuk dengan ponselnya hanya menoleh sekilas ke arah gue – memberitahu kalau dirinya dengar.

“Aku, kira-kira, boleh tau dan liat makam Opa nggak?”

Detik berikutnya, gue mendapat atensi penuh darinya. “Boleh. Boleh banget. Besok mau?”

Entah kenapa tapi gue melihat sorotan mata ... terkejut? Entahlah.

Nggak lama setelah melihat antrian mulai sepi, gue dan Kailan masuk ke Prague Castle. Mengucapkan selamat tinggal ke Starbucks paling cantik di muka bumi.

Masuk ke area kastil, gue seakan ditarik ke ribuan tahun lalu. Kailan bilang, kastil ini masih digunakan untuk kantor kepresidenan.

“Salah satu kastil terbesar di dunia.” ujar Kailan sambil menunjuk salah satu katedral dalam area kastil. “Katedral St.Vitus. Ujung menaranya yang kita liat dari balkon kamar dan Charles Bridge tadi.”

Setelah berkeliling di kompleks kastil, gue dan Kailan menuruni anak tangga yang membawa kami ke jembatan favorite Kailan – tentu saja setelah Charles Bridge.

“Sini,” Kailan menarik gue mendekat. “Bengong sama aku sambil liatin crowded-nya Charles Bridge.”

Gue bersandar di bahu Kailan sambil ikut menikmati suasanya siang Prague, ditemani burung-burung yang terbang bebas di langit abu khas musim dingin. Beberapa kali kapal wisata berisi para turis hilir mudik membelah sungai Vlava.

“Makan Trdlo di kota lama yuk.” ajak Kailan sambil merapatkan coat cokelat miliknya.

Old town,” singgah gue cepat sambil tertawa. “Kota lama mah Semarang.”

Trdelník or Trdlo is a sweet pastry glazed with mix of sugar, cinnamon and chopped nuts. Gue pesan yang original dengan tambahan cream di dalamnya. Lucu, bentuknya jadi seperti ice cream.

“Hey,” gue menepuk bahu Kailan yang terlihat kebingungan. “Kenapa?”

“Kamu tunggu di sini, gapapa ya? I think I saw familiar faces.” ucapnya tenang sambil mengecup puncak kepala gue. Tapi sayang, gue tau ada sekelibat rasa khawatir yang coba dia tutupi. “Stay here, atau di Candy Store sebelah yang ada tempat duduk. I won't be long.

“Hati-hati ya.” kata gue sebelum melihat punggungnya hilang di tengah keramaian.

01.35

Kalau aja badan gue bisa teriak, mungkin bakal ngalahin Slipknot suaranya, secara udah hampir dua minggu anak-anak panitia mulai sibuk buat persiapin acara penerimaan mahasiswa baru tahun ini.

“Kak Kina mau ke mana?” tanya Cecil – anak divisi humas, waktu liat gue di koridor.

“Ke sekre dulu, ngantuk banget aku.”

Dengan langkah terseok-seok dan mata satu watt, gue coba berjalan ke arah sekre.

“Kin,” gue menoleh ke sumber suara. “Mau ke mana?”

Gege. Dengan rokok di tangan kanan dan wired headset putih yang menyumbat kedua telinganya. “Ke sekre, Ge. Mau istirahat sebentar.”

“Di sekre penuh, Kin.” katanya sambil melepas wired headset-nya. Nggak adil banget, bahkan dalam keadaan minim cahaya kayak gini, Gege masih terlihat rupawan.

Gue menghembuskan napas pelan. “Gapapa, Ge, gue nyempil aja nanti. Ngantuk banget nggak kuat.”

“Mau di mobil gue aja?” tawarnya cuma-cuma.

Ini nggak salah? Genrifinadi nawarin gue buat istirahat di mobilnya?

Sebelum gue sempat menjawab tawaran Gege, dia lebih dulu menarik tangan gue ke arah mobilnya yang terparkir nggak jauh dari tempat kami berdiri. “Mata lo udah nggak bisa diajak kerjasama lagi, Kin. Ayo.”

Keiramina

Raden Rara Keiramina Earl.

Di pertemuan ketiga gue dan Keiramina, dia kasih tau kalau Ibu-nya masih salah satu keturunan keluarga kerajaan di Jawa, sedangkan Ayah-nya berdarah Manado – Jepang. What a mix, huh. Keiramina punya satu Kakak laki-laki, dua tahun lebih tua darinya, namanya Keenan, atau abangbca – panggilan sayangnya.

Satu setengah jam yang lalu, Keiramina datang ke apartment gue dengan tatapan membunuh – setelah gue kirim voice note mengeluh sakit kepala. When the truth is, it was just an excuse, I just missed her so bad.

Mengamati Keiramina yang sedang serius melakukan sesuatu adalah hal yang paling gue suka. Amusing. Seperti sekarang, dengan posisinya yang sedang bersandar pada lengan sofa, Keiramina hanyut dalam dunia fiksinya – Kafka on the Shore, salah satu karya Murakami favoritenya. Also, she looks so hot when she's serious. Lalu di pagi hari – sewaktu dia bangun tidur. Banyak waktu yang gue habiskan untuk mengamati Keiramina dalam diam – melihat dirinya terlelap dengan dada naik turun yang teratur. Keningnya yang mengernyit di depan laptop atau tangannya yang selalu terlipat di depan dada kala mengamati kendaraan dari balkon, atau, yang paling jadi favorite, kami yang saling tatap dalam diam – mengamati satu sama lain. Our comfort silence.

Keiramina loves surprises and fireworks.

“Yuk,” gue mengulurkan satu tangan, “lima menit lagi countdown.”

Sebelum melangkah ke balkon, gue mencuri satu kecupan singkat dari bibir Keiramina, yang dibalas dengan cubitan kecil di pinggang gue.

“Waaah, fireworks!” mata cantiknya berbinar bak anak kecil melihat mainan impiannya berderet di etalase toko.

Gue menoleh ke arah Keiramina. “Your favorite.”

Keiramina has the prettiest smile. Keiramina is the prettiest when she's excited. Keiramina is effortlessly pretty. More than pretty, she's beautiful.

“You are my favorite.” jawabnya dengan sedikit tekanan di kata pertama. Yang membuat gue tersenyum.

3 ... 2 ... 1 ...

“Happy New Year, Kailan!”

“Happy New Year, Keiramina.”


Keiramina loves celebration. Seperti halnya ketika gue berhasil menyelesaikan buku La Joie de Vivre karya Emile Zola dalam waktu dua hari, she gave me a kiss – a long sweet one.

“Kei,” panggil gue nyaris hampir berbisik dari belakang tubuhnya yang sedang sibuk di wastafel.

Nggak ada balasan.

Gue maju satu langkah buat menutup keran air, nggak peduli sama Keiramina yang masih belum membereskan piring dan gelas kotornya.

“Kailan gue lagi cuci pir- “

I didn't let her finish her sentence. Regardless of her wet hands, I pressed her against the fridge door and kissed her dearly. I can feel her smile between the kisses – my gratitude for her presence type of kiss.

Keiramina, you were never supposed to mean this much to me, and I was never supposed to fall so hard.

But I did.