27.03

I don’t deserve Terra.

I don’t deserve his warm embrace rubbing my back at two am when I told him I couldn’t sleep. I don’t deserve his tell me, I’ll listen when I call him at six in the morning because I miss my parents. I don’t deserve his I’ll pick you up now when I was having a major mental breakdown at a random bar that I went to on a certain night. And I’m pretty sure that I don’t deserve his I love you too – that’s why I turned off my phone and blocked him right away, because I don’t want to see or read even hear him saying all those four words – because I don’t deserve it. I don’t deserve Alterra Mariano Riahi.

Aku berkali-kali menekan beberapa angka pada akses pintu unit apartemenku namun nggak ada sama sekali yang berhasil.

“Dua, lima, kosong, tiga.” Gumamku kala mencoba peruntungan untuk kesekian kali.

Akses ditolak. What the fuck.

Setelah hampir satu bulan tinggal di unit apartemen Sachi, malam ini aku memutuskan untuk pulang ke rumah.

Pulang dan rumah.

Aku terkekeh saat menyadari dua kombinasi kata mematikan tersebut. Seingatku terakhir kali aku mendengar dua kata tersebut saat Kaluna mengantarku ke parkiran rumah sakit – oh, that was Terra, with his come home soon.

Terra.

Seketika aku lemas dan memutuskan utnuk menjatuhkan diriku ke lantai, persetan orang-orang yang berlalu lalang di koridor, I’m having a mental breakdown right now.

Pesan singkatnya yang berisi pujian akan warna bajuku kala berkunjung ke rumah sakit, dirinya yang menyemangatiku entah untuk apa, dan satu kalimat terakhir yang seakan menyuruhku pulang, membuatku harus berdiam diri memproses semuanya di toilet rumah sakit tempat Rakagi dan Kaluna bekerja guna menetralkan emosiku, karena aku nggak bisa menemuinya – belum, nyatanya aku sengaja menghindarinya. As expected, he understand, well, he always understand. Just Terra being Terra.

“Le?” Aku mendongak. “Ngapain di situ?”

“I –“

Aku belum menyelesaikan kalimatku saat Terra mengulurkan satu lengannya untuk membantuku berdiri.

Yang tentu saja kuterima.

I’m sorry,” Terra mundur dua langkah seakan apa yang baru saja ia lakukan adalah salah satu tindakan kriminal yang nggak termaafkan. “Do you want –“

It’s okey.” Potongku sembari mengibaskan tangan. “Bukannya Asa di lantai atas?”

Terra mengangguk. “Kenapa nggak masuk?”

“Aksesnya ditolak terus,” aku mencoba menekan ulang angka demi angka untuk membuktikan ucapanku pada Terra. “See, ditolak lagi.”

Can I try?” is he doubting me? This is my apartement, ain’t no way he succeed while I don’t.

Sure.” Aku bergeser dan mempersilah dirinya untuk mencoba.

Click.

What the actual fuck.

Terra kembali mundur beberapa langkah. “Masuk gih.”

Aku masih diam di tempat. Bagaimana bisa ia berhasil pada percobaan pertama sedangkan aku – si pemilik sah unit apartemen ini, harus mencoba lebih dari lima kali dan berakhir nihil.

Aku menoleh ke arah Terra. “How?

“Apa?”

Aku mendekat ke arah pintu. “Bisa buka.”

“Kamu masukin angka berapa aja dari tadi?”

“2503, as usual.”

Terra terkekeh. “Sejak kapan ulang tahunku jadi 25?”

Wait, what?

“2703, Le,” melihat aku yang masih memproses semuanya, laki-laki dengan t-shirt putih dan celana jeans pendek di sebelahku menlanjutkan. “Kamu masukin angka berapa? Passcode-nya kan 2703.”

2703.

27 refers as his birth date, 03 refers as mine.

Damn it, Ariella.

“Oh iya,” aku menutup kembali pintu apartemenku dan mencoba menekan beberapa angka. “Tadi masukin 25. Tanggal gajian.”

Terra nggak tertawa, ia hanya menunjukan senyum tipisnya. Senyum tipisnya yang menjadi favoriteku.

Thank you, Ter.”

Anytime, Ariella.”

Nggak ada yang beranjak dari tempat masing-masing, yang ada hanyalah aku dan Terra yang tengah tenggelam dalam netra satu sama lain.

Rambutnya sudah mulai kembali panjang, kantung matanya lebih gelap dari kali terakhir aku bertemu dengannya, dan tubuhnya terlihat sedikit kurus. Aku bahkan lupa ia menenteng satu paperbag Salieri, mungkin untuk Asa – sepupunya yang baru pindah ke unit apartemen di lantai atas, thanks to Janitra yang beberapa minggu lalu memberitahuku.

Sebelum aku sempat membuka suara, Terra lebih dulu mengulurkan paperbag cokelat yang sedari tadi ia bawa. “Salmon Cheese Panini. Your favorite.”

For me?

I don’t see anyone else.” Ia terkekeh. “Yes, for you.”

Thank you.” ucapku tulus.

“Masuk gih,” aku mengangguk dan melangkah masuk. “Have a good rest, Ariella.”

Tanganku masih memegang handle pintu saat ia mengucapkan kalimat terakhirnya. Kuliat senyum tipisnya sebelum ia berbalik dan berjalan meninggalkanku.

Langkahnya semakin menjauh.

Dua unit sebelum ia mencapai lift di ujung koridor.

Satu jarinya menekan tombol lift – entah ke arah bawah atau atas.

Ku dengar samar suara denting pintu lift yang terbuka.

Fuck it.

“Al!” kakinya yang sudah setengah melangkah masuk ke area lift, ia tarik kembali. “Would you like to – “

Terra nggak membiarkan aku menuntaskan kalimat terakhirku karena senyumnya yang seketika merekah seakan tau apa yang akan ku ucapkan sebelum kudapati dirinya berlari ke arahku.


I’m not drunk,” bantahnya kesal saat gue mencoba untuk menjauhkan wajahnya dari wajah gue. “Aku seratus dua persen sadar.”

“Dua persen stand for what?” gue menatapnya kebingungan.

Your birth month.”

This girl is just ... irresistible.

Beberapa jam yang lalu gue memutuskan untuk membeli Salmon Cheese Panini favorite Ariella di Salieri, hanya karena gue terlalu merindukan sosoknya yang sudah kurang lebih satu bulan menghindari gue. Gue nggak berniat untuk mengunjungi Asa – sepupu gue yang baru pindah ke lantai atas di tower yang sama dengan Ariella, karena sebenarnya sudah dua hari Asa ada di rumah Oma, niat gue ke sini untuk sekedar melihat pintu apartemen Ariella, memangkas sedikit rindu. Beruntungnya, bukan hanya pintu yang gue temui malam ini, melainkan sosok si empunya pintu yang tengah duduk di lantai dengan tatapan kosong. Dan berakhir dengan kami di atas ranjang tempat tidurnya.

Kejadian malam ini mengingatkan gue pada kejadian beberapa bulan lalu sewaktu gue dengan kesal nggak berhasil masuk ke unit apartemen Ariella dan bersih keras bahwa angka-angka yang gue tekan sebagai passcodee sudah benar. 2507, berkali-kali gue menekan angka-angkat tersebut. Dan malam ini kejadian itu terulang kembali.

I’ve missed you.” Bisiknya di ceruk leher gue. “Too bad you refuse to kiss me.”

Kali ini giliran gue yang tertawa. “I’m afraid I can’t hold back, Le. It’s been weeks.

Then don’t?” Ariella mendongak. Mata sayunya menyambut gue begitu pandangan kami bertemu. “Don’t you miss me? Of course you don’t.”

Ariella bangkit dari pelukan gue namun dengan cepat berhasil gue tahan. Dengan satu gerakan gue memutar posisi tubuhnya yang kini menjadi di bawah gue. “I’ve missed you too.”

Ia tersenyum sinis seraya memutar bola matanya, membuat gue lagi-lagi tertawa.

Can we talk after this?” tanya gue sembari mengelus pipinya yang kini bersemu merah.

“Bukannya dari tadi juga udah ngomong?” Ariella being Ariella.

Gue tersenyum lemah. “You know exactly what I mean, Le.”

Alright.”

Gue memangkas jarak diantara kami tepat setelah ia menuntaskan jawaban terakhirnya. I've missed her so bad, all of her. Nggak butuh waktu lama untuk merubah ciuman pelepas rindu menjadi ciuman panas yang berhasil membuat kami sama-sama kehilangan akal sehat. Ariella mengecup bibir gue sekali sebelum menarik diri untuk meloloskan gue dari t-shirt putih yang melekat pada tubuh gue dan melemparkan ke sembarang arah, diikuti dengan sweater hitam tipis miliknya yang terpaksa harus gue lepas secara brutal – membuat seluruh kancing di bagian depan sweater-nya terlepas dan berserakan di lantai.