Happy Birthday, Keiramina. With love, Riahis.
Like I said, Keiramina loves surprises and fireworks.
Maka dari itu gue memutuskan untuk merayakan hari ulang tahunnya kali ini dengan sedikit lebih istimewa dari sekedar makan malam dan sebuah hadiah serta satu buket bunga, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kalau biasanya gue akan berada di sisinya tepat saat jam menunjukan pukul dua belas malam, malam tadi Keiramina harus menemani Mimam terbang ke Singapura yang membuat gue hanya bisa mendengar suaranya melalui sambungan telepon.
“Happy birthday, Keiramina.” ucap gue begitu panggilan telepon kami terhubung.
Gue mendengar dirinya mendengus di ujung sana.
“Kenapa?” tanya gue sambil terkekeh.
“I expect a fifteen minutes speech.” jawabnya kecewa dengan dahi yang sedikit berkerut, membuat gue terkekeh.
“No,”
“Wha – “
“You deserve more.” Nggak ada satu patah kata pun keluar dari mulutnya lagi. “Kamu besok landing jam delapan pagi jadi aku jemput sore aja ya? Sekitar jam lima? Nggak capek kan?”
“Nggak capek. Jam lima. Iya.”
Gue tahu dirinya tengah salah tingkah di ujung telepon, maka dari itu gue memutuskan untuk menyudahi obrolan kami dengan mengucapkan selamat ulang tahun sebelum akhirnya mengakhiri panggilan.
“Woi!” sebuah tepukan pelan berhasil membuyarkan lamunan gue. “Ngapain bengong di tangga.”
Gue menoleh dan mendapati Akarsana dengan baju putih polosnya yang penuh cat serta tangannya yang menggenggam berbagai macam kuas. “Kak Terra udah mulai?”
“Udah,” jawabnya sembari menuruni tangga, diikutin dengan gue di belakangnya. “Kak Kafka juga udah deket.”
Gue hanya mengangguk dan membiarkan Akarsana berjalan menuju halaman belakang rumah Oma, bergabung dengan Kak Terra yang tengah sibuk membuat salah satu dari sekian banyak kejutan untuk Keiramina hari ini.
Pandangan gue beralih ke ruang tengah yang dipenuhi suara teriakan dari dua orang yang tengah memasang dekorasi. Benar, hanya dua orang, namun kebisingannya seakan ada tiga kali lipat.
“Janitra mending lo minggir, gue nggak kelihatan.”
“Ya, pita silver harusnya di kanan bukan di kiri. Nggak becus lo ah.”
“Kagiiii! Janitra nih!”
Gue hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat dua kakak sepupu gue – Kaia dan Janitra, yang nggak berhenti mengganggu satu sama lain tanpa lelah. Membuat Kagi, yang tengah fokus dengan website salah satu wedding consultant ternama di Indonesia, meletakkan iPad serta melepaskan kacamatanya.
“Jan,” Kak Janitra yang sudah siap melemparkan perempuan di sebelahnya dengan balon, seketika mendengus pelan, membuat Kak Kaia tertawa puas dan menjulurkan lidahnya. “Tuh, Kama dateng, tuh.”
Sebelum gue sempat memproses kalimat Kagi, kedua orang tersebut sudah terlebih dahulu berlari menuju pintu depan. Detik setelahnya gue tersadar dan ikut berlari untuk menyambut sosok yang menjadi kesayangan kami dalam satu tahun terakhir.
Mobil sedan berwarna hitam yang baru saja terparkir rapih di antara mobil-mobil lain seketika di serbu dari segala arah. Ada Kak Janitra dan Kak Kaia serta gue dari pintu utama. Akarsana, Nebraska, dan Asa dengan baju penuh cat, tiba-tiba saja muncul dari pintu garasi yang tersambung dari halaman belakang.
“Pelan-pelan,” ujar Kak Kafka begitu melihat anak laki-lakinya dikerubungi oleh kami. “Nanti lecet.”
Bayi laki-laki berumur delapan bulan yang semula berada digendongan sang Ibu, dengan cepat berpindah ke pelukan Kak Kaia, membuatnya sedikit merengek kaget namun segera teratasi dengan candaan orang-orang di sekelilingnya.
Gue melihat Oma yang tengah berjalan menghampiri kerumunan kecil kami dengan bantuan tongkat kayu di tangan kirinya serta Kak Terra yang merangkul perempuan paruh baya tersebut di lengan kanannya. Dengan mata kelabu yang bersinar, Oma merentangkan kedua tangannya, bersiap menyambut cicit pertamanya ke pelukan.
Kak Kaia mendekatkan bayi laki-laki dalam dekapannya ke arah Oma dengan sedikit membungkuk lantaran tubuh tingginya yang menjulang. “Kama mirip Kak Kafka banget ya, Oma?”
Oma mengangguk dan mengalihkan pandangannya pada Kak Kafka yang tengah merangkul sang istri, keduanya terkekeh lantaran pernyataan yang kerap kali mereka terima sejak Kama lahir ke dunia, walaupun benar adanya kalau anak laki-laki dengan pipi tembam yang tengah tertawa melihat baju Kak Terra yang dipenuhi cat tersebut sangatlah serupa dengan sang ayah.
“Yang lain mana?” Oma menatap kami satu per satu. “Anaya? Embun? Ariella?”
Akarsana yang berada di sebelah gue seketika berdehem cukup keras, membuat gue dan Nebraska tertawa paham akan tingkahnya yang satu ini.
“Yuk, balik lagi yuk,” Akarsana tersenyum pahit sembari membalikan badan. “Balik kerja yuk udah jam tiga yuk keburu Keiramina dateng yuk.”
Gue dan yang lainnya hanya bisa tertawa mendengar alibi yang keluar dari mulut laki-laki bercelana pendek tersebut.
“Anaya masih di Bangkok, Oma.” jawab Kagi sembari membetulkan letak kacamatanya. “Kalo Embun di mana, Kar?”
“Di pelukan cowok lain!”
Gue refleks membalikan badan dan terbahak ketika mendengar jawaban Akarsana yang setengah berteriak, begitu pun yang lainnya. Sepupu gue yang satu itu, kisah cintanya nggak seindah parasnya.
“Kai,” panggil Kak Terra. “Udah 90%, mau lihat nggak?”
Satu sudut bibir gue terangkat, diikuti anggukan serta perasaan membuncah yang belum bisa gue jabarkan.
Kemarin sore saat gue dan Nebraska tengah merokok di balkon apartemen gue, ada satu hal yang kami bahas, yaitu nama. Sedari awal gue mengetahui nama lengkap Keiramina, sejak itu pula gue nggak pernah berhenti memanggil dirinya dengan nama lengkap, bukan karena menghindari panggilan yang sama dengan Keizyalara, namun, namanya terlalu cantik untuk nggak diucapkan dengan lengkap. Dari pikiran itu, Nebraska memberika satu ide yang gue pikir cukup layak untuk dijadikan sebuah hadiah yang sedikit berbeda.
“Karena lo suka sama nama dia, kenapa nggak lo minta tolong Kak Terra atau Kak Kafka bikin painting wajah dia dari namanya?” ujar Nebraska kala itu. “Paham kan maksud gue?”
Saat itu juga gue langsung menghubungi keduanya untuk menyampaikan keinginan gue akan ide buah hasil pemikiran Nebraska, yang dengan mudahnya di-iya-kan keduanya.
“Gimana?” tanya Kak Terra sewaktu kami berdiri di depan kanvas berukuran setengah badan gue. “Ada yang mau ditambahin lagi nggak?”
“Mau lo tambahin apa lagi emang, Kak?” gue terkekeh sembari menoleh ke arahnya. “Ini juga udah lebih dari cukup.”
Setelah menepuk pundak gue, Kak Terra beranjak dari tempat ia berdiri dan meninggalkan gue seorang diri di dalam bengkel melukisnya yang berada di sudut halaman belakang rumah Oma, tentu saja dengan gue yang masih terkagum-kagum akan hasil dari jari-jari mahirnya, dan hasil koreksi serta modifikasi oleh Kak Kafka.
Gue melipat kedua tangan di depan dada, mengamati wajah Keiramina yang tengah bertopang dagu secara di atas kanvas. Kadang gue maju satu langkah lebih dekat guna mengamati tulisan namanya yang menjadi kerangka dari keseluruhan lukisan, bagian ini hasil jerih payah Kak Kafka yang menghabiskan satu hari penuh di dalam bengkel. Gue nggak henti-hentinya bersyukur memiliki mereka, yang tanpa banyak pertmbangan akan dengan senang hati membantu – dalam segala urusan. Terlebih hari ini, ulang tahun Keiramina terakhir sebagai kekasih gue, karena kalau semua berjalan dengan lancar, musim panas tahun depan – persis sebelum hari ulang tahunnya, gue akan meminta dia untuk menikmati matahari terbenam di seluruh pejuru dunia, bersama, selamanya.
Terdengar menggelikan namun itulah kenyataannya.
“Kai,” Gue menoleh saat seseorang memanggil nama gue, mendapati Akarsana dengan wajah penuh konfeti dan glitter yang tengah menyengir lebar. “All done.”
Gue berjalan keluar dari bengkel dan kembali masuk melalui pintu halaman belakang rumah Oma, yang langsung disuguhi dekorasi sederhana nan cantik hasil kreasi kedua kakak sepupu gue yang tengah memasang wajah bangga di tengah ruangan, membuat gue mengacungkan kedua ibu jari tinggi-tinggi ke udara guna mengapresiasi hasil kerja keras mereka. Setelahnya gue meminta izin untuk menjemput Keiramina dan memberi waktu pada semua orang untuk bersiap-siap.
“Here comes the birthday girl,” Gue menghadiahi Keiramina pelukan singkat dan satu kecupan kecil di ujung bibirnya. “Happy birthday, Sayang.”
Keiramina menyibakkan seluruh rambut panjangnya kebelakang sebelum menarikku kembali ke dalam pelukan sembari berkata, “I miss you so much you don’t understand.”
Sepanjang perjalanan dari rumahnya menuju rumah Oma ia habiskan dengan menceritakan segala yang ia temui dan lakukan selama kurang lebih satu minggu kami nggak bertemu. Di mulai dari dirinya yang mengkonsumsi salad sayur tiga hari berturut-turut yang ia beli di sebelah hotel tempatnya menginap, hingga Mimam yang selalu mengajaknya ke SkyPark di sore hari. Keiramina juga nggak lupa membawa satu tas besar berisi buah tangan yang ia belikan untuk sepupu-sepupu gue, Oma, Ami dan Ayah, bahkan seluruh orang yang bekerja di rumah Oma.
Gue menghela napas lega saat mendapati mobil-mobil yang semula terparkir berantakan di halaman rumah Oma kini sudah menghilang masuk ke dalam garasi, Yasaskara did a great job. Lagipula gue nggak mau terlalu kelihatan jelas kalau akan ada acara kejutan untuk Keiramina hari ini.
“Oleh-olehnya biar di mobil aja, nanti minta tolong Pak Niam bawa masuk.” Gue mengulurkan tangan ke arah Keiramina yang dengan cepat ia amit sebelum gue bubuhin satu kecupan di punggung tangannya, membuat kedua pipinya bersemu merah.
Gue membiarkan Keiramina berjalan terlebih dahulu ke ruang tengah, seperti rencana utama, dan gue beberapa langkah di belakangnya karena harus menutup pintu utama.
“SURPRISE!”
“HAPPY BIRTHDAY, KEIRAMINA!”
“HAPPY BIRTHDAY, KIYA!”
Gue nggak bisa melihat ekspresi Keiramina, namun yang gue tahu pasti, kedua tangannya membekap mulut serta wajahnya yang bersemu semakin merah. Alih-alih berdiam diri memproses semuanya, perempuan cantik gue berseru kegirangan saat sadar ada sosok Kami si bayi kecil yang berada di antara kami, membuat dirinya semakin melompat dengan senang kala Kak Janitra mengayunkan Kama di gendongan Kak Janitra.
Hati gue menghangat melihat pemandangan ini, walaupun sangat disayangkan Ami dan Ayah serta Mimam, Pipap dan Abang nggak bisa hadir dikarenakan urusan penting masing-masing. Gue merangkul pinggulnya dan membawa ia mendekat ke meja dengan birthday cake yang sudah kami persiapkan, diikuti suara teriakan menggemaskan Kama saat melihat ornamen di sekitarnya yang berbeda dari biasanya. Setelah ia berhasil meniup api pada lilin yang entah sudah berapa kali ia coba lenyapkan dan sibuk memotong birthday cake-nya, gue dan Kak Terra berjalan mengendap-endap menuju bengkel tempat lukisan Keiramina disimpan.
“Hope she likes it.” ucap Kak Terra di saat kami melangkah masuk dan membuat semua orang terkejut.
“Happy birthday from us,” Gue melirik kanvas besar di sebelah gue dan Keiramina yang masih diam mematung secara bergantian. “Sini, buka.”
Keiramina mendekat ke arah kanvas yang masih ditutupi kain putih, beberapa kali ia menyapukan pandangannya ke setiap sosok yang berada di ruangan, yang tentu saja mereka tanggapi dengan senyuman. Setelah bertanya melalui sorot mata yang gue jawab dengan anggukan, Keiramina membuka kain putih tersebut dengan perlahan, detik berikutnya ia hanya mampu terdiam dengan kedua tangan membekap mulutnya.
“Thank you semuanya,” Keiramina nggak bisa lagi membendung air mata suka citanya. “I feel loved. Thank you.”
“Anything for our girl.” jawab Kak Kafka yang langusng disetujui oleh semuanya.
Gue membiarkan Keiramina bermain dengan Kama dan Ibunya serta Kak Kaia, selagi gue dan yang lain merokok di halaman belakang. Sesekali gue mencuri pandang ke dirinya yang tengah tertawa lantaran sosok Kama yang sudah dua minggu lamanya ia perbincangkan secara terus menerus akibat Kak Kafka yang selalu berhalangan hadir saat kami menghabiskan akhir pekan di kediaman Oma.
“Kai,” panggil Kak Kaia dari dalam. “Temenin nih Keiramina, kalo hilang susah carinya. Gue mau bawa Kama ke kamar atas.”
Gue tertawa sembari bangkit dari kursi dan melangkah masuk menghampiri Keiramina yang tengah berpamitan dengan Kama yang sudah mulai rewel.
“Kailan,” bisik Keiramina dengan sorot mata sayu yang masih nampak basah karena sisa air mata saat kami sudah berada di sofa ruang tengah. “Aku nggak tahu lagi harus bilang apa selain terima kasih. Ke semuanya.”
“Anything for our girl,” Gue kembali mengutip kalimat Kak Kafka. “Anything for my girl. Kak Terra sama Kak Kafka sampe nggak tidur bikin itu.”
“Oh ya?” Keiramina menatap gue dengan satu sudut bibirnya yang terangkat. “Kamu nggak ikutan bikin kalau malam?”
Gue menggeleng. Lagipula dua manusia itu hanya bisa bekerja dengan serius di malam hari dan nggak ingin diganggu oleh siapa pun. Jadi gue dan yang lainnya hanya membantu saat matahari sudah terbit.
“Berarti kamu harus gantian dibikin nggak tidur malam ini.”
“That,” Gue bangkit dari kursi. “Is something I look forward to.”
Dengan satu gerakan cepat gue menarik Keiramina agar bangkit dari kursi dan berjalan menuju pintu utama setelah berpamitan singkat kepada para sepupu yang tentu saja mereka tanggapi dengan tawa dan anggukan serta ucapan hati-hati.
Extra chapter available on : karyakarsa(dot)com(slash)paperlinesz(slash)i-love-you-i-mean-it