You're Loved
“What's on your mind?” tanya gue ke Ariella saat kami sudah berhadapan di tempat tidur.
Ariella nggak bergeming, tangannya masih bergerak bebas menggambar pola acak di leher dan tulang selangka gue. Kalo kalian tanya kenapa gue nggak merasa geli, jawabannya nggak – it's her habit, I'm getting used to it.
“Kenapa nggak mau ngeliat gue dari tadi?” Salah satu pertanyaan yang sejak beberapa jam yang lalu terus berputar di otak gue. “Did I do something wrong that might upset you in a certain way?“
Gue gemas bukan main akan tingkah perempuan satu ini, terlebih hari ini. Jadi yang gue lakukan setelahnya adalah menghentikan jari-jarinya yang tengah menari-nari di leher bagian bawah gue dan menggenggam tangannya.
Akhirnya ia mendongak.
Ariella has the prettiest eyes, mirip Mami. Ada sorot kecewa yang melelahkan di sana, lagi, seperti Mami.
“Hm?” gue melepas genggaman tanganhya dan beralih ke surai hitam panjang miliknya.
“Kenapa gue nggak ikut jadi korban di kecelakaan waktu itu ya, Ter?” ada getaran yang terlampau jelas di pertanyaannya. “Kan jadi nggak perlu ngerasain hidup tanpa siapa-siapa.”
“You have me,” potong gue cepat. Matanya yang semula terpenjam kini menatap gue dengan kilat yang bahkan nggak bisa gue jelaskan. “You have me, Le.”
Persetan perasaan, di titik ini gue cuma mau dia bahagia tanpa merasa kalo dia nggak pantas untuk hidup setelah rentetan kejadian menyakitkan yang gue belum tau sepenuhnya tentang apa selain kecelakaan fatal yang merenggut nyawa kedua orangtuanya saat Ariella masih di bangku sekolah.
“Gue capek,” bisiknya sambil mendekat ke gue, kepalanya ia benamkan di dada gue sampai suaranya samar terdengar. “Mama Papa sama-sama anak tunggal, nenek kakek udah lama nggak ada, eyang kakung dan eyang uti juga. Gue beneran sendiri di dunia, Ter. Nggak punya keluarga sama sekali. Sakit banget.”
Nggak ada kalimat menenangkan yang bisa gue kasih sekarang, cuma pelukan yang gue harap bisa dia terima dan percaya kalo ada gue di sini – apapun hubungan kami.
“Lo sayang nggak sama diri lo sendiri, Le?”
Dia hanya mengangguk.
“Bagus deh, at least ada dua orang di dunia ini yang sayang sama lo.”
“Satu lagi siapa?”
“Gue.”
Sepanjang malam gue dan Ariella habiskan dengan mengobrol – membahas film favoritenya, menu Salieri terenak, sampai konspirasi bumi di masing-masing nama kami.
Sesekali kami hanya terdiam menatap satu sama lain, entah mencari apa di sana.
“Lo sedih nggak waktu Mami Papi pisah?” tanyanya sambil memainkan rambut gue yang kini bersandar di pahanya.
“Sedih, tapi lebih ke lega.”
“Waktu itu lo lari ke mana?”
“Ke Kagi, pernah ketemu kan kita waktu itu?”
“Yang pacarnya Anaya,” gue melihat Ariella yang tengah tersenyum. “Kalo nikah sama Kagi namanya jadi Anaya Sudiro-Riahi dong? Enak banget family name-nya double.”
“Lo mau juga nggak punya Riahi di belakang nama lo?”
Ariella tertawa. “Mau tapi sama Janitra.”
Gue mendongak dan meraih sisi kepala Ariella sebelum menariknya ke bawah dengan perlahan – menemui bibir gue. I don't know what's gotten into me I just wanted to kiss her.
“You're loved, Le.” bisik gue saat tauran bibir kami terlepas.
Ariella hanya mengangguk sebelum memangkas jarak di antara kami.
I know how to love, Ter.
I just don't know how to believe I'm loved.