paperlinesz

Happy Birthday, Keiramina. With love, Riahis.

Like I said, Keiramina loves surprises and fireworks.

Maka dari itu gue memutuskan untuk merayakan hari ulang tahunnya kali ini dengan sedikit lebih istimewa dari sekedar makan malam dan sebuah hadiah serta satu buket bunga, seperti tahun-tahun sebelumnya.

Kalau biasanya gue akan berada di sisinya tepat saat jam menunjukan pukul dua belas malam, malam tadi Keiramina harus menemani Mimam terbang ke Singapura yang membuat gue hanya bisa mendengar suaranya melalui sambungan telepon.

“Happy birthday, Keiramina.” ucap gue begitu panggilan telepon kami terhubung.

Gue mendengar dirinya mendengus di ujung sana.

“Kenapa?” tanya gue sambil terkekeh.

“I expect a fifteen minutes speech.” jawabnya kecewa dengan dahi yang sedikit berkerut, membuat gue terkekeh.

“No,”

“Wha – “

“You deserve more.” Nggak ada satu patah kata pun keluar dari mulutnya lagi. “Kamu besok landing jam delapan pagi jadi aku jemput sore aja ya? Sekitar jam lima? Nggak capek kan?”

“Nggak capek. Jam lima. Iya.”

Gue tahu dirinya tengah salah tingkah di ujung telepon, maka dari itu gue memutuskan untuk menyudahi obrolan kami dengan mengucapkan selamat ulang tahun sebelum akhirnya mengakhiri panggilan.

“Woi!” sebuah tepukan pelan berhasil membuyarkan lamunan gue. “Ngapain bengong di tangga.”

Gue menoleh dan mendapati Akarsana dengan baju putih polosnya yang penuh cat serta tangannya yang menggenggam berbagai macam kuas. “Kak Terra udah mulai?”

“Udah,” jawabnya sembari menuruni tangga, diikutin dengan gue di belakangnya. “Kak Kafka juga udah deket.”

Gue hanya mengangguk dan membiarkan Akarsana berjalan menuju halaman belakang rumah Oma, bergabung dengan Kak Terra yang tengah sibuk membuat salah satu dari sekian banyak kejutan untuk Keiramina hari ini.

Pandangan gue beralih ke ruang tengah yang dipenuhi suara teriakan dari dua orang yang tengah memasang dekorasi. Benar, hanya dua orang, namun kebisingannya seakan ada tiga kali lipat.

“Janitra mending lo minggir, gue nggak kelihatan.”

“Ya, pita silver harusnya di kanan bukan di kiri. Nggak becus lo ah.”

“Kagiiii! Janitra nih!”

Gue hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat dua kakak sepupu gue – Kaia dan Janitra, yang nggak berhenti mengganggu satu sama lain tanpa lelah. Membuat Kagi, yang tengah fokus dengan website salah satu wedding consultant ternama di Indonesia, meletakkan iPad serta melepaskan kacamatanya.

“Jan,” Kak Janitra yang sudah siap melemparkan perempuan di sebelahnya dengan balon, seketika mendengus pelan, membuat Kak Kaia tertawa puas dan menjulurkan lidahnya. “Tuh, Kama dateng, tuh.”

Sebelum gue sempat memproses kalimat Kagi, kedua orang tersebut sudah terlebih dahulu berlari menuju pintu depan. Detik setelahnya gue tersadar dan ikut berlari untuk menyambut sosok yang menjadi kesayangan kami dalam satu tahun terakhir.

Mobil sedan berwarna hitam yang baru saja terparkir rapih di antara mobil-mobil lain seketika di serbu dari segala arah. Ada Kak Janitra dan Kak Kaia serta gue dari pintu utama. Akarsana, Nebraska, dan Asa dengan baju penuh cat, tiba-tiba saja muncul dari pintu garasi yang tersambung dari halaman belakang.

“Pelan-pelan,” ujar Kak Kafka begitu melihat anak laki-lakinya dikerubungi oleh kami. “Nanti lecet.”

Bayi laki-laki berumur delapan bulan yang semula berada digendongan sang Ibu, dengan cepat berpindah ke pelukan Kak Kaia, membuatnya sedikit merengek kaget namun segera teratasi dengan candaan orang-orang di sekelilingnya.

Gue melihat Oma yang tengah berjalan menghampiri kerumunan kecil kami dengan bantuan tongkat kayu di tangan kirinya serta Kak Terra yang merangkul perempuan paruh baya tersebut di lengan kanannya. Dengan mata kelabu yang bersinar, Oma merentangkan kedua tangannya, bersiap menyambut cicit pertamanya ke pelukan.

Kak Kaia mendekatkan bayi laki-laki dalam dekapannya ke arah Oma dengan sedikit membungkuk lantaran tubuh tingginya yang menjulang. “Kama mirip Kak Kafka banget ya, Oma?”

Oma mengangguk dan mengalihkan pandangannya pada Kak Kafka yang tengah merangkul sang istri, keduanya terkekeh lantaran pernyataan yang kerap kali mereka terima sejak Kama lahir ke dunia, walaupun benar adanya kalau anak laki-laki dengan pipi tembam yang tengah tertawa melihat baju Kak Terra yang dipenuhi cat tersebut sangatlah serupa dengan sang ayah.

“Yang lain mana?” Oma menatap kami satu per satu. “Anaya? Embun? Ariella?”

Akarsana yang berada di sebelah gue seketika berdehem cukup keras, membuat gue dan Nebraska tertawa paham akan tingkahnya yang satu ini.

“Yuk, balik lagi yuk,” Akarsana tersenyum pahit sembari membalikan badan. “Balik kerja yuk udah jam tiga yuk keburu Keiramina dateng yuk.”

Gue dan yang lainnya hanya bisa tertawa mendengar alibi yang keluar dari mulut laki-laki bercelana pendek tersebut.

“Anaya masih di Bangkok, Oma.” jawab Kagi sembari membetulkan letak kacamatanya. “Kalo Embun di mana, Kar?”

“Di pelukan cowok lain!”

Gue refleks membalikan badan dan terbahak ketika mendengar jawaban Akarsana yang setengah berteriak, begitu pun yang lainnya. Sepupu gue yang satu itu, kisah cintanya nggak seindah parasnya.

“Kai,” panggil Kak Terra. “Udah 90%, mau lihat nggak?”

Satu sudut bibir gue terangkat, diikuti anggukan serta perasaan membuncah yang belum bisa gue jabarkan.

Kemarin sore saat gue dan Nebraska tengah merokok di balkon apartemen gue, ada satu hal yang kami bahas, yaitu nama. Sedari awal gue mengetahui nama lengkap Keiramina, sejak itu pula gue nggak pernah berhenti memanggil dirinya dengan nama lengkap, bukan karena menghindari panggilan yang sama dengan Keizyalara, namun, namanya terlalu cantik untuk nggak diucapkan dengan lengkap. Dari pikiran itu, Nebraska memberika satu ide yang gue pikir cukup layak untuk dijadikan sebuah hadiah yang sedikit berbeda.

“Karena lo suka sama nama dia, kenapa nggak lo minta tolong Kak Terra atau Kak Kafka bikin painting wajah dia dari namanya?” ujar Nebraska kala itu. “Paham kan maksud gue?”

Saat itu juga gue langsung menghubungi keduanya untuk menyampaikan keinginan gue akan ide buah hasil pemikiran Nebraska, yang dengan mudahnya di-iya-kan keduanya.

“Gimana?” tanya Kak Terra sewaktu kami berdiri di depan kanvas berukuran setengah badan gue. “Ada yang mau ditambahin lagi nggak?”

“Mau lo tambahin apa lagi emang, Kak?” gue terkekeh sembari menoleh ke arahnya. “Ini juga udah lebih dari cukup.”

Setelah menepuk pundak gue, Kak Terra beranjak dari tempat ia berdiri dan meninggalkan gue seorang diri di dalam bengkel melukisnya yang berada di sudut halaman belakang rumah Oma, tentu saja dengan gue yang masih terkagum-kagum akan hasil dari jari-jari mahirnya, dan hasil koreksi serta modifikasi oleh Kak Kafka.

Gue melipat kedua tangan di depan dada, mengamati wajah Keiramina yang tengah bertopang dagu secara di atas kanvas. Kadang gue maju satu langkah lebih dekat guna mengamati tulisan namanya yang menjadi kerangka dari keseluruhan lukisan, bagian ini hasil jerih payah Kak Kafka yang menghabiskan satu hari penuh di dalam bengkel. Gue nggak henti-hentinya bersyukur memiliki mereka, yang tanpa banyak pertmbangan akan dengan senang hati membantu – dalam segala urusan. Terlebih hari ini, ulang tahun Keiramina terakhir sebagai kekasih gue, karena kalau semua berjalan dengan lancar, musim panas tahun depan – persis sebelum hari ulang tahunnya, gue akan meminta dia untuk menikmati matahari terbenam di seluruh pejuru dunia, bersama, selamanya.

Terdengar menggelikan namun itulah kenyataannya.

“Kai,” Gue menoleh saat seseorang memanggil nama gue, mendapati Akarsana dengan wajah penuh konfeti dan glitter yang tengah menyengir lebar. “All done.”

Gue berjalan keluar dari bengkel dan kembali masuk melalui pintu halaman belakang rumah Oma, yang langsung disuguhi dekorasi sederhana nan cantik hasil kreasi kedua kakak sepupu gue yang tengah memasang wajah bangga di tengah ruangan, membuat gue mengacungkan kedua ibu jari tinggi-tinggi ke udara guna mengapresiasi hasil kerja keras mereka. Setelahnya gue meminta izin untuk menjemput Keiramina dan memberi waktu pada semua orang untuk bersiap-siap.


“Here comes the birthday girl,” Gue menghadiahi Keiramina pelukan singkat dan satu kecupan kecil di ujung bibirnya. “Happy birthday, Sayang.”

Keiramina menyibakkan seluruh rambut panjangnya kebelakang sebelum menarikku kembali ke dalam pelukan sembari berkata, “I miss you so much you don’t understand.”

Sepanjang perjalanan dari rumahnya menuju rumah Oma ia habiskan dengan menceritakan segala yang ia temui dan lakukan selama kurang lebih satu minggu kami nggak bertemu. Di mulai dari dirinya yang mengkonsumsi salad sayur tiga hari berturut-turut yang ia beli di sebelah hotel tempatnya menginap, hingga Mimam yang selalu mengajaknya ke SkyPark di sore hari. Keiramina juga nggak lupa membawa satu tas besar berisi buah tangan yang ia belikan untuk sepupu-sepupu gue, Oma, Ami dan Ayah, bahkan seluruh orang yang bekerja di rumah Oma.

Gue menghela napas lega saat mendapati mobil-mobil yang semula terparkir berantakan di halaman rumah Oma kini sudah menghilang masuk ke dalam garasi, Yasaskara did a great job. Lagipula gue nggak mau terlalu kelihatan jelas kalau akan ada acara kejutan untuk Keiramina hari ini.

“Oleh-olehnya biar di mobil aja, nanti minta tolong Pak Niam bawa masuk.” Gue mengulurkan tangan ke arah Keiramina yang dengan cepat ia amit sebelum gue bubuhin satu kecupan di punggung tangannya, membuat kedua pipinya bersemu merah.

Gue membiarkan Keiramina berjalan terlebih dahulu ke ruang tengah, seperti rencana utama, dan gue beberapa langkah di belakangnya karena harus menutup pintu utama.

“SURPRISE!”

“HAPPY BIRTHDAY, KEIRAMINA!”

“HAPPY BIRTHDAY, KIYA!”

Gue nggak bisa melihat ekspresi Keiramina, namun yang gue tahu pasti, kedua tangannya membekap mulut serta wajahnya yang bersemu semakin merah. Alih-alih berdiam diri memproses semuanya, perempuan cantik gue berseru kegirangan saat sadar ada sosok Kami si bayi kecil yang berada di antara kami, membuat dirinya semakin melompat dengan senang kala Kak Janitra mengayunkan Kama di gendongan Kak Janitra.

Hati gue menghangat melihat pemandangan ini, walaupun sangat disayangkan Ami dan Ayah serta Mimam, Pipap dan Abang nggak bisa hadir dikarenakan urusan penting masing-masing. Gue merangkul pinggulnya dan membawa ia mendekat ke meja dengan birthday cake yang sudah kami persiapkan, diikuti suara teriakan menggemaskan Kama saat melihat ornamen di sekitarnya yang berbeda dari biasanya. Setelah ia berhasil meniup api pada lilin yang entah sudah berapa kali ia coba lenyapkan dan sibuk memotong birthday cake-nya, gue dan Kak Terra berjalan mengendap-endap menuju bengkel tempat lukisan Keiramina disimpan.

“Hope she likes it.” ucap Kak Terra di saat kami melangkah masuk dan membuat semua orang terkejut.

“Happy birthday from us,” Gue melirik kanvas besar di sebelah gue dan Keiramina yang masih diam mematung secara bergantian. “Sini, buka.”

Keiramina mendekat ke arah kanvas yang masih ditutupi kain putih, beberapa kali ia menyapukan pandangannya ke setiap sosok yang berada di ruangan, yang tentu saja mereka tanggapi dengan senyuman. Setelah bertanya melalui sorot mata yang gue jawab dengan anggukan, Keiramina membuka kain putih tersebut dengan perlahan, detik berikutnya ia hanya mampu terdiam dengan kedua tangan membekap mulutnya.

Thank you semuanya,” Keiramina nggak bisa lagi membendung air mata suka citanya. “I feel loved. Thank you.”

“Anything for our girl.” jawab Kak Kafka yang langusng disetujui oleh semuanya.

Gue membiarkan Keiramina bermain dengan Kama dan Ibunya serta Kak Kaia, selagi gue dan yang lain merokok di halaman belakang. Sesekali gue mencuri pandang ke dirinya yang tengah tertawa lantaran sosok Kama yang sudah dua minggu lamanya ia perbincangkan secara terus menerus akibat Kak Kafka yang selalu berhalangan hadir saat kami menghabiskan akhir pekan di kediaman Oma.

“Kai,” panggil Kak Kaia dari dalam. “Temenin nih Keiramina, kalo hilang susah carinya. Gue mau bawa Kama ke kamar atas.”

Gue tertawa sembari bangkit dari kursi dan melangkah masuk menghampiri Keiramina yang tengah berpamitan dengan Kama yang sudah mulai rewel.

“Kailan,” bisik Keiramina dengan sorot mata sayu yang masih nampak basah karena sisa air mata saat kami sudah berada di sofa ruang tengah. “Aku nggak tahu lagi harus bilang apa selain terima kasih. Ke semuanya.”

“Anything for our girl,” Gue kembali mengutip kalimat Kak Kafka. “Anything for my girl. Kak Terra sama Kak Kafka sampe nggak tidur bikin itu.”

“Oh ya?” Keiramina menatap gue dengan satu sudut bibirnya yang terangkat. “Kamu nggak ikutan bikin kalau malam?”

Gue menggeleng. Lagipula dua manusia itu hanya bisa bekerja dengan serius di malam hari dan nggak ingin diganggu oleh siapa pun. Jadi gue dan yang lainnya hanya membantu saat matahari sudah terbit.

“Berarti kamu harus gantian dibikin nggak tidur malam ini.”

“That,” Gue bangkit dari kursi. “Is something I look forward to.”

Dengan satu gerakan cepat gue menarik Keiramina agar bangkit dari kursi dan berjalan menuju pintu utama setelah berpamitan singkat kepada para sepupu yang tentu saja mereka tanggapi dengan tawa dan anggukan serta ucapan hati-hati.

Extra chapter available on : karyakarsa(dot)com(slash)paperlinesz(slash)i-love-you-i-mean-it

Devil Doesn't Bargain

Buat gue pribadi, hidup di dunia tanpa berbuat baik ibaratan ke bar tanpa menikmati alkohol. Konyol, sih, tapi balik lagi, ada banyak macam alkohol yang tersedia, bahkan setiap negara punya ciri khasnya masing-masing, sama halnya dengan kebaikan. Jadi, nggak semua orang yang ke bar untuk meminum alkohol, ada yang pesan koktail, minuman bersoda, bahkan air mineral, berbanding lurus dengan kebaikan yang manusia tunjukan — nggak semua orang bisa terima, justru banyak yang disalah artikan, membuat sebagian memutuskan membenci seseorang hanya karena perbedaan persepsi atas arti luas kebaikan itu sendiri.

Gue melihat lampu apartemen Sachi yang sudah menyala, setelah hampir setengah jam menunggu di parkiran bawah gedung dua puluh sembilan lantai ini. Ada sedikit kelegaan pada napas gue setelah melihat pesan singkat yang baru saja gue kirimkan terbaca olehnya, walaupun pada menit berikutnya gambar profil miliknya kosong.

Gue diblok.

Suara ketukan pada kaca jendela seakan menarik gue kembali ke dunia nyata. alih-alih menurunkan kaca, gue memilih untuk membuka kunci pintu agar sosok yang tengah berdiri di sebelah mobil gue bisa segera masuk.

Terra hanya terkekeh begitu duduk di kursi penumpang, gue jelas tahu kalau ia tahu. He’s one of the smartest in the family. Jadi gue hanya bisa ikut terkekeh dan menggeleng.

So?” tanyanya dengan ambigu sembari mematikan ac mobil dan mengeluarkan satu kotak rokok dari saku celana pendeknya. “Congratulation on breaking someone’s heart for God-only-knows how many times.

Well,” Gue mengangkat kedua bahu. “Thank you?

“Orang gila.” ucapnya sembari melempar kotak rokok yang dengan sigap gue tangkap dan keluarkan satu isinya sebelum menurunkan kedua kaca depan agar asap rokok kami berdua nggak mengepul di dalam mobil.

“Lo tau kan kamar cewek gue nggak jauh dari lift?” Gue mengangguk sembari menghembuskan asap dari nikotin yang gue hisap. “Tadi gue di kamar Lele ada gue sama Shaf. Nggak lama dia pamit pulang, keliatan buru-buru dan agak panit. I can tell.”

Satu sudut bibir gue terangkat, tahu jelas kemana obrolan ini mengalir. “Dan lo nggak denger bunyi lift padahal Shaf pamit pulang. I see. Dia ke kamar Sachi, karena kamar mereka satu lantai.”

Smart ass.

Gue dan sepupu-sepupu gue selalu terbuka akan satu sama lain, which made us a bad liar when it comes to each other. Di antara kami bersembilan, Terra adalah salah satu orang yang sulit untuk nggak berkata jujur padanya kalau kami berbicara, karena perbedaan umur kami yang nggak terlalu jauh, dibanyak kesempatan gue selalu menyempatkan diri untuk sekedar singgah ke rumahnya dan membahas apa pun yang kami ingin bahas. Kadang kalau Kaia sedang ada di Jakarta, dia akan senang hati bergabung dan menyampaikan sudut pandang dari sisinya sebagai perempuan, walaupun obrolan kami kerap kali berakhir dengan perdebatan dan sumpah serapah.

I kissed her.” See, it’s hard to hide everything when it comes to him — and the others. “I kissed her and left.

Not literary left, right?” Terra tertawa, tawa sinis yang membuat gue kesal. “Jan, you wouldn’t do such a thing.

And he was right.

Gue terkekeh sembari menghembuskan asap rokok dari dalam mulut. “Gue nggak mau bikin suasana makin nggak enak, karena gue tau dia pasti udah ngerasa, jadi gue cabut pas dia lagi mandi.”

Go on,” lanjutnya sambil menghisap puntung rokoknya dalam-dalam, dan menghembuskan asapnya keluar dari dalam mulut seiring dengan ucapan, “I’d love to hear more.

“Gue cek jadwal kereta api hari itu, sayangnya sisa jam malam. Ain’t no way she will take it. Jadi gue cek travel terdekat, ada di Cihampelas, gue make sure dulu kontak mereka dan masih ada sisa satu, langsung gue booking dan bayar. Info ke resepsionis buat kasih tau kalo ada perempuan yang tanya soal travel, saranin ke Ciwalk aja karena bisa beli di tempat.”

Terra berdecak setelah mendengar penjelasan cukup panjang dari mulut gue. Satu tangannya ia keluarkan ke luar jendela guna membuang abu rokok yang terlah setengah terbakar. Gue tahu kalau ia tahu bahwa gue tengah mempertimbangkan banyak hal. Di antara kami bersembilan, Terra memiliki emosi yang paling stabil dalam urusan percintaan, walaupun ia tetap sama bodohnya dengan yang lain- termasuk gue, namun beberapa hal patut gue acungi jempol.

“Kailan,” ujar Terra yang membuat gue mengerutkan dahi. “Lo sama kayak Kailan, well, sama kayak kita semua, sih.”

Gue mengangguk paham akan pembahasan dan alasan kenapa Terra menyamakan gue dan Kailan. Sepupu gue yang satu itu memang terkenal – at least di antara kami, sebagai sosok yang berpikir bahwa semua orang setuju akan langkah yang ia ambil, terdengar familiar, kan? Karena benar adanya, bahwa gue dan Kailan memiliki kesamaan dalam pola pikir tersebut.

“Setuju.” Memang gue bisa mengelak dengan cara apalagi selain membenarkan perlakuan gue?

“Sebenernya gue nggak perlu denger lanjutannya,” Terra terkekeh. “Udah kebaca. But please, go on.

“Ya gitu,” Kali ini gue yang tertawa. “Gue ke Ciwalk dan beli kebab favorit dia, terus gue masukin ke kotak, sekalian gue tambahin roti dan cold-pressed juice favorit dia juga.”

“Dan lo tunggu travel dia jalan dari pinggir Ciwalk, dan lo ikutin travel dia dari belakang, dan lo juga jagain dia sampai pulang – to make sure she’s okey without her knowing.” potong Terra yang langsung gue benarkan. “That’s something Janitra would do.

That’s, that’s.

Nggak berapa lama setelah gue dan Terra menghabiskan rokok kedua kami, ponselnya berdering, nama Ariella tertera di layar.

“Gue ke atas ya,” pamit Terra pada akhirnya. “Balik ke rumah Oma aja, kalo Sabian nggak jadi jemput Kaia, lo aja sama Akar.”

Thanks, Ter.” Gue memukul pelan bahunya yang ditanggapi, lagi-lagi, oleh kekehan.

Gue kembali berdiam di balik kemudi, menimbang-nimbang untuk menginjak pedal gas atau tetap berdiam diri memerhatikan lampu kamar yang masih belum padam di atas sana. Pukul dua belas kurang tiga menit, gue memutuskan untuk keluar dan membeli satu kotak rokok di minimarket 24 jam milik apartemen ini.

“Ini aja, Mas?” Gue mengangguk saat pelayan kasir mengkonfirmasi barang yang gue beli sebelum menyelesaikan pembayaran dan mendorong pintu serta berjalan balik menuju parkiran.

Naas, saat gue mencoba melangkah keluar tanpa memperhatikan jalan, seseorang menubruk badan gue yang membuat ia jatuh pada detik berikutnya.

Sorry,” Gue refleks berjongkok dan mendekatkan diri ke arah sosok perempuan –

“Gapapa, gapapa.”

Tangan gue yang terangkat di udara seketika berhenti setelah mendengar suara dari sosok di hadapan gue.

“Sach?” panggil gue lirih.

Ia menyibakan rambut panjangnya yang sedari tadi menutupi pandangan dan wajahnya.

Benar, sosok perempuan di hadapan gue adalah Sachi.

Extra chapter available on : karyakarsa(dot)com(slash)paperlinesz(slash)lavender-burning

a lie by noon

“Hey,” sapanya dengan senyum saat aku memasuki mobil miliknya. “Lama nggak nunggunya?”

Aku menggeleng seraya memasang sabuk pengaman, sebelum akhirnya menoleh sepenuhnya ke arah laki-laki di sebelahku. Janitra, dengan sweater abu-abu bertuliskan salah satu institusi pendidikan ternama di Amerika – which he went to, menyisir rambutnya yang sudah panjang dengan jari-jari tangannya yang bebas dari kemudi. Aroma cedar wood seketika memenuhi indera penciumanku. He is indeed God’s favorite.

“Acara apa di rumah Rakagi?” tanyaku saat mobilnya sudah berjalan menyusuri jalan Dago.

“Ami ulang tahun,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. “Ibunya Rakagi.”

Aku hanya manggut-manggut dan memutuskan untuk menikmati jalanan di luar kaca mobil. Bandung sore ini terlihat lebih ramai dari hari kemarin, atau mungkin karena aku terlalu lama menghabiskan waktu di dalam ruang meeting dua hari ini dan nggak memiliki kesempatan untuk menikmati kota yang diromantisasi banyak orang.

How was the project?” Janitra kembali membuka suara, membuatku kembali menoleh ke arahnya.

Aku mengangkat kedua bahu. “I’ve done my best, semoga presentasi gue tiga hari ini cukup untuk bikin client tanda tangan.”

You’ll ace it,” Ia mengulurkan tangan kirinya dan menepuk pelan sisi kanan bahuku. “You’ll always ace it.

Hubunganku dan Janitra nggak se-spesial it, kalau kalian ingin tahu. Kami hanya bertemu satu atau dua kali dalam kurun waktu satu bulan, itu pun sering kali dalam kesempatan yang nggak terduga. Seperti saat aku dan Ariella memutuskan untuk menikmati tequila di salah satu bar favorit kami di Senopati, ada Janitra di sana – yang tentu saja dengan salah satu perempuan yang wajahnya kerap kali muncul di laman Instagram majalan papan atas ibu kota. Bukan hal yang mengejutkan melihat Janitra dikelilingi perempuan-perempuan, justru kalau mendapati dirinya seorang dirilah yang membuatku bertanya-tanya, seperti beberapa waktu lalu saat kudapati dirinya duduk seorang diri di sudut ruangan salah satu bar di Sudirman – yang membuat kami sedikit lebih sering bertemu setelahnya.

“Yang enak di sini apa, Jan?” tanyaku sambil membolak-balik buku menu saat kami sudah berada di salah satu kursi di area outdoor Lawangwangi.

“Enak dilihat? Gue.” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari buku menu.

Aku memutar kedua bola mataku. “Enak dimakan.”

“Gue juga.”

Akhirnya aku mendongak seiring laki-laki di hadapanku yang ikut mendongak dan terkekeh.

“Ini kayaknya enak,” Janitra mengarahkan jarinya ke salah satu menu. “Mau coba nggak?”

Aku tahu Janitra gemar mencoba hal baru – secara harfiah dan kiasan, berbanding terbalik denganku yang lebih memilih pilihan aman dalam segala kondisi dan situasi. Jadi, aku memutuskan untuk mengarahkan jariku ke salah satu menu pasta di sana. “Gue ini aja deh, Jan.”

“Payah,” decaknya kecewa mengetahui aku, yang lagi-lagi, tetap di zona nyamanku. “Gini deh, lo pilih buat gue, gue pilih buat lo. Okey?”

Aku menimbang-nimbang tawaran Janitra. Laki-laki di hadapanku ini memang membuat segalanya rumit dengan menjadikannya pilihan. Ini kali kedua setelah pertemuan kami di bar satu bulan lalu, kala ia mengernyitkan dahi melihat aku yang dua kali menikmati tequila favoritku tanpa mengubah pesanan setelah menandaskan gelas pertama, yang kemudian membuat Janitra menawarkan untuk memesan salah satu racikan bartender – which I realy love, tanpa rasa menyesal karena sudah mengiyakan tawarannya.

Okey, deal.

Setelah menunggu setengah jam, makanan kami datang. Aku dapat melihat jelas seringai Janitra saat satu piring Penne Creamy Spinach dengan shrimp dan irisan beef bacon terhidang di hadapanku.

Not so bad.” Aku mengangguk-angguk melihat hidangan di hadapanku yang menggugah selera, membuat perutku seketika nggak sabar untuk menyantapnya.

“Ini juga lumayan,” Janitra memutar satu piring Nasi Bali lengkap dengan sate lilit di hadapannya. “Looks good.

Kami menikmati makan siang yang sudah terlalu jauh dari jadwal dengan suara canda tawa anak-anak muda di berbagai sudut Lawangwangi. Seperti lima perempuan yang duduk di sebelah kami, yang kutaksir usianya baru menginjak 18 tahun, yang membicarakan hubungan nggak jelas yang akan mereka hadapi setelah lulus SMA – membuat Janitra terkekeh akan polemik hidup anak muda yang hanya sebatas jarak dengan sang pujaan hati. Atau salah satu pasangan yang enggan bertukar tempat di salah satu spot foto utama cafe ini, yang aku dan Janitra asumsikan hasil fotonya belum memenuhi ekspektasi mereka untuk diunggah di laman media sosial keduanya, membuat geram beberapa orang yang sudah sedari tadi menunggu giliran mereka.

“Yuk,” Janitra bangkit dari kursinya saat menyadari langit yang sudah berubah menjadi jingga. “Takut macet.”

“Thank you,” ucapku saat Janitra terlebih dahulu mebayar tagihan pesanan kami sore ini. “I’ll treat you next time.

There will be a next time, huh?” seringainya kembali muncul saat ia memasukan kartunya ke dalam dompet.

If you’re lucky enough.

I’m always lucky, though.

Lagi-lagi aku memutarf kedua bola mataku kesal seraya merapatka cardiganku. Entah mengapa Bandung selalu lebih dingin saat malam menyapa.

Janitra menginjak pedal gas menuju arah Pasteur saat hujan perlahan turun membasahi jalanan yang kami lewati. Sedari masuk mobil tadi, aku dan Janitra sama-sama nggak mencoba memulai obrolan, pun sudah bukan hal aneh kalau kami hanya berdiam diri dengan isi pikiran masing-masing.

“Macet banget sial,” umpat Janitra melihat deretan mobil yang nggak bergerak di hadapannya. “Laper lagi.”

Aku menoleh ke arahnya dengan wajah terkejut. “Lo tadi makan satu piring ditambah punya gue gila.”

“Kalo hujan dan macet kan bawaannya laper, Sach.”

Aku hanya menggelengkan kepala nggak percaya atas kapasitas perut laki-laki satu ini. sialnya, nggak berapa lama kemudian, perutku ikut berbunyi, yang mengakibatkan Janitra meledekku habis-habisan.

“Pada puter balik masa, Jan.” bisikku saat kami masih di tempat yang sama selama hampir satu jam. “Masuk tol aja belum ini.”

“Lebih pilih buat extend kayaknya mereka,” sambungnya asal. “Extend juga apa kita, Sach?”

“Yuk.”

Aku rasa aku sudah gila? Atau berada bersama Janitra membuatku gila? Atau memang nyatanya aku nggak pernah waras? Entahlah.

“Kalo ke arah hotel lo tadi, kayaknya sama aja macetnya.” Janitra membelokan kemudi mobilnya ke arah jalan lain yang tadi nggak kita lewati. “Coba cek ke Riau aja kali ya?”

Ini kali pertama aku menghabiskan waktu dengan Janitra di luar bar atau tempat remang-remang lainnya di Jakarta, kali pertama aku akan menghabiskan satu malam dengannya secara sadar, nggak dengan aku yang limbung nggak sadarkan diri di ujung malam. Namun entah mengapa, aku percaya dengannya, aku percaya kemana ia membawa laju mobilnya untuk kami menemukan tempat beristirahat malam ini. Aku percaya Janitra, terlepas dari perlakuan buruk yang selalu aku dengar dari banyak orang tentang betapa mengerikannya berada di sisi laki-laki dengan tinggi menjulang tersebut.

Let’s go,” Ia menarik rem tangan mobilnya saat kami sudah berada di basement salah satu hotel bintang 4 di jalan Riau. “Semoga ada kamar kosong.”

Entah dewi fortuna sedang berpihak padaku – pada kami, secara kebetulan kamar dengan tipe twin bed masih tersisa satu, dengan segera Janitra mengulurkan kartu berwarna hitam miliknya untuk proses pembayaran. Nggak butuh waktu lama untuk kami mendapatkan dua keycard dan seorang petugas yang memandu kami menuju lift untuk naik ke lantai tempat kamar kami berada.

Nice, nice,” ucap Janitra lega saat melihat dua tempat tidur besar yang sesuai dengan penjelasan petugas resepsionis. “Lo mau di deket jendela atau nggak?”

“Boleh.” jawabku sambil menaruh koper kecil berisi segala keperluanku di salah satu sisi kamar sebelum mengeluarkan beberapa barang dari sana. “Gue mandi duluan ya, gerah banget.”

Sekilas aku melihat Janitra yang tengah berdiri di depan tv mengangguk sembari melepas sweater miliknya yang kini menyisakan t-shirt putih polos yang melekat pada tubuhnya.

Saat keluar dari kamar mandi, hidungku dimanjakan dengan aroma makanan yang seketika menggugah rasa laparku. Aku melangkah berjalan ke Janitra yang tengah sibuk di meja ujung ruangan.

“Beli apa?” tanyaku saat sudah berdiri di sebelahnya. “Bubur?”

Janitra mengangguk dan menggeser satu mangkuk bubur ke hadapanku. “Bubur Bejo, bubur paling enak di dunia.”

“Najis lebay banget.” cibirku melihat tingkah konyolnya terhadap sesuatu yang ia suka. “Mandi sana, Jan. Nggak lengket apa.”

Janitra menggumamkan sesuatu yang aku nggak jelas tahu apa artinya dikarenakan mulutnya yang penuh dengan bubur. Ia berjalan ke arah tempat tidurnya dan meletakkan mangkok buburnya di tengah kasur, sedangkan satu tagannya meraih ponsel miliknya yang tengah ia charge. Naas, bubur tersebut tumpah mengotori kasur karena gerakan tubuhnya yang terlalu brutal di sana.

“Makanya,” aku tertawa melihat raut wajahnya yang kecewa melihat makanan favoritnya terbuang sia-sia. “Kalo makan tuh jangan di kasur.”

Janitra mengumpat walaupun tangannya dengan telaten membersihkan tumpahan bubur di atas kasurnya, membuatku nggak berhenti tertawa.

“Bagi dua sini, Jan,” tawarku cuma-cuma, karena pasti aku nggak akan bisa menghabiskan satu prosi besar bubur ini sendiri, belum lagi topingnya yang berlimpah. “Gue nggak akan habis sendirian.”

Namanya bukan Janitra kalau porsi makannya nggak segunung. Ia berakhir menghabiskan buburku dan memesan room service. Yang lebih aneh dari kegemarannya makan, aku nggak melihat sedikit lemak di tubuhnya. Dunia benar-benar nggak adil, saat aku harus tetap menjaga pola makan dan work out di saat yang bersamaan, laki-laki di sebelahku ini mengkonsumsi alkohol serta makanan cepat saji dengan porsi berlimpah tanpa takut akan berat badannya yang naik drastis.

“Gue tidur sama lo ya, Sach.” Tiba-tiba saja Ia menyelinap di balik selimut saat aku tengah fokus dengan ponselku. “Masa gue tidur di atas bekas bubur.”

“Lagian sih banyak gaya.” ujarku kesal namun tetap bergeser agar ia mendapatkan cukup tempat untuk berbaring.

No, there no was no butterflies, no fireworks, nothing.

Hanya kehangatan saat lengan atau kaki kami yang nggak sengaja bersentuhan.

Good night, Sach.

Good night, Jan.


I woke up with his one hand around my waist.

Aku nggak terlalu ingat bagaimana pergerakan tidur kami, yang aku tahu hanya satu tangannya yang perlahan berada di pinggulku, setelah ia membenarkan posisi selimut pada kaki kami yang berantakan. Aku mendengar dengkuran halusnya di belakangku, ia masih tidur. Satu tanganku terulur meraih ponselku yang berada di meja nakas sebelum tempat tidur, masih pukul delapan pagi. Jadwal sarapan dimulai pada pukul enam sampai sepuluh, kami masih memiliki waktu dua jam. Aku memutuskan untuk berbalik menghadap Janitra yang semula kupunggungi sepanjang malam. Ia sedikit mengerang namun kembali tidur, dengan tangannya yang masih berada di posisi yang sama. Dalam jarak sedekat ini, aku mengamati tiap lekuk wajahnya, bulu mata panjangnya yang lentik, hidung bangirnya, bibir tipisnya, dan segala pesonanya yang bahkan bisa kurasakan dalam keadaan setengah sadar karena rasa kantuk yang masih menyelimutiku.

“Sach,” Aku mengerjapkan mata ketika mendengar bisikan lirih Janitra. “Jam berapa?”

“Jam delapan lewat.”

Perlahan kedua matanya terbuka, bertemu dengan kedua mataku yang sedari tadi nggak mengalihkan pandangan dari dirinya. Hell, this is the perfect position to kiss, I’m not gonna lie. Dalam satu gerakan pelan yang pasti, tangannya yang berada di pinggulku ia tarik agar aku lebih mendekat – merapat pada tubuhnya. Aku gagal mempertahankan fokus pandangku pada kedua matanya, karena pada kenyataannya, kini pandanganku turun pada bibir tipisnya.

I don’t do kiss, it’s too intimate, and you know that right?” tanyanya nyaris berbisik, yang segera kubalas dengan anggukan. “But, on a scale of one to ten, how bad – “

Eight.

Ia tersenyum sebelum memangkas jarak di antara kami, bibirnya menyapa bibirku dengan perlahan, bahkan aku masih memproses semuanya selama beberapa detik sebelum pada akhirnya ikut memejamkan mata. Ada banyak pertanyaan berputar di kepalaku, salah satu pertanyaan terbesarnya adalah, bagaimana bibirnya begitu lembut melumat bibirku, bagaimana lengannya perlahan bergerak dari pinggulku menuju pipiku, bagaimana ia begitu hati-hati menyentuhku seakan satu gerakan yang salah mampu menghancurkanku berkeping-keping.

Saat lidahnya berhenti di dalam sana seakan menunggu jawaban, aku menyambutnya dengan senang hati tanpa tekanan. Tanganku yang diam kini ikut bergerak meremas pelan kaus bagian depan miliknya.

Detik berikutnya ia berhenti.

Janitra berhenti menciumku.

Ia menjatuhkan wajahnya pada bantal yang menopang kepala kami, namun segera kembali menoleh ke padaku saat tanganku berpindah ke lengannya. Ia mengecup pelipisku sebelum bangkit dari kasur.

“Yuk sarapan.” ajaknya seraya meraih sweater miliknya yang tergantung di lemari pakaian, kemudian meraih dua pasang sandal hotel yang tersimpan di rak bagian bawah untuk dirinya dan diriku.

Aku yang masih terkejut dan kebingungan dengan segera turun dari kasur, mengekori Janitra yang terlebih dahulu berjalan keluar kamar.

He is completely a wholhe new different person at this point.

Kami menghabiskan sarapan pagi dalam diam, pun ia hanya melahap satu mangkuk kecil cream soup dan dua lapis roti. Nggak ada satu patah katapun yang keluar dari bibirnya selain ajakan kembali ke kamar saat ia menyadari aku yang sudah berhenti makan dan kini bersandar sepenuhnya pada kursi.

“Gue keluar dulu ya Sach, sebentar.” ucapnya saat aku akan melangkahkan kaki masuk ke kamar mandi, nggak berapa lama setelah kami sampai di kamar.

Aku mengangguk sebelum mendengar suara pintu tertutup. Nggak ada pikiran macam-macam atas apa yang akan terjadi setelahnya.

Pukul 11.30, panggilan telepon pertama dari resepsionis, menanyakan apakah kami akan check out atau extend, yang tentu saja aku jawab dengan pilihan pertama. Dan Janitra belum juga kembali.

Pukul 12.00, panggilan telepon kedua dari resepsionis, menyanyakan pertanyaan yang sama, yang tetap aku jawab dengan pilihan yang sama. Dan Janitra masih belum juga kembali.

Pukul 12.05, ketukan pertama dari petugas hotel di pintu kamar kami. Aku memutuskan untuk menyapu ruangan sekali lagi, kalau-kalau ada barang yang tertinggal.

Pada detik ini aku tersadar, Janitra bukan pamit keluar, ia pamit meninggalkanku. Terlalu bodoh untuk menyadari lebih awal bahwa ia sudah membawa seluruh barangnya; ponsel, sweater, sepatu. Iya, hanya itu yang ia bawa.

Dengan langkah berat aku turun ke resepsionis, sepanjang lift turun aku sudah memikirkan kemungkinan terburuk dari semua ini – aku harus kembali ke Jakarta seorang diri.

“Mas, mau tanya, travel dekat sini ada nggak ya?” tanyaku ke salah satu petugas resepsionis yang membantu proses check out-ku.

Tentu saja aku sudah mengecek jadwal kereta untuk siang ini, yang sayangnya hanya tersisa jadwal kereta malam. Aku nggak akan mengambil resiko menaiki kereta malam, mengetahui bahwa aku harus bekerja pukul 8 pagi esok hari.

“Belum booking ya, Teh? Biasanya kalau belum booking, datang ke Ciwalk aja, di sana bisa beli tiket on the spot kalau ada sisa kursi.”

Aku mengangguk paham dan mengucapkan terima kasih sebelum menggeret koperku ke pintu masuk utama hotel. Di saat yang bersamaan, petugas yang berjaga pada pintu masuk bertanya apakah aku butuh taksi untuk ke tempat tujuan, yang segera aku iya kan.

Persetan dengan Janitra, syukurku lebih banyak aku panjatkan ke kursi kosong milik seseorang yang membatalkan kepergiannya ke Jakarta siang ini. Terlebih salah satu petugas travel memberiku satu kotak berukuran sedang berisi kebab lengkap dengan minum dan roti karena kelebihan jumlah pesanan dari seorang dermawan hari ini. Lagi-lagi aku berucpa syukur, karena jujur saja aku belum sempat mengisi perut siang ini, waktuku aku habiskan dengan menunggu Janitra.

Saat laju travel bergerak meninggalkan Bandung, aku tahu setelah ini kami nggak akan sama lagi.

Janitra long au soon.

One Minutes Desperately Planning and Unplanning

Her

Aku merasa seperti robot. Hari-hariku berjalanan seperti biasa, namun enam bulan belakangan ini terasa kosong – hampa. Upaya meningkatkan semangat hidup yang sudah aku lakukan sama sekali nggak membuahkan hasil, maksudku, upaya memeriahkan hidupku yang bak film noir ini dengan mengembalikan kehidupan gemerlapku sekali lagi, guna mencari validasi.

Sama halnya seperti saat aku menghabiskan beberapa malam bersama Malik, laki-laki dengan tulang pipi paling tegas yang pernah kutemui, dengan segala tutur lembut dan sikap manisnya. Sayangnya di pertemuan kelima kami, saat kedua tangan kokohnya mengusap lembut punggung telanjangku, bukan namanya yang aku sebut, melainkan nama laki-laki lain. Yang membuatku tahu bahwa selama ini, nyatanya, aku hanya mencari distraksi atas pikiran-pikiran yang kerap kali menguasai isi kepalaku, akan satu nama.

Aku ingat betapa memalukannya ketika Jorel memberiku kejutan dengan berdiri di depan pintu apartemenku dengan satu buket bunga yang berukuran hampir setengah badannya namun yang ada di pikiranku, sialnya, tetap laki-laki itu. Laki-laki yang mengelus puncak kepalaku saat kami berada di balkon lantai dua rumahnya, sesaat setelah aku bergumam bahwa ingin rasanya menerima buket bunga dari seseorang tanpa perlu meminta, yang membuat minggu pagiku seratus kali lipat lebih indah karena kedatangan delivery man dari kios bunga terbaik di Jakarta, lengkap dengan notes singkat agar hariku menyenangkan. Dan hal terbaik dari itu semua adalah, kenyataan bahwa saat aku mengunjungi rumahnya setelah beberapa kali ia mengirimkan aku bunga, terdapat deretan bunga kering dengan tipe yang sama dengan milikku.

“Biar gue tau kalo bunga yang gue kasih ke lo itu udah layu atau belum,” jawabnya sembari menyeruput kopi hitamnya saat kami tengah duduk di meja makan rumahnya malam itu. “Makanya gue beli dua, buat lo dan buat gue. Kalo punya gue layu, berarti punya lo juga. Jadi gue tau kapan harus kirim fresh flowers.”

To say I love him might sound cringe.

But I do love him.

And I miss him, like crazy.

Beberapa kali aku bertemu Rakagi atau Kaluna di rumah sakit saat aku tengah berkunjung ke poli jiwa di rumah sakit tempat mereka praktik, namun keduanya nggak pernah membahas atau bertanya perihal hubunganku dengan salah satu laki-laki tersebut. Bukan hanya Rakagi dan Kaluna, aku cukup sering berpapasan dengan Kailan dan Keiramina di Salieri, seakan tahu kondisiku dan sepupunya yang sedang nggak baik-baik saja, Kailan lebih memilih untuk bertanya perihal kesibukanku, sedangkan Keiramina akan membahas menu Salieri terbaru favoritnya. Dan yang terakhir, ada Janitra, seakan kompak dengan para sepupunya yang lain, saat kami bertemu di salah satu bar, ia hanya bertanya tentang kelas keramik yang belakangan ini aku gemari. Kalau boleh jujur, perlakuan keluarganya membuatku seakan dimengerti, menyenangkan rasanya memiliki orang-orang yang bertanya tentang kabar dan keadaanku, disamping situasi runyam yang tengah menimpa kami.

Bercengkrama dengan keluarga Riahi dalam kurun waktu yang nggak sebentar, kadang membuatku merindukan sosok keluarga, karena pada kenyataannya, aku sudah nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Hanya diriku sendiri.

Aku memutuskan untuk kembali mengambil waktu cutiku sepenuhnya untuk berkunjung ke makam Eyang Uti serta Mama dan Papa, sebelum akhirnya membeli tiket one-way ke Paris dan mengemasi barangku.

“Sach, gue titip apart ya.” ucapku saat sambungan telepon kami terhubung. “Kali ini seminggu aja kok, nggak lebih dan nggak kurang.”

“Berisik banget,” protes Sachi sembari sedikit berteriak karena suara bising bandara. “Pokoknya take your time ya, Le. Jaga diri baik-baik. Kalo satu minggu nggak pulang, gue sama anak-naka susul ke sana.”

Aku hanya tertawa mendengar candaan Sachi. Usai berpamitan dan menutup telepon, aku berjalan ke arah gate yang berjarak nggak jauh dari tempatku duduk.

Untuk kali pertama dalam waktu yang lama, akhirnya aku siap.

Aku ingat sewaktu kami pertama kali menetap di kota cinta ini, ketika Papa dipindah tugaskan oleh perusahaannya untuk mengambil alih kantor pusat yang berlokasi di jantung kota Paris. Ariella berumur tujuh tahun waktu itu hanya bisa mengangguk dan menggeleng, bahkan aku memerlukan waktu hampir satu tahun untuk beradaptasi dengan lingkungan baru yang asing. Seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan lingkungan sekelilingku, membuatku memutuskan untuk masuk ke jenjang pendidikan yang setara dengan sekolah dasar di sana. Senyum lebar Mama nggak berhenti terukir pada paras cantiknya ketika putri sematawayangnya beradaptasi jauh lebih cepat dari perkiraannya.

Paris bukan hanya destinasi wisata buatku, Paris adalah sebagian hidupku. Setiap sudutnya penuh dengan kenangan mama dan papa. Berbeda dengan kali terakhir aku ke Paris, beberapa tahun lalu, kali ini rasanya lebih, aku nggak tahu kata apa yang sesuai untuk mendeskripsikannya, mungkin lega?

Lega.

Kunjungan kali ini aku lakukan dengan sadar dan sepenuhnya perjalanan, bukan pelarian. Kalau kali terakhir aku menginjakan kaki di Paris dengan isi kepala yang berisik, berbanding terbalik dengan kali ini yang jauh lebih tenang. Permasalahan dengan Patra sudah teratasi, perang batin dengan diriku sendiri sudah termaafkan, serta menerima bahwa mama dan papa hanya bisa kurasakan kehadirannya dengan mata terpenjam, buatku semua itu cukup – jauh lebih cukp. Dan kenyataan bahwa Paris adalah kota di mana aku bertemu dengan dirinya untuk pertama kali.

Aku mengerjapkan mata ketika menyadari bahwa aku sudah terlalu lama berdiri di pinggir sungai Seine, menatap entah apa yang ada di hadapanku. Menit berikutnya aku memutuskan untuk menghampiri kedai kopi kecil di kanan jalan.

“Un café s'il vous plait.” ucapku sembari mengulurkan satu lembar uang.

Dengan cekatan sang penjual berbalik guna menyiapkan kopi panas yang kupesan. Seketika aroma kopi memenuhi indera penciumanku. Sebenarnya memesan kopi, atau minuman panas lainnya, di musim dingin seperti ini nggak terlalu membantu. Karena dalam hitungan menit, minuman panas tersebut akan dengan cepat berubah menjadi minuman dingin. Namun aku sedang nggak mau menegak wine yang kubawa di sling bag-ku.

Sang penjual mengulurkan satu gelas paper cup dengan asap yang mengepul di atasnya kepadaku. Aku tersenyum dan berucap, “Merci.”

Aku ingat beberapa minggu yang lalu, Keiramina memberitahuku tentang Salieri yang baru saja membuka cabang baru di Paris, tepatnya di Rue de L'Aubreuvoir. Aku menegak habis sisa kopi panasku yang sudah dingin dan melemparkannya ke tempat sampah, kemudian melirik jam di pergelangan tangan kiriku seraya merapatkan coat cokelat-ku sebelum berjalan ke arah Montmartre. Aku masih memiliki waktu kurang lebih lima belas menit sebelum jam menunjukan pukul 12 malam.

Berjalan menyusuri jalan Paris di malam hari mengingatkanku pada kali terakhir aku menginjakan kaki di kota ini, lebih tepatnya saat aku mencoba melarikan diri dari kebisingan ibukota dikarenakan beberapa hal tertentu yang menguji kewarasanku. I was helpless back then, and still. Mungkin, kalau semua baik-baik saja, aku sudah bahagia bersama satu laki-laki pilihanku. Atau, jika segalanya sesuai dengan rencana, aku mungkin sudah menimang bayi kecil. Namun sayag, bahkan di ujung umur 27 tahun ini, aku masih nggak benar-benar tahu apa yang aku mau – apa yang benar-benar aku mau.

Sekali lagi kulirik jam di pergelangan tanganku sembari merapatnya coat yang menyelimuti tubuhnya. Lima menit lagi, batinku. Seketika pikiranku bercabang akan hal-hal mustahil yang terlintas pada otakku. Tulisan besar Salieri di seberang jalan sudah terlihat, melihat Salieri seperti melihat rumah, entah apa definisi harfiahnya.

Tiga menit terakhir sebelum jam menunjukan pukul 12, aku harap Sachi, Razi dan Shafrina ada di sini.

Dua menit terakhir sebelum jam menunjukan pukul 12, aku harap mama, papa dan eyang uti ada di sini.

Satu menit terakhir sebelum jam menunjukan pukul 12, aku harap Teraa di sini, merayakan hari lahirku – yang beberapa tahun belakangan ini selalu kuhabiskan dengan dia, ada di sini.

Telat pukul 12 saat kakiku melangkah masuk ke Salieri, kedua mataku bertabrakan dengan sepasang mata hitam yang baru saja mendongak. Aku tahu ada setumpuk dosa yang sudah kuperbuat, dengan sengaja dan tanpa sengaja, namun mengapa Tuhan selalu memberiku kesempatan dengan mengabulkan doa terakhir yang bagiku, sangat mustahil?

The best things come when you least expect them to, no?


Him

Semanjak gue duduk di bangku sekolah dasar, Papi dan Mami ngga pernah absen bertengkar di rumah. Entah karena salah satu dari mereka yang melewati hari kurang baik, atau masalah kecil lain yang membuat keduanya saling tunjuk jari. Kalau di rumah sudah mulai berisik, Pak Budi – supir keluarga gue, inisiatif mengajak gue masuk ke mobil dan membawa gue mengitari komplek. Nggak, gue nggak kurang menerima kasih sayang dari keduanya, gue nggak merasa kehilangan sosok Ayah pun Ibu dalma keluarga lantaran Papi dan Mami selalu menghujani gue dengan seluruh kasih sayang yang mereka miliki. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, gue sudah mulai terbiasa dengan keributan mereka. Sampai pada akhirnya gue pulang ke rumah dalam keadaan kosong. bukan, bukan kosong tanpa barang, namun kosong seakan tak berpenghuni.

Rasanya asing.

Gue sudah mulai terbiasa dengan keributan yang disebabkan oleh adu mulut Papi dan Mami. Jadi, sewaktu gue mendapati keheningan di dalam rumah, rasanya hampa, seperti ada yang hilang. Siang itu, sepulang sekolah, ue dibawa Pak Budi ke rumah Oma.

“Terra kalau nggak mau di rumah, tinggal di kamar sini ya.” kata Oma seraya mengelus lembur rambut gue. “Ada Kafka juga di kamar sebelah.”

Saat itu mungkin umur gue masih 13 tahun, tapi gue nggak bodoh untuk segera memahami situasi yang sedang terjadi.

“Aku di rumah aja, Oma.” jawab gue yang membuat Pak Budi terkejut, pun Oma. “Terra gapapa di rumah walaupun nggak ada Papi sama Mami. Ada Pak Budi sama Mbak Ani.”

Sejak saat itu gue nggak pernah lagi lihat Papi dan Mami berada di satu ruangan yang sama. Masing-masing dari mereka akan mengunjungi gue di rumah kami secara bergantian. Gue nggak pernah bertanya apa alasan utama mereka nggak lagi tinggal di sini. Gue nggak pernah bertanya kenapa kita nggak lagi sarapan di meja makan bersama layaknya keluarga. Gue nggak pernah berani bertanya, karena nyatanya, gue takut mendengar jawaban dari keduanya. Hingga jauh setelahnya, belasan tahun kemudian, gue mendapat jawaban pasti.

An unhappy marriage.

Monsieur,” gue mengerjapkan kedua mata saat menyadari seorang pelayan yang mengantarkan pesanan kopi kedua gue malam ini. “Your coffee.”

Merci beaucoup.”

Sudah lebih dari satu bulan gue tinggal di Carlsbad bersama Papi, yang berarti sudah lebih dari satu bulan pula gue meninggalkan Ariella.

Ariella.

Nama yang nggak pernah bosan untuk gue ucapkan layaknya sebuah doa.

Kenyataan bahwa Papi dan Mami, setelah belasan tahun terjebak dalam hubungan nggak sehat yang merugikan satu sama lain, akhirnya, mencapai titik tenga – perpisahan. Secara agama dan negara. Bohong kalau gue bilang semua baik-baik saja, karena pada akhirnya gue harus menghadapi kenyataan bahwa gue nggak lagi punya orangtua yang utuh. Nyatanya juga, bertahun-tahun terbiasa dengan ketidakhadiran keduanya nggak membuat gue lapang berlapang dada ketika menghadapi sesuatu, yang mungkin, sedari dulu gue takuti.

Papi dan Mami pada akhirnya harus berpisah.

Sebuah keputusan yang baik.

Terbaik.

Namun ternyata gue nggak cukup kuat untuk menghadapi kenyataan pahit tersebut saat Oma melontarkan pertanyaan tentang perpisahan Papi dan Mami di acara makan siang bulanan keluarga kami, dengan Ariella di sisi gue yang menunjukan wajah terkejutnya, sama seperti yang lain. Gue bahkan nggak memberi dia kesempatan untuk duduk berdua dan berbagi kisah atau sekedar bertukar pikiran seperti yang kami biasa lakukan sebelumnya.

I suffered from missing her so badly.

And here I am, reminiscing our first meeting, a day before her birthday, in Paris.

Ariella, di antara perempuan-perempuan yang silih berganti mengisi kekosongan hati, adalah satu-satunya yang mampu berada di sisi, sampai buat gue mempertanyakan eksistensi diri sendiri. Harusnya sedari awal gue mengakui bahwa pesonanya mampu memikat gue yang sebelumnya bahkan nggak memperbolehkan perempuan manapun menempati tempat tidur kamar gue di rumah, yet I asked her to move in with me.

Ariella is full of surprises.

“Ayo, Ter.” katanya waktu itu sembari menarik ujung lengan kemeja gue dengan girang. “Nanti waiting list, males nunggu.”

Gue hanya mengekori dia menuju tempat yang bahkan gue nggak tahu apa, di mana, ke mana. “Iya, Ariella.”

Ariella menghentikan langkahnya di depan studio foto mall yang tengah kami kunjungi. Gue mengalihkan pandangan ke perempuan yang sedang tersenyum antusias di sebelah gue dengan bingung. “Tunggu di sini, I won’t be long.”

Kemudian dirinya menghilang di balik salah satu studio foto. Gue hanya bisa terkekeh sembari pasrah. Gue pikir dia akan meminta gue untuk mengabadikan kami berdua secara layak. Namun lagi-lagi gue salah.

“Yuk, gue udah beres.” Ariella menghampiri gue dengan satu lembar map merah berisi foto dirinya dalam berbagai macam ukuran. “Mau lihat nggak?”

Gue mengangguk dan mengeluarkan hasil foto miliknya dari dalam map. Mulai dari ukuran 3x4, 4x6, sampai yang membuat gue sedikit terkejut, foto close up dirinya dengan ukuran 4R. “Ini buat apa di cetak segede gini?”

“Lo tadi bilang gue cantik, jadi gue sekalian foto buat di funeral nanti.”

Just Ariella being Ariella.

And I miss her even more now.

Sebelum pergi meninggalkan Jakarta kemarin, gue sempat singgah ke rumah Oma. Beliau bilang, jangan sampai melewatkan kesempatan hanya karena hal-hal bodoh yang masih bisa dibicarakan. Pun saat gue berpamitan dengan Mami, beliau memberikan satu kotak beludru hitam berisi cincin dengan berlian kecil di tengahnya. Dan entah kenapa gue hanya memikirkan satu nama untuk nantinya gue sematkan cicin tersebut di salah satu jemarinya.

Lima menit sebelum hari berganti menjadi tanggal tiga desember.

Gue memutar-mutar kotak beludru hitam di bawah meja, merapalkan doa yang sangat sulit untuk dikabulkan.

Suara derit pintu Salieri membuat gue mendongak dan mendapati sepasang mata cokelat yang membuat gue sulit untuk memutuskan pandangan.

If this is a dream, please don’t wake me up.


Us

Kami hanya saling menatap tanpa ada satu patah kata yang keluar dari bibir masing-masing. Selain kalimat Tuhan Maha Baik yang nggak berhenti aku rapat dalam hati atas pertemuan mengejutkan ini.

Happy birthday,” ucapnya yang membuat satu sudut bibirku tertarik sebelum mendorong satu piring kecil berisi potongan red velvet dengan satu lilin kecil ke arahku. “Make a wish.

I want us.

Aku hanya tersenyum tanpa mampu mengutarakan permohonanku kepadanya, seperti ulang tahun sebelumnya. It’s good to see him. “Apa kabar, Ter?”

“Baik.” God, I miss him so much. “Kamu apa kabar?”

Jutaan kupu-kupu seperti menyerbuku di saat yang bersamaan, menimbulkan sensasi aneh yang membuatku meremas coat-ku di bawah meja. “Baik.”

I miss you.

Aku nggak berharap ia akan mengucapkan tiga kata tersebut secepat itu namun, “I miss you, too.

Sayang, obrolan kami harus di interupsi oleh salah seorang pelayan yang memberitahu bahwa Salieri akan tutup tiga puluh menit lagi. Dengan berat hati aku dan Terra bangkit, melangkah keluar menghadapi udara musim dingin Paris.

You okey?” tanyanya penuh khawatir. “Mau cari tempat lain?

Paris nggak pernah sehangat ini di musim dingin, Ter, asal kamu tahu. “I’m good.

Kami berjalan turun menyusuri Rue de l'Abreuvoir saat Terra berbisik kecil yang nggak sempat aku dengar suaranya.

“Kenapa, Ter?”

Detik berikutnya, langkah kakinya berhenti. Ia membalikan badannya ke arahku. “Maaf.”

“Aku pun.”

“Aku nggak bermaksud buat pergi gitu aja, I was so overwhelmed back then. Badanku ikut kaget. And it’s totally okey if you forget me.”

Aku mengangguk paham. Lagi pula, aku juga penyumbang setengah masalah yang sempat terjadi di hidupnya. Namun, “Nggak pernah satu hari pun aku nggak ingat kamu, Ter.”

Satu hal yang aku sadari, suara kami sama-sama bergetar.

Hypothetically, if you never saw me again. How would it make you feel?

Aku terkekeh di bawah syal yang membalut leherku sebelum menatapnya tepat di manik mata. “Nggak mau bayangin.”

Tanpa memutuskan pandangan, ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan satu kotak kecil berwarna gelap, dengan perlahan ia membuka kotak kecil tersebut dan mengeluarkan satu benda berkilau.

No.

Let's spend the rest of our lives together.” ucapnya masih dengan suara yang bergetar. “I’m not proposing you, not yet. Let’s call it promise ring.

Aku masih terdiam memandangi cicin dengan berlian kecil di tangan Alterra. Lututku lemas seperti nggak memiliki tulang. Aku masih memproses kalimatnya, maksud dari kalimatnya.

“Ariella,” aku mendongak, mendapati kedua matanya yang menatap mataku hangat. “It’s okey to say no.

And how can I say no to you?

Satu anggukan yang membuat senyum laki-laki di hadapanku merekah. Ia meraih tangan kiriku sebelum menyematkan satu cicin di salah satu jemarinya.

I still clearly remember the first feeling I felt when I first started talking to him and I don’t want us to be strangers again. And this is what I've been looking for.

And everything comes to an end, right?

ALTERRA : Everything Comes To An End book version soon on Lavina Publisher.

The Riahi

Relax,” Terra meremas pelan tanganku sewaktu kami tiba di salah satu rumah besar dengan gaya Eropa di pusat kota Jakarta – rumah Oma. “It's just a normal lunch.”

It is not just a normal lunch for me, Terra, it's the whole family rendezvous.

Kupandangi pantulan diriku di kaca mobil untuk kali terakhir sembari menunggu Terra mengambil sesuatu di bagasi mobilnya. Kemeja putih casual yang kupadankan dengan kulot high waist berwarna krem dan rambut panjangku yang kubiarkan tergerai.

“Udah cantik.” satu tangan Terra menyelinap di pinggangku yang kubalas dengan senyum kecil serta anggukan. He knows.

Salah satu hal yang kusuka dari Terra adalah dirinya yang seakan mengetahui perasaan yang sedang kurasakan. Seperti siang ini ketika aku mengiyakan ajakan makan siang rutin para cucu Riahi di kediaman Oma. Terra tahu aku gelisah, terhitung sejak kejadian Patra, aku seperti menarik diri dari dunia, enggan untuk bertemu siapa pun kecuali Sachi. Butuh keberanian dan niat khusus untuk percaya bahwa dunia nggak semenyeramkan itu, terlebih dengan adanya Terra dan sepupu-sepupunya yang selalu ada untuk membantuku dalam segala situasi dan kondisi.

“Oma,” Aku menyalami sosok perempuan paruh baya dengan rambut putih yang bertumpu pada satu tongkat kayu tua yang ia genggam di satu tangannya. “Sehat, Oma?”

My Ariella,” hatiku menghangat mendengar sematan kata kepemilikan yang beliau ucapkan beriringan dengan namaku. “Sehat. Oma sangat sehat. Everything's good?

Aku mengangguk mantap walaupun jauh di dalam hatiku ingin rasanya menangis.

“Mariano,” Terra bilang, Oma memiliki kebiasaan memanggil semua cucunya dengan nama tengah. “I miss you.

“Kayak aku nggak pernah ke sini aja.” protesnya. “Baru juga minggu lalu.”

Keduanya terkekeh.

Oma mempersilahkan aku dan Terra untuk masuk ke dalam guna bergabung dengan yang lainnya.

“Kak Lele!” perempuan cantik dengan rambut panjang dan dress bunga berwarna kuning berlari kecil menghampiriku dari arah ruang keluarga. Aku hampir jatuh ke belakang ketika menerima pelukannya kalau saja tangan Terra nggak menahanku. “It's good to see you!

Keiramina the sweetest. Kekasih dari adik sepupu Terra yang satu ini memanglah berhati bak malaikat.

It's good to see you too.” aroma bunga peony khasnya menyeruak begitu aku memeluk balik tubuh kecilnya. “Kailan mana?”

Keiramina menunjuk pintu kaca besar menuju halaman belakang dengan dagunya. “Di gazebo belakang sama Kak Janitra. Yuk, aku juga mau ke sana.”

Kami bertiga berjalan menuju area halaman belakang rumah Oma, walaupun cuaca sedang terik, meja makan panjang yang sudah tertata rapih di tengah halaman, persis di sebelah kolam renang, nampak sejuk, mungkin berkat rerimbunan pepohonan yang hampir memenuhi area yang aku rasa sama luasnya dengan basement apartemenku.

“Le!” Aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Janitra dengan deretan gigi putihnya serta satu tangan yang melambai ke arahku. “Sini!”

Tiga laki-laki yang semula tengah duduk santai di gazebo kini menghampiri kami. Terra terlebih dahulu memeluk satu persatu adik sepupunya sebelum ketiganya bergantian memelukku. This is so heartwarming, I feel like I was in the family. I feel like I've known them forever.

“Embun mana, Kar?” tanyaku pada pemuda dengan t-shirt putih dan jeans biru yang sedang menghirup dalam-dalam rokoknya.

“Di atas sama Kak Iya. Lagi bikin nggak tau apa tuh buat cewek-cewek.”

Bersamaan dengan ponsel Kailan yang berdering, Bi Ratna – asisten rumah tangga kepercayaan Oma, memberitahu Terra untuk bersiap di meja makan panjang yang sudah di dekorasi sedemikian rupa.

Kaia's duty,” bisik Terra di telingaku saat ia membantuku untuk duduk di salah satu kursi. “She loves white.

Nggak berapa lama kemudian, Kaia dan Embun turun dari lantai atas dengan dua box besar, dengan cekatan Akar dan Janitra menghampiri mereka dan membantu untuk meletakan dua box besar tersebut di samping salah satu kursi.

Good afternoon, everyone.” sapa perempuan cantik dengan tinggi menjulang tersebut, diikuti Embun yang melambaikan tangannya ke arahku dan Terra. “Such a pleasure to see you all.

Aku ingat pertama kali bertemu Kaia di salah satu restaurant fine dining di Jakarta, sekitar satu tahun lalu, ia sedang bercengkrama dengan salah satu aktor papan atas ibu kota. Minggu setelahnya kudapati dirinya dengan laki-laki berwajah oriental di salah satu bar di bilangan Jakarta Selatan. Sewaktu kutanya Terra perihal satu-satunya adik sepupu perempuannya tersebut, Terra hanya menyebut satu nama diantara deretan sepupunya – Janitra, yang membuatku paham bahwa Alissaya Kaia Riahi is a female version of Janitra Gautama Riahi, fall off a bridge instead of fall in love with them because it'd hurts less.

Kaia is very thoughtful. Box besar yang ia dan Embun bawa dari lantai atas berisi paperbag berwarna putih, dengan senyum secerah matahari ia mengeluarkan satu persatu paperbag dari dalam box dan mengulurkannya ke masing-masing dari kami sesuai nama yang tertera di bagian pojok kanan atas.

“Kaia, thank you.” ujarku sembari mengangkat satu paperbag berwarna putih. “This is so pretty.

Ia mengedipkan satu matanya sebelum melanjutkan aktivitasnya.

“Ah, akhirnya dateng juga.”

Here they are, the two oldest Oma's grandson with their gorgeous partner. It's an honour to see Anaya Sudiro in a person other than in a movie theater or billboard around the town. Also Kaluna Masitha with a normal floral dress other than her white coat and a stetoskop, along side with their partner – Kafka and Rakagi.

“Kak Nay this one's for you,” Kaia menyerahkan satu paperbag ke perempuan cantik dengan dress berwarna putih gading yang satu tangannya masih digenggam erat oleh sang kekasih. “Walaupun kamu brand ambassador mereka.”

Anaya Sudiro slash Indonesia's Sweetheart, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kekasih dari Rakagi – one of the best surgeon in town. Paras cantiknya yang terpampang nyata di beberapa ruas jalan utama ibu kota, belum lagi kehidupannya yang nggak pernah absen diliput portal berita dan wajahnya yang berseliweran di linimasa sebagai model papan atas nasional, bahkan internasional.

“Ini alasan gue nggak pernah beli parfum,” cibir Kafka yang baru saja menerima paperbag miliknya. “Thank you, Iya.”

Yang namanya disebut hanya memutar bola mata dan memeluk perempuan dengan rambut sebahu di sebelahnya – Kaluna.

“Le, apa kabar?” tanyanya begitu ia menghampiriku. “It's good to see you.

Why is everyone telling me this. I'm about to cry my ass off.

Never been better, Kal. Thanks to you.

I believe that Kaluna is an angel in a human form and nobody tell me otherwise.

Everyone's happy to see you,” bisik Terra. “Nggak gue doang.”

I feel loved, more than loved, I feel seen.

Oma bergabung setelah kami semua duduk di kursi masing-masing. Dimulai dari sambutan sederhana betapa bahagianya beliau akan acara bulanan yang selalu rutin terlaksana dan doa-doa yang selalu dirapal tanpa henti teruntuk semua orang yang berada di sini. Diantara canda dan tawa selama menikmati menu makanan Eropa yang disuguhkan di makan siang kali ini, selalu terselip pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan untuk beberapa nama.

Janitra sang target utama.

Sama seperti Kaia, beberapa kali aku dan Terra melihat figur tingginya di berbagai tempat, mulai dari bar, cafe, restaurant, sampai shooting range, tentu saja dengan perempuan yang berbeda. Di samping sifatnya yang bisa dibilang pemain handal, Janitra selalu punya batasan.

I would never bring them to a family event.” tuturnya waktu itu. “What's stay outside, stay outside.

“Nebraska Abyasa,” panggil Oma, seketika semua mata tertuju pada sosok tenang yang berada di ujung meja. “How's medical school so far?

Ah, iya. Selain Rakagi, Nebraska juga mengikuti jejak sang Oma yang berprofesi sebagai dokter, walaupun kini beliau sudah nggak aktif karena faktor umur.

“Pusing, Oma.” Aska – panggilan akrabnya, terkekeh. “But I'll manage.

Oma mengangkat kedua jempolnya yang diikuti Rakagi yang duduk persis di hadapannya. Sementara kami semua tertawa menyemangati.

“Embun, cucu Oma.” mendengar Oma memanggil nama Embun, Terra dan Janitra yang berada di sebelahku tertawa. “How's Kalingga treating you?

Same as usual,” Embun menunjukan senyum manisnya. “Gonna go find another best friend, Oma.

Oh My God,” Oma menutup mulutnya sebagai tanda keterkejutannya. “You have my full support, Dear.

Tawa Terra dan Janitra semakin lantang, diikuti para sepupu lainnya. Membuat Akar mendengus sebal.

“Papi mami jadi urus berkas ke pengadilan?” Aku menoleh ke arah Oma. Kudapati sorot matanya mengarah ke laki-laki di samping kananku.

“Kak,” Kailan yang duduk di sisi kirinya menyenggol Terra yang sedang melahap sup labu dengan siku. “Ditanya Oma.”

Aku masih melihatnya mengunyah sisa roti yang sebelumnya ia celupkan di sup labu kuning pada mangkuknya. Kini semua mata tertuju pada Terra, sedangkan dirinya masih dengan santai meraih kotak tisu dan membersihkan mulutnya dari sisa-sia makanan.

“Jadi,” jawabnya singkat sebelum melanjutkan, “Sidangnya pertama kayaknya lusa. Mungkin cuma sekali, nggak tau sih aku nggak paham. Yang pasti nggak akan ada mediasi, karena buat apa juga.”

Aku nggak bodoh untuk mengetahui apa yang dibicarakan Terra – perceraian kedua orangtuanya. Yang membuatku merasa bodoh adalah, dirinya yang sama sekali nggak memberitahuku, atau aku yang terlewat nggak peka akan masalah yang ia tengah hadapi.

Good,” Oma mengangguk. “They better off that way – officially.

Keheningan pasca pembahasan tersebut buru-buru diisi dengan cerita Kaia yang baru saja menemukan salah satu fosil hewan purba yang menarik penasaran kami, walau aku tahu ia sedang berusaha mendistraksi.

Dan benar, Kaia adalah seorong Arkeolog.


“Le,” Aku menoleh dan mendapati Rakagi yang tengah berjalan ke arahku dengan dua gelas white wine. “You want some?

Sure.” Aku menerima uluran gelas darinya. “Anaya mana?”

“Tuh,” Ia menunjuk Anaya yang tengah sibuk meladeni pertanyaan-pertanyaan Janitra di ruang keluarga. “Biasa, minta rekomendasi next eligible target.”

Seketika aku menutup mulut agar gelak tawa yang kuciptakan nggak menjadi pusat perhatian.

Judging by your reaction, lo kaget ya tadi sama pertanyaan Oma soal Terra?” Sial, terlalu tepat sasaran.

Aku mengangguk. “Enlighten me, Gi.”

Rakagi terkekeh dan menggeleng pelan. “Bukan hak gue untuk cerita.”

He's struggling,” ucapku pelan, yang aku yakin Rakagi juga mendengarnya. Pandangan kami kini mengarah ke Terra yang tengah merokok di salah satu kursi taman dengan satu botol bir di tangan lainnya. “Yet he's ... “

“Le, I think if someone helps you and they're struggling with their own problems, that's not help,” pandanganku beralih ke Rakagi – yang masih memperhatikan Terra menghisap nikotinnya dalam-dalam. “That's love.


Seusai berpamitan dengan Oma dan para sepupu yang lain, aku dan Terra berjalan ke arah Mercedes C Class miliknya yang terparkir bersebelahan dengan Jaguar F-Type putih milik Janitra. Seketika pikiranku kembali ke hari itu.

“Masuk atuh,” suara Terra membuyarkan lamunanku akan salah satu mobilnya yang ia serahkan ke Patra, yang bahkan sampai sekarang enggan ia bahas dengan lebih lanjut. “Malah bengong.”

Lima menit setelah meninggalkan rumah Oma, aku dan Terra sama-sama memilih untuk diam menikmati lagu-lagu yang diputar secara acak di radio. Aku tahu ia menungguku untuk bertanya terlebih dahulu perihal pertanyaan Oma tadi, namun niatku untuk bertanya kuurungkan ketika menyadari satu hal – Terra bukan tipe manusia yang dengan mudah berbagi cerita, kalau ia rasa bisa menyelesaikannya, ia akan dengan cekatan melakukannya seorang diri.

Kaia is very nice,” ucapku pada akhirnya, nggak tahan akan keheningan kami yang sudah berlangsung terlalu lama. “In fact, this whole official-monthly-lunch-with-Oma merchandise thing is so thoughtful.

Kaia been doing that since she was fifteen,” ungkap Terra. “Dulu isinya masih scented candles lima puluh ribu-an, sekarang udah Jo Malone.”

Aku tertawa sembari mengeluarkan satu demi satu barang yang ada di dalam paperbag berwarna putih di pangkuanku. Parfum Chanel no. 19, Jo Malone scented candles, Drunk Elephant lip balm, Louis Vuitton Drops Mink Fur sleep eye mask dan yang terakhir bathbomb dari Lush.

“Kok Kaia bisa pas gini kasihnya,” tanyaku lebih ke diri sendiri sembari mengangkat kotak putih berisi perfume. “This can't be coincidence, kan?”

Terra menoleh ke arahku bertepatan dengan lampu lalu lintas yang berubah warna menjadi merah. “Kaia nanya ke gue satu minggu lalu.”

Wait, what?” Aku mengerutkan kedua alisku nggak percaya. “*Kita bahkan belum ketemu – “

I will always find a way, Ariella.” Satu tangannya terangkat untuk mengelus pipiku. “Satu minggu lalu kita belum ketemu, setelah hampir satu bulan pisah. But I'll always find a way, no?

Aku mengangguk. “You will. You always will.

Aku memajukan sedikit tubuhku ke arahnya guna mencuri satu kecup di ujung bibir Terra, membuatnya mengerang pelan karena lampu lalu lintas yang sudah berubah menjadi hijau. Sekali lagi, kuurungkan niatku untuk bertanya perihal masalah kedua orangtuanya, dan memutuskan untuk menunggu hingga ia bercerita.

Warm Chaos

Ariella duduk di pangkuan gue dengan posisi koala favoritenya, wajahnya ia sembunyikan di ceruk leher gue dengan kedua tangan yang terkepal di dada, sedangkan tangan gue sibuk mengusap punggung ringkihnya, sesekali membubuhkan kecupan-kecupan kecil di puncak kepalanya.

Can the world slow down ... “ gumamnya dengan suara yang bisa dengan jelas gue dengar. “Slow down ...

Hang in there,” tangan gue beralih mengusap surai panjangnya. “I've got your back.”

Beberapa jam yang lalu sosok perempuan cantik yang berada di pelukan gue berhasil menceritakan rentetan kejadian pilu yang ia alami. Bohong kalau gue bilang gue nggak menahan rasa perih di dada ketika Ariella memulai ceritanya; Patra – sang mantan kekasih yang secara terus menerus menghantuinya dengan alasan balas budi atas tanggungan finansial yang ia berikan di masa-masa Ariella hidup seorang diri.

“Semenjak gue punya income, setiap bulan gue cuma ambil 30% dari keseluruhan gaji gue,” ada getar menyayat hati ketika dia mengucapkan kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir tipisnya. “Karena kantor gue pake dua rekening buat gajian – for the sake of tax, satu kartu ATM gue dipegang Patra – dengan nominal paling banyak.”

Di titik ini gue sangat berharap untuk datang lebih awal ke kehidupan Ariella. Mengetahui dirinya yang rela bekerja hingga larut malam, bekerja paruh waktu di akhir pekan, serta menjual beberpa aset peninggalan mendiang kedua orangtua, membuat gue lagi-lagi mengutuk diri – if only I could turn back the time, I would, wholeheartedly.

Move in with me.” tanya gue yang membuat Ariella mendongak, mata bulatnya menatap gue seakan ia baru saja melihat hantu.

Gue nggak sedang bercanda – I want to protect her at all cost. Gue punya tempat tinggal yang layak, gue punya tabungan yang cukup, gue punya -

Okey.”

Kali ini gue yang dibuat kaget oleh Ariella.

Ia bangun dan duduk di pangkuan gue sepenuhnya, kedua tangannya ia lingkarkan ke leher gue, seulas senyum terpatri di wajah cantiknya. Pada detik ini gue bahkan nggak bisa menggambarkan perasaan yang gue rasakan, entah sebuah kelegaan, bahagia, atau sebuah ketakutan. I've never done this before, gue nggak pernah mencoba untuk menawarkan hal apa pun di dunia ini walaupun gue bisa dan mampu. Hidup gue terlalu rumit – dengan segudang trauma dan kejadian buruk yang kian hari kian tamak mengambil alih isi pikiran. I'm not the type of person someone falls in love with, I constantly telling myself that life will get better -

“Ter, nggak bermaksud buat ganggu waktu bengong lo, tapi,”

Mendengar ucapan Ariella, pikiran gue seakan ditarik kembali. “Hm?”

Can you kiss me?” ucapnya lirih. “I need distraction – koreksi, I need you.”

I caved in – I tasted her.

And I realized I had been starving for more – a little more than I should.

But then I met her, she match my energy – her aura is a warm chaos. And maybe, just maybe, I do love her.

27.03

I don’t deserve Terra.

I don’t deserve his warm embrace rubbing my back at two am when I told him I couldn’t sleep. I don’t deserve his tell me, I’ll listen when I call him at six in the morning because I miss my parents. I don’t deserve his I’ll pick you up now when I was having a major mental breakdown at a random bar that I went to on a certain night. And I’m pretty sure that I don’t deserve his I love you too – that’s why I turned off my phone and blocked him right away, because I don’t want to see or read even hear him saying all those four words – because I don’t deserve it. I don’t deserve Alterra Mariano Riahi.

Aku berkali-kali menekan beberapa angka pada akses pintu unit apartemenku namun nggak ada sama sekali yang berhasil.

“Dua, lima, kosong, tiga.” Gumamku kala mencoba peruntungan untuk kesekian kali.

Akses ditolak. What the fuck.

Setelah hampir satu bulan tinggal di unit apartemen Sachi, malam ini aku memutuskan untuk pulang ke rumah.

Pulang dan rumah.

Aku terkekeh saat menyadari dua kombinasi kata mematikan tersebut. Seingatku terakhir kali aku mendengar dua kata tersebut saat Kaluna mengantarku ke parkiran rumah sakit – oh, that was Terra, with his come home soon.

Terra.

Seketika aku lemas dan memutuskan utnuk menjatuhkan diriku ke lantai, persetan orang-orang yang berlalu lalang di koridor, I’m having a mental breakdown right now.

Pesan singkatnya yang berisi pujian akan warna bajuku kala berkunjung ke rumah sakit, dirinya yang menyemangatiku entah untuk apa, dan satu kalimat terakhir yang seakan menyuruhku pulang, membuatku harus berdiam diri memproses semuanya di toilet rumah sakit tempat Rakagi dan Kaluna bekerja guna menetralkan emosiku, karena aku nggak bisa menemuinya – belum, nyatanya aku sengaja menghindarinya. As expected, he understand, well, he always understand. Just Terra being Terra.

“Le?” Aku mendongak. “Ngapain di situ?”

“I –“

Aku belum menyelesaikan kalimatku saat Terra mengulurkan satu lengannya untuk membantuku berdiri.

Yang tentu saja kuterima.

I’m sorry,” Terra mundur dua langkah seakan apa yang baru saja ia lakukan adalah salah satu tindakan kriminal yang nggak termaafkan. “Do you want –“

It’s okey.” Potongku sembari mengibaskan tangan. “Bukannya Asa di lantai atas?”

Terra mengangguk. “Kenapa nggak masuk?”

“Aksesnya ditolak terus,” aku mencoba menekan ulang angka demi angka untuk membuktikan ucapanku pada Terra. “See, ditolak lagi.”

Can I try?” is he doubting me? This is my apartement, ain’t no way he succeed while I don’t.

Sure.” Aku bergeser dan mempersilah dirinya untuk mencoba.

Click.

What the actual fuck.

Terra kembali mundur beberapa langkah. “Masuk gih.”

Aku masih diam di tempat. Bagaimana bisa ia berhasil pada percobaan pertama sedangkan aku – si pemilik sah unit apartemen ini, harus mencoba lebih dari lima kali dan berakhir nihil.

Aku menoleh ke arah Terra. “How?

“Apa?”

Aku mendekat ke arah pintu. “Bisa buka.”

“Kamu masukin angka berapa aja dari tadi?”

“2503, as usual.”

Terra terkekeh. “Sejak kapan ulang tahunku jadi 25?”

Wait, what?

“2703, Le,” melihat aku yang masih memproses semuanya, laki-laki dengan t-shirt putih dan celana jeans pendek di sebelahku menlanjutkan. “Kamu masukin angka berapa? Passcode-nya kan 2703.”

2703.

27 refers as his birth date, 03 refers as mine.

Damn it, Ariella.

“Oh iya,” aku menutup kembali pintu apartemenku dan mencoba menekan beberapa angka. “Tadi masukin 25. Tanggal gajian.”

Terra nggak tertawa, ia hanya menunjukan senyum tipisnya. Senyum tipisnya yang menjadi favoriteku.

Thank you, Ter.”

Anytime, Ariella.”

Nggak ada yang beranjak dari tempat masing-masing, yang ada hanyalah aku dan Terra yang tengah tenggelam dalam netra satu sama lain.

Rambutnya sudah mulai kembali panjang, kantung matanya lebih gelap dari kali terakhir aku bertemu dengannya, dan tubuhnya terlihat sedikit kurus. Aku bahkan lupa ia menenteng satu paperbag Salieri, mungkin untuk Asa – sepupunya yang baru pindah ke unit apartemen di lantai atas, thanks to Janitra yang beberapa minggu lalu memberitahuku.

Sebelum aku sempat membuka suara, Terra lebih dulu mengulurkan paperbag cokelat yang sedari tadi ia bawa. “Salmon Cheese Panini. Your favorite.”

For me?

I don’t see anyone else.” Ia terkekeh. “Yes, for you.”

Thank you.” ucapku tulus.

“Masuk gih,” aku mengangguk dan melangkah masuk. “Have a good rest, Ariella.”

Tanganku masih memegang handle pintu saat ia mengucapkan kalimat terakhirnya. Kuliat senyum tipisnya sebelum ia berbalik dan berjalan meninggalkanku.

Langkahnya semakin menjauh.

Dua unit sebelum ia mencapai lift di ujung koridor.

Satu jarinya menekan tombol lift – entah ke arah bawah atau atas.

Ku dengar samar suara denting pintu lift yang terbuka.

Fuck it.

“Al!” kakinya yang sudah setengah melangkah masuk ke area lift, ia tarik kembali. “Would you like to – “

Terra nggak membiarkan aku menuntaskan kalimat terakhirku karena senyumnya yang seketika merekah seakan tau apa yang akan ku ucapkan sebelum kudapati dirinya berlari ke arahku.


I’m not drunk,” bantahnya kesal saat gue mencoba untuk menjauhkan wajahnya dari wajah gue. “Aku seratus dua persen sadar.”

“Dua persen stand for what?” gue menatapnya kebingungan.

Your birth month.”

This girl is just ... irresistible.

Beberapa jam yang lalu gue memutuskan untuk membeli Salmon Cheese Panini favorite Ariella di Salieri, hanya karena gue terlalu merindukan sosoknya yang sudah kurang lebih satu bulan menghindari gue. Gue nggak berniat untuk mengunjungi Asa – sepupu gue yang baru pindah ke lantai atas di tower yang sama dengan Ariella, karena sebenarnya sudah dua hari Asa ada di rumah Oma, niat gue ke sini untuk sekedar melihat pintu apartemen Ariella, memangkas sedikit rindu. Beruntungnya, bukan hanya pintu yang gue temui malam ini, melainkan sosok si empunya pintu yang tengah duduk di lantai dengan tatapan kosong. Dan berakhir dengan kami di atas ranjang tempat tidurnya.

Kejadian malam ini mengingatkan gue pada kejadian beberapa bulan lalu sewaktu gue dengan kesal nggak berhasil masuk ke unit apartemen Ariella dan bersih keras bahwa angka-angka yang gue tekan sebagai passcodee sudah benar. 2507, berkali-kali gue menekan angka-angkat tersebut. Dan malam ini kejadian itu terulang kembali.

I’ve missed you.” Bisiknya di ceruk leher gue. “Too bad you refuse to kiss me.”

Kali ini giliran gue yang tertawa. “I’m afraid I can’t hold back, Le. It’s been weeks.

Then don’t?” Ariella mendongak. Mata sayunya menyambut gue begitu pandangan kami bertemu. “Don’t you miss me? Of course you don’t.”

Ariella bangkit dari pelukan gue namun dengan cepat berhasil gue tahan. Dengan satu gerakan gue memutar posisi tubuhnya yang kini menjadi di bawah gue. “I’ve missed you too.”

Ia tersenyum sinis seraya memutar bola matanya, membuat gue lagi-lagi tertawa.

Can we talk after this?” tanya gue sembari mengelus pipinya yang kini bersemu merah.

“Bukannya dari tadi juga udah ngomong?” Ariella being Ariella.

Gue tersenyum lemah. “You know exactly what I mean, Le.”

Alright.”

Gue memangkas jarak diantara kami tepat setelah ia menuntaskan jawaban terakhirnya. I've missed her so bad, all of her. Nggak butuh waktu lama untuk merubah ciuman pelepas rindu menjadi ciuman panas yang berhasil membuat kami sama-sama kehilangan akal sehat. Ariella mengecup bibir gue sekali sebelum menarik diri untuk meloloskan gue dari t-shirt putih yang melekat pada tubuh gue dan melemparkan ke sembarang arah, diikuti dengan sweater hitam tipis miliknya yang terpaksa harus gue lepas secara brutal – membuat seluruh kancing di bagian depan sweater-nya terlepas dan berserakan di lantai.

You're Loved

What's on your mind?” tanya gue ke Ariella saat kami sudah berhadapan di tempat tidur.

Ariella nggak bergeming, tangannya masih bergerak bebas menggambar pola acak di leher dan tulang selangka gue. Kalo kalian tanya kenapa gue nggak merasa geli, jawabannya nggak – it's her habit, I'm getting used to it.

“Kenapa nggak mau ngeliat gue dari tadi?” Salah satu pertanyaan yang sejak beberapa jam yang lalu terus berputar di otak gue. “Did I do something wrong that might upset you in a certain way?

Gue gemas bukan main akan tingkah perempuan satu ini, terlebih hari ini. Jadi yang gue lakukan setelahnya adalah menghentikan jari-jarinya yang tengah menari-nari di leher bagian bawah gue dan menggenggam tangannya.

Akhirnya ia mendongak.

Ariella has the prettiest eyes, mirip Mami. Ada sorot kecewa yang melelahkan di sana, lagi, seperti Mami.

“Hm?” gue melepas genggaman tanganhya dan beralih ke surai hitam panjang miliknya.

“Kenapa gue nggak ikut jadi korban di kecelakaan waktu itu ya, Ter?” ada getaran yang terlampau jelas di pertanyaannya. “Kan jadi nggak perlu ngerasain hidup tanpa siapa-siapa.”

You have me,” potong gue cepat. Matanya yang semula terpenjam kini menatap gue dengan kilat yang bahkan nggak bisa gue jelaskan. “You have me, Le.”

Persetan perasaan, di titik ini gue cuma mau dia bahagia tanpa merasa kalo dia nggak pantas untuk hidup setelah rentetan kejadian menyakitkan yang gue belum tau sepenuhnya tentang apa selain kecelakaan fatal yang merenggut nyawa kedua orangtuanya saat Ariella masih di bangku sekolah.

“Gue capek,” bisiknya sambil mendekat ke gue, kepalanya ia benamkan di dada gue sampai suaranya samar terdengar. “Mama Papa sama-sama anak tunggal, nenek kakek udah lama nggak ada, eyang kakung dan eyang uti juga. Gue beneran sendiri di dunia, Ter. Nggak punya keluarga sama sekali. Sakit banget.”

Nggak ada kalimat menenangkan yang bisa gue kasih sekarang, cuma pelukan yang gue harap bisa dia terima dan percaya kalo ada gue di sini – apapun hubungan kami.

“Lo sayang nggak sama diri lo sendiri, Le?”

Dia hanya mengangguk.

“Bagus deh, at least ada dua orang di dunia ini yang sayang sama lo.”

“Satu lagi siapa?”

“Gue.”


Sepanjang malam gue dan Ariella habiskan dengan mengobrol – membahas film favoritenya, menu Salieri terenak, sampai konspirasi bumi di masing-masing nama kami.

Sesekali kami hanya terdiam menatap satu sama lain, entah mencari apa di sana.

“Lo sedih nggak waktu Mami Papi pisah?” tanyanya sambil memainkan rambut gue yang kini bersandar di pahanya.

“Sedih, tapi lebih ke lega.”

“Waktu itu lo lari ke mana?”

“Ke Kagi, pernah ketemu kan kita waktu itu?”

“Yang pacarnya Anaya,” gue melihat Ariella yang tengah tersenyum. “Kalo nikah sama Kagi namanya jadi Anaya Sudiro-Riahi dong? Enak banget family name-nya double.”

“Lo mau juga nggak punya Riahi di belakang nama lo?”

Ariella tertawa. “Mau tapi sama Janitra.”

Gue mendongak dan meraih sisi kepala Ariella sebelum menariknya ke bawah dengan perlahan – menemui bibir gue. I don't know what's gotten into me I just wanted to kiss her.

You're loved, Le.” bisik gue saat tauran bibir kami terlepas.

Ariella hanya mengangguk sebelum memangkas jarak di antara kami.


I know how to love, Ter.

I just don't know how to believe I'm loved.

Les Misérables

Aku mengamati Terra yang tengah bersandar di pintu mobilnya dari kejauhan. He looks effortlessly attractive.

“Hai,” sapaku dalam jarak dekat yang seketika membuatnya mematikan puntung rokoknya yang masih setengah.

“Lama banget,” ucapnya sembari membuka pintu mobil untukku. “I'm starving to death.

Of what?

Pintu mobil yang sudah dalam keadaan setengah tertutup seketika terbuka kembali. Seblum Terra sempat mencondongkan tubuhnya ke arahku, sosoknya terlebih dahulu kudorong menjauh. Tawanya memenuhi basement kantorku yang sudah mulai kosong.

“Mau makan apa?” tanyaku tanpa ambiguitas.

Terra yang tengah fokus memperhatikan jalan menoleh ke arahku selama beberapa detik. “Your pick.

You.” godaku yang membuatnya terkekeh.

“Pikirin dulu aja sambil keluar tol,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. “Gue ikut aja pokoknya.”

Semenjak Papa dan Mama meninggal belasan tahun lalu, aku nggak punya kesempatan untuk memilih, in fact, aku nggak pernah punya pilihan. Ariella Setitibumi nggak boleh punya pilihan.

Ariella kecil ingi sekali mengikuti les ballet, namun Eyang Uti mendaftarkannya ke les piano. Ariella remaja ingin sekali berpartisipasi dalam tugas kelompok yang dikerjakan di salah satu cafe dekat sekolah, namun Eyang Uti menyuruhnya belajar seorang diri di rumah. Ariella dewasa ingin terbang jauh dari ibu kota, Eyang Uti diam seribu bahasa.

“Besok mau ke makam Mama Papa?” pertanyaan Terra membuyarkan lamunanku.

“Lusa aja,” mulutku berbicara namun pandanganku kosong menatap jendela – entah melihat ke arah mana. “Besok aku mau tidur seharian.”

Terra menarik rem tangannya saat kami sudah berada di parkiran salah satu gerai fast food favorite kamu yang berlokasi nggak jauh dari rumahnya.

Biasanya ia akan segera turun dan memesan langsung di dalam dibanding melalui drive thru. Namun kali ini ia memundurkan kursinya sedikit ke belakang dan melepas kacamatanya.

“Lagi dong, Le.”

“Apa?”

“Pake aku – kamu.”

Aku menaikkan satu alis, sebelum akhirnya tersadar akan ucapanku beberapa menit lalu.

“Nggak sengaja.” kilahku.

Terra menyisir rambut panjangnya dengan jari-jari lentik miliknya, yang entah mengapa membuatku menahan napas untuk beberapa detik.

I want to kiss him so bad right now.

Aku memejamkan mata sepersekian detik guna menetralisir hawa gerah yang tiba-tiba saja berkumpul di sekitar tubuhku. Nggak butuh waktu lama untuk membuat debar jantungku berdetak normal, dengan segera aku raih tas milikku yang berada di kursi belakang dan keluar mobil sebelum Terra menyadari perubahan warna wajahku yang semakin memerah akan ulahnya yang bahkan nggak ia sadari.

Aku berdiam di salah satu bilik toilet setelah selesai memesan makanan untuk dibawa pulang. Ponsel digenggamanku nggak berhenti bergetar – panggilan dan pesan singkat dari Terra. Entah apa yang aku lakukan di sini, duduk dengan kedua tangan mengepal seakan sedang merapal sebuah mantra – sebuah doa.

Tuhan, jangan lagi.

Bayangan Patra yang tengah tertawa meremehkanku yang tengah berdiri dengan toga menghiasi kepala seketika kembali terlintas. Diikuti dirinya yang berteriak di hadapanku degan segala tenaga yang ia miliki kala aku pulang terlambat di hari Eyang Uti menghembuskan napas terakhirnya di ranjang rumah sakit.

Tok ... Tok ...

Suara ketukan pintu menarikku kembali ke dunia. Ada titik-titik bekas air mata di bagian paha pada celana jeans-ku. Terdengar samar suara dua orang yang sedang berincang, walaupun samar, aku kenal salah satunya.

“Ter,” panggilku setelah mendapati Terra yang tengah berbicara dengan salah seorang pegawai kebersihan di depan wastafel toilet.

“Bener kan Mbak,” terra mengambil alih paperbag cokelat berisi makanan yang berada di tangan kiriku. “Makasih ya Mbak, selamat kerja lagi. Semangat.”

Sepanjang perjalanan pulang aku sama sekali nggak membuka mulut, pun Terra yang seakan paham dengan nggak mengajakku berbicara. Aku yakin sosok laki-laki di sebelahku memiliki banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya tentang perubahan sikapku yang tiba-tiba, well, walaupun ini bukan kali pertama.

“Mau makan atau bersih-bersih dulu?” tanya Terra pada akhirnya saat kami tiba di ruang tengah rumahnya.

“Mandi dulu,” jawabku dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki. “Kalo udah laper, makan duluan aja.”

Terra hanya mengangguk sebelum sosoknya hilang menuju halaman belakang rumah.


Terra is a good guy – in fact, he is way too good.

There's no way he would fall for somebody like me – somebody whose life as miserable as Victor Hugo greatest book.

Aku menggosok asal rambut basahku dengan handuk kala menyadari Terra yang tengah fokus pada iPad miliknya. I will never shut up about how attractive he is with that serious face while drawing whatever it is on the screen.

Aku berjalan menghampirinya di meja kerja dan menyadari setelan bajunya yang sudah berubah. “Udah mandi?”

“Udah, di kamar mandi bawah.” ia menoleh sekilas ke arahku dan kembali pada layar di hadapannya. “Udah mau makan?”

“Belum.”

Terra mengunci layar iPad-nya dan menoleh ke arahku yang kini berada tepat di sebelahnya. Tatapan kami terkunci selama beberapa detik sebelum ia memutuskan kontak dengan bangkit dan membawaku ke dalam pelukannya. Aku mengangkat kedua lenganku untuk balik memeluknya

Salah satu tangannya mulai bergerak mengusap punggungku dengan perlahan seakan satu gerakan yang salah dapat berakibat fatal. Sedangkan aku hanya merapatkan wajahku pada dada bidangnya, mendengarkan detak jantungnya yang tenang.

I miss them,” ucapku hampir berbisik.

I know.” Terra mengeratkan pelukannya pada tubuhku. “Gue bisa bantu apa?”

Kali ini giliranku yang mempererat pelukan pada tubuh tingginya. “Gini aja.”

There's no way he would fall for somebody like me.

But deep down I wish he would.

Say It

Setibanya gue di CGK sore tadi, hal pertama yang terlintas di kepala gue adalah menemui Ariella – well, it's always her though.

Menghabiskan hampir satu minggu penuh tanpa Ariella di sisi gue, somehow, membuat gue sadar akan satu hal, gue butuh dia. Bukan karena paras cantiknya yang kadang membuat gue mempertanyakan wujudnya sebagai manusia, melainkan, sialan, bahkan untuk menjelaskan alasan kenapa gue butuh dia aja gue nggak mampu.

“Kenapa lo potong rambut, Alterra?” adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulutnya ketika dia melihat gue di hallway apartemennya.

Gue mendorong tubuhnya yang berada di ambang pintu untuk masuk ke dalam, sebelum mencuri kecup di bibir merah mudanya. “I miss you too.

“Kan udah gue bilang jauh-jauh dari gunting.”

“Terus ni baiknya gue harus gimana, Ariella?”

Ia mendengus sebal, yang sayangnya malah mengundang tawa.

“Sini,” gue menepuk sisi kosong sofa di sebelah tempat gue bersandar. “Papi titip sesuatu.”

Papi nggak pernah suka berbicara dengan orang asing di luar masalah kerjaan, namun enam bulan yang lalu sewaktu Papi pulang ke Jakarta, gue mengajak Ariella untuk bertemu dengan beliau di salah satu restaurant. Semenjak itu, Papi sering kali menanyakan kabar Ariella, yang dengan senang hati selalu gue jawab sepenuh hati. Lagi pula, what's not to like about her?

“Papi titip apa?” ia bersandar di bahu gue, satu tangannya memainkan jam tangan di pergelangan tangan kiri gue.

Gue menoleh ke arahnya dan mendekat ke telingah kanannya sebelum berbisik, “Minta jadi mantu.”

Detik berikutnya satu pukulan cukup keras mendarat di dada dan lengan gue.

“Gue dibawain apa?” Ariella bangkit dan berjalan menuju koper besar di pojok ruangan. “Ini juga, tumben bawa koper.”

“Buka aja,” jawab gue masih sambil meringis akibat pukulan Ariella beberapa menit yang lalu. “Buat lo semua.”

Ariella is the prettiest when she is excited.

Seketika mata bulatnya berbinar begitu mendengar kalimat terakhir gue barusan. “Serius?”

Gue bangkit sembari menangguk.

Tanpa gue duga, Ariella menghambur ke pelukan gue yang membuat kami terjatuh ke sofa. Aroma moringa khas dirinya memenuhi indera penciuman gue.

This feels nice,” bisik gue seraya mempererat pelukan di tubuhnya. “Lima menit.”

Gue merasakan Ariella mengangguk di ceruk leher gue.

I miss you.” bisiknya pelan. “Jo nggak seru.”

Why so?

“Kalo nonton film banyak nanya. Makan snacknya juga berisik. Belum lagi hp dia bunyi terus.”

Gue terkekeh di balik surai hitam legam panjangnya. “Lebih seru sama gue dong?”

Ia mengangguk cepat.

Jo yang nggak seru atau lo yang sebenernya lebih mau sama gue, Le?

“Tapi,” Ariella menarik diri dari pelukan gue. “Lebih seru gue atau cewek yang lo post di Instagram lagi baca buku menu walaupun udah ada pastry sama kopi di meja?”

Ariella, it's you, it's always been you.

“Spesifik banget,” gue menjawil ujung hidungnya. “Did I smell jealousy?

You wish!

Saat ia akan bangkit dari pelukan gue, dengan cepat tubuhnya gue putar dan perlahan gue jatuhkan di sisi lain sofa, yang membuat dia sekarang berada di bawah gue.

It cost zero to admit,” ucap gue tepat di manik matanya. “Say it.

Ia membuang muka, namun dengan perlahan gue bawa paras cantiknya embali menatap gue.

Say it, Ariella.”

Bukan kalimat yang keluar dari bibir tipis miliknya melainkan kedua tangannya yang menarik kerah kemeja gue dengan cepat dan terburu-buru sebelum bibirnya membungkam milik gue secara bertubi-tubi.

Don't” bisiknya di sela-sela ciuman kami. “Don't put me second.

Never.