Priceless

Sinar matahari dari celah jendela kamar membuat Sienna memicingkan matanya, setelah beberapa menit bergulat dengan rasa malas, ia akhirnya menyerah dan bangun.

Kepalanya masih terasa berat, plester di lengan kanan – bekas test ambil darah tadi malam, masih di sana. Ia melepas plester dengan kapas putih di dalamnya, beberapa kali mengernyitkan dahi kala menahan sedikit rasa sakit, lalu membuangnya ke kotak sampah di ujung kamar.

Samar-samar aroma butter menyapa indra penciumannya, siapa, batinnya. Nama demi nama ia pertimbangkan dan nggak ada satu pun yang masuk logika. Mama dan Papa baru tiba di Ankara sore kemarin, Dimitri dan Shakilla masih di dalam penerbangan mereka ke kota cinta untuk baby moon, Lima? sudah tiga hari di Bintan, business trip. Jadi, siapa?

Saat ia memutar kenop pintu kamarnya, aroma manis menghambur semakin jelas. Suara berisik di dapur apartment-nya semakin membenarkan kalau memang ada orang lain selain dirinya.

“Ezra?”

Laki-laki yang dipanggil namanya berbalik. Senyum tipis khasnya seketika terukir kala melihat perempuan yang membuat ia rela terbang belasan jam secara tiba-tiba tadi malam tampak sehat di hadapannya.

You up?” tanyanya sambi melepas apron hitam milik Sienna. Kemeja hitam body fit-nya sudah nggak lagi rapih, tiga kancing-nya dilepas begitu saja – mengekspos dada bidangnya.

Sienna yang masih tampak kebingungan belum beranjak dari tempatnya berdiri. “Kamu ngapain di sini?”

Bukannya menjawab pertanyaan perempuan di hadapannya, Ezra justru menempelkan punggung tangannya ke dahi dan pipi Sienna. kemudian menariknya perlahan untuk duduk di meja makan.

I made you breakfast.” katanya tanpa memperdulikan pertanyaan Sienna tadi. “Aku mandi dulu sebentar, lengket banget.” tambahnya kemudian. Satu kecupan singkat mendarat di puncak kepala Sienna sebelum Ezra berlalu pergi.


I can take care of myself, Zra.” gerutu Sienna.

I reckon.” bisiknya di antara surai hitam milik Sienna – sibuk menghirup dalam-dalam aroma magnolia yang melekat pada tubuh perempuan di dekapannya tersebut.

Kini keduanya sudah berada di sofa ruang tengah apartment Sienna, setelah menghabiskan ricotta pancakes honeycomb butter yang Ezra buat. 99.9/100, kurang 0,1 karena sampai sekarang Ezra belum menjelaskan kenapa dia ada di sini, di apartment Sienna, di Jakarta, bukan di Lake Como, di Italy, menghadiri grand opening resort Salieri.

Sienna membalikkan tubuhnya, kini posisi keduanya berhadapan. Ezra mempererat rangkulan lengan kirinya pada pinggul Sienna – nggak mau kalau perempuannya jatuh ke lantai.

C'mon,” ucapnya sambil merapikan beberapa helai rambut laki-laki di hadapannya yang mulai panjang menutupi mata.

“Siapa yang nggak panik, Sienna,” Ezra meneghembuskan napas kasar, “aku dapet kabar dari Papa kalo kamu pingsan di depan lift kantor sehabis acara entah apalah itu, Dimitri-Shakilla lagi babymoon, Lima ternyata lagi di Bintan, aku bahkan sampe minta tolong Papa buat cek kamu tapi ternyata udah keburu jalan ke Solo.”

You know, you don't have to.

Ezra mendengus kesal. “Akhirnya aku minta PA-ku buat gantiin di grand opening Salieri dan aku langsung ke airport, cari flight paling cepet buat ke sini, cuma ada SQ.”

Sienna mengelus pipi laki-laki di hadapannya dengan mata yang berkaca-kaca. “Mahal banget pasti ya naik SQ dari sana ke sini. Direct dan tiket on the spot pula.”

“Liat kamu tidur, safe and sound, dengan mata kepala ku sendiri itu priceless, Sienna.” ungkap Ezra yang semakin membuat Sienna nggak bisa lagi menahan tangisnya.

“Emosional banget sih kamu nangis terus dari tadi,” canda Ezra sambil mempererat pelukannya. “Ini yakin kamu nggak mandi perfume? wangi banget gini. I can't never get enough of you.”

She smiles to herself. After a tiring, sleepless nights, questioning whether she's worth it or not to be loved, well, she's here. She's not crazy for wanting a man who chooses her over and over, she's not insane for that. She shouldn't settle for less. She wants a man who commits and she deserve it. Never settle for something half-asses when you should be getting a whole.