Pain Demands To Be Felt
tw // death
Tepat pukul satu siang di rumah sakit Santo Borromeus Bandung, dua malaikat kecil saya lahir. Air mata saya tumpah begitu melihat bayi laki-laki dengan rambut hitam lebat menangis di gendongan salah satu suster yang tidak henti-hentinya memberi ucapan selamat kepada saya dan suami. Selang tiga menit kemudian, kontraksi di perut kembali terjadi, saya kerahkan seluruh sisa-sisa tenaga yang saya punya.
“Ayo Ami bisa ...”
“Tarik napas Bu ... keluarkan ... dorong ... “
Saya berteriak kencang seiring pecahnya tangisan bayi perempuan cantik dengan rambut hitam yang tak kalah lebatnya dari sang Kakak. Dengan berat 3,5 kg dan panjang 51 cm, Rakailan Manggala Riahi dan Keizyalara Jelita Riahi lahir dengan sehat dan sempurna.
Satu setengah dekade kemudian, tepat satu minggu setelah Kai dan Kei merayakan ulang tahunnya yang kelima belas, salah satu dari mereka meninggalkan kami, selamanya.
“Kailan,” panggil saya dari daun pintu. Anak laki-laki saya yang satu ini minim emosi, jauh berbeda dengan Rakagi – kakaknya, dan sang adik Keizyalara yang ekspresif. “Makan malam dulu yuk, Oma bikin Goulash.”
Rakailan hanya tersenyum dan menggeleng lemah. “Ami sama yang lain duluan aja, nanti aku nyusul.”
Ada getar yang jelas bisa saya dengar dan rasakan di suara tenangnya. Diantara kakak dan adiknya, anak tengah saya ini memang unik. Senyumnya sehangat sup bikinan Mama saat saya masih kecil, tawanya serenyah popcorn yang saya beli di kencan pertama saya dengan Ayahnya, serta sorotmatanya yang setenang samudra dalam. Rakailan, si menyenangkan.
“They found this.” Raylan mengulurkan satu tas plastik tebal, ada sesuatu di dalamnya. “Hers.“
Detik itu juga saya kolaps.
Pagi itu, setelah melapor ke pihak yang berwajib dan mendapat konfirmasi bantuan, saya dan keluarga diminta untuk menunggu. Namun tidak dengan Kailan, sorot mata tenangnya berubah menjadi tajam, beberapa kali saya turunkan pandangan ketika netra cokelat kelabunya bertemu dengan milik saya, tatapannya seperti belati tajam yang siap menguhunus siapa pun di dekatnya. Ia membangun tenda di pinggir sungai, berjalan menyusuri sekeliling berharap adik kembarnya muncul mematahkan hipotesa miliknya.
Sampai akhirnya tubuh dingin anak bungsu saya ditemukan di pinggir sungai, 850 meter dari titik Rakailan membangun tenda dan tempat kami piknik, dua hari lalu.
Setelah berbagai proses melelahkan, keluarga kami akhirnya sepakat untuk mengkremasi si bungsu paling cantik dan membawa abunya kembali ke kota kelahirannya, untuk kami sama-sama taburkan di salah satu laut di Jawa Barat.
Kami semua berduka, kami semua kehilangan. Namun anak tengah saya berbeda, di saat saya dan Raylan kehilangan anak perempuan kami dan Rakagi kehilangan satu-satunya adik perempuan yang ia miliki, Rakailan kehilangan setengah jiwanya.
Hari di mana kami meninggalkan Prague adalah hari di mana Rakailan memutuskan untuk menutup dirinya rapat-rapat. Dari dunia dan dari dirinya sendiri.
Rakailan hampir telah melewati lima tahap kesedihan.
Yang pertama adalah denial. Rakailan menyangkal adik kembarnya telah tiada. Saya bisa bilang kalau Rakailan menerima semua hal buruk yang terjadi, namun Ia berpura-pura seakan tidak ada hal buruk yang terjadi. Rakailan menolak rasa sedihnya dan memilih untuk memeluknya dibanding melepaskannya.
Yang kedua, anger. Rakailan adalah salah satu sosok dengan self control yang amat sangat baik, persis seperti Ayahnya. Namun setelah membopong abu kremasi adik kembarnya, tangisnya tumpah. Setelah lama bergulat dengan batinnya, siang itu ia mengelurakan semuanya. Ia menyalahkan dirinya yang tidak bertanggung jawab akan keselamatan Keizyalara, Ia menyalahkan aliran deras sungai yang menghantam Keizyalara sampai tak terlihat mata, dan terkahir, Ia menyalahkan keputusan semesta untuk mengambil Keizyalara dari hidupnya. “Kenapa bukan aku aja, Ami?! Kenapa harus Kei?!” teriaknya penuh emosi, saya hanya bisa menagis melihat jagoan hebat saya yang selama ini bungkam, akhirnya menyuarakan seluruh isi hatinya.
Yang ketiga, bargaining. Di masa-masa ini, Rakailan sudah jauh lebih tenang. Senyum cerahnya berangsur kembali, tawanya kini sering terdengar. “Ami, aku mau kenalin seseorang.” katanya di ujung telepon sore itu. Saya bukan main bahagianya, tak lagi kuasa menahan bulir-bulir air mata untuk jatuh merayakan kembalinya sosok menyenangkan ke dalam keluarga. Satu minggu setelah percakapan di telepon dengan Rakailan, saya bertemu Keiramina. Cantik, batin saya saat duduk di seberang gadis dengan pembawaannya yang tenang. Keiramina, saya rapalkan namanya bak mantra. Saya tidak berbohong, ada rasa khawatir jauh di lubuk hati saya perihal Keiramina, rambut panjangnya yang nyaris menyerupai Keizyalara di akhir hidupnya, tutur lembutnya, senyum simpulnya, entah, sebisa mungkin saya buang jauh-jauh pikiran Rakailan yang masih terjebak dengan traumanya yang belum benar-benar pulih. Namun asumsi saya segera terpatahkan saat menerima pesan singkat Rakailan beberapa hari setelahnya.
Rakailan
We've got another Kei in out lives, Ami. Kailan tau kekhawatiran Am, but I do like her as she is. I adore. I don't know, but, I think I love her – as she is.
Yang keempat, depression. Pukul sebelas lebih dua puluh tiga menit waktu Bandung, ada panggilan masuk dari Rakailan. Begitu mendengar suaranya yang bergetar di ujung telepon, tubuh saya lemas bak tak ada tulang. Suara getar itu kembali setelah sekian tahun lamanya pergi. “Ami, I saw her.” ucapnya nyaris berisik di ujung telepon. Detik itu juga saya mengutuk diri sendiri, membiarkan jagoan saya larut dalam labirin yang membingungkan. Saya hancur melihat Rakailan hancur. Saya rela membayar berapapun untuk bisa memeluknya saat itu juga. Rakailan bukan sosok yang mudah patah, namun saya tau, kali ini dia jatuh, sejatuh-jatuhnya. Mengabaikan semua dan bergulat dengan dirinya sendiri. Sejak hari itu, tawa dan senyumnya ia tarik kembali. Keiramina pun menjadi saksi.
Dan yang terakhir, acceptance.
“Aku liat Kei di Old Town Square, Yah.” lagi, ada penyangkalan di sana. “Pake cardigan lavender yang Oma bikin khusus buat dia.”
Melihat tangan saya yang mulai gemetar, Rakagi menarik saya kepelukannya. Anak sulung saya yang satu ini, juara umum paling peka terhadap hal kecil dan sekitar. Rakagi Jenggala Riahi, si paling peduli.
Kami berempat duduk di ruang tengah apartemen yang Raylan sewa untuk kami selama di Prague. Saya sama sekali tidak membenarkan perbuatan saya dengan menutupi kebenaran, atau berpura-pura mendukung Rakailan walaupun saya jelas tau realitanya. Karena tidak pernah satu hari pun saya berhenti merapal doa dan kata maaf untuk anak tengah saya, yang beberapa tahun setelah kejadian kami kehilangan Keizyalara, meminta dengan tulus untuk memanggil dirinya adik. Rakailan menyerah menjadi anak tengah.
“Rakailan,” Raylan memposisikan dirinya duduk di sebelah anaknya. “Kamu tau kenapa kamu lihat Keizyalara di Old Town Square?”
Rakailan menggeleng.
“Karena kamu belum ikhlas, Nak. You have to let her go, so you can let yourself grow as well.“
Saya hanya bisa bersandar kuat-kuat di pundak Rakagi, berbisik maaf karena kemejanya sudah basah akan air mata yang tak bisa saya tahan lagi.
“Ini,” Raylan akhirnya mengulurkan satu tas plastik yang ia pernah tunjukan ke saya. “Coba dilihat.”
Rahangnya seketika mengeras, saya bisa melihat perubahan air mukanya. Ruangan menjadi terlampau sunyi sampai saya bisa mendengar degup kencang masing-masing dari kami.
Rakailan masih terdiam, jari-jari lentiknya mulai bergetar.
“Kalau kamu pikir Ayah diam saja selama ini, you were wrong,” Raylan membenarkan letak kacamatanya. “Setiap Ayah ada business trip ke Eropa, selalu, selalu, selalu ayah sempatkan ke Prague. Minta bantuan ke teman Ayah, mulai dari warga sipil sampai pejabat negara. Ayah sangat berusaha, Ayah dan Ami sangat berusaha. Ayah, Ami, dan Rakagi amat sangat berusaha, terutama untuk kamu, Nak.”
Rakailan masih duduk terdiam di kursinya, tatapannya terkunci di tas plastik yang ia genggam dengan tangan gemetarnya. Perlahan ia buka benda transparan di hadapannya dan menarik keluar benda emas dengan rantai yang menjuntai – sebuah liontin milik Keizyalara, dengan foto kami di dalamnya. Genggaman Rakagi di tangan saya mengerat, Ia tahu hati Ibunya kian tersayat.
“Pihak kepolisian kasih ini ke Ayah, tiga bulan setelah kita pindah dari Prague.” kali ini Raylan menoleh ke arah saya. Saya tahu apa yang ia mau saya lakukan. “Ami ada yang mau diomongin?”
Saya bergeser duduk mendekat ke Rakailan. “Rakailan ... “
Ia mendongak, secepat kilat menemukan netra saya yang saya yakin masih berwarna merah basah. Tidak ada suara yang keluar dari bibir tipisnya.
“Ami minta maaf ya, Dek.” saya merasakan satu tangan mengusap lembut punggung saya. Rakagi. “Ami minta maaf karena Ami nggak langsung kasih tau soal ini ke kamu. Ami nggak maksud untuk nutupin ini, Ami juga nggak membenarkan perbuatan Ami yang mana semakin bikin Kailan sedih. Ami pikir kamu udah baik-baik aja, tapi, siapa yang baik-baik aja? Ami pikir kamu perlahan udah mulai bisa terima, terlebih beberapa tahun belakangan ini kamu, apa kata yang pas, bahagia? Maaf, Ami bukan mau cari alasan. Sekali lagi Ami minta maaf, Ami harap kamu mau maafin Ami. Nggak perlu sekarang.”
Saat saya sibuk menyingkirkan air mata yang tak bisa dibendung, ada tangan hangat yang menyentuh punggung tangan saya. “Ami jangan nangis.”
Saya memberanikan diri menatap dua netra gelapnya. Sayu.
“Aku yang minta maaf ya Mi,” ucapnya lembut. “Ke Ayah sama Kagi juga. Mungkin ke Keizyalara, bahkan Keiramina.”
Raylan bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke Rakailan seraya mengusap pelan rambut jagoannya.
“Aku paham kenapa Ami baru kasih tau ini ke aku, bahkan mungkin kalau pun Ami dan Ayah kasih tau aku langsung saat itu, aku belum tentu bisa terima. Jadi aku rasa sekarang waktu yang tepat, karena diri Kailan sendiri bisa terima sama semuanya. Jadi, makasih ya Ayah, Ami, Kagi.”
Tangisan saya pecah begitu mendengar Rakailan menuntaskan kalimatnya. Jagoan kecil saya yang dulu tidak terima kalau rambutnya dipangkas dan meminta sang Ayah mengembalikannya seperti semula, kini sudah menjadi laki-laki dewasa.
Rakailan anak Ami, sekuat apa pun kamu berusaha untuk melepaskan, kalau jauh di lubuk hati terdalam ia menolak, ikuti. Terima dan rasakan sampai satu waktu kamu sadar kalau itu cara semesta bekerja dan menerima segalanya dengan lapang dada – dengan dewasa.
Keizyalara would be so proud of you, of us.