Les Misérables

Aku mengamati Terra yang tengah bersandar di pintu mobilnya dari kejauhan. He looks effortlessly attractive.

“Hai,” sapaku dalam jarak dekat yang seketika membuatnya mematikan puntung rokoknya yang masih setengah.

“Lama banget,” ucapnya sembari membuka pintu mobil untukku. “I'm starving to death.

Of what?

Pintu mobil yang sudah dalam keadaan setengah tertutup seketika terbuka kembali. Seblum Terra sempat mencondongkan tubuhnya ke arahku, sosoknya terlebih dahulu kudorong menjauh. Tawanya memenuhi basement kantorku yang sudah mulai kosong.

“Mau makan apa?” tanyaku tanpa ambiguitas.

Terra yang tengah fokus memperhatikan jalan menoleh ke arahku selama beberapa detik. “Your pick.

You.” godaku yang membuatnya terkekeh.

“Pikirin dulu aja sambil keluar tol,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. “Gue ikut aja pokoknya.”

Semenjak Papa dan Mama meninggal belasan tahun lalu, aku nggak punya kesempatan untuk memilih, in fact, aku nggak pernah punya pilihan. Ariella Setitibumi nggak boleh punya pilihan.

Ariella kecil ingi sekali mengikuti les ballet, namun Eyang Uti mendaftarkannya ke les piano. Ariella remaja ingin sekali berpartisipasi dalam tugas kelompok yang dikerjakan di salah satu cafe dekat sekolah, namun Eyang Uti menyuruhnya belajar seorang diri di rumah. Ariella dewasa ingin terbang jauh dari ibu kota, Eyang Uti diam seribu bahasa.

“Besok mau ke makam Mama Papa?” pertanyaan Terra membuyarkan lamunanku.

“Lusa aja,” mulutku berbicara namun pandanganku kosong menatap jendela – entah melihat ke arah mana. “Besok aku mau tidur seharian.”

Terra menarik rem tangannya saat kami sudah berada di parkiran salah satu gerai fast food favorite kamu yang berlokasi nggak jauh dari rumahnya.

Biasanya ia akan segera turun dan memesan langsung di dalam dibanding melalui drive thru. Namun kali ini ia memundurkan kursinya sedikit ke belakang dan melepas kacamatanya.

“Lagi dong, Le.”

“Apa?”

“Pake aku – kamu.”

Aku menaikkan satu alis, sebelum akhirnya tersadar akan ucapanku beberapa menit lalu.

“Nggak sengaja.” kilahku.

Terra menyisir rambut panjangnya dengan jari-jari lentik miliknya, yang entah mengapa membuatku menahan napas untuk beberapa detik.

I want to kiss him so bad right now.

Aku memejamkan mata sepersekian detik guna menetralisir hawa gerah yang tiba-tiba saja berkumpul di sekitar tubuhku. Nggak butuh waktu lama untuk membuat debar jantungku berdetak normal, dengan segera aku raih tas milikku yang berada di kursi belakang dan keluar mobil sebelum Terra menyadari perubahan warna wajahku yang semakin memerah akan ulahnya yang bahkan nggak ia sadari.

Aku berdiam di salah satu bilik toilet setelah selesai memesan makanan untuk dibawa pulang. Ponsel digenggamanku nggak berhenti bergetar – panggilan dan pesan singkat dari Terra. Entah apa yang aku lakukan di sini, duduk dengan kedua tangan mengepal seakan sedang merapal sebuah mantra – sebuah doa.

Tuhan, jangan lagi.

Bayangan Patra yang tengah tertawa meremehkanku yang tengah berdiri dengan toga menghiasi kepala seketika kembali terlintas. Diikuti dirinya yang berteriak di hadapanku degan segala tenaga yang ia miliki kala aku pulang terlambat di hari Eyang Uti menghembuskan napas terakhirnya di ranjang rumah sakit.

Tok ... Tok ...

Suara ketukan pintu menarikku kembali ke dunia. Ada titik-titik bekas air mata di bagian paha pada celana jeans-ku. Terdengar samar suara dua orang yang sedang berincang, walaupun samar, aku kenal salah satunya.

“Ter,” panggilku setelah mendapati Terra yang tengah berbicara dengan salah seorang pegawai kebersihan di depan wastafel toilet.

“Bener kan Mbak,” terra mengambil alih paperbag cokelat berisi makanan yang berada di tangan kiriku. “Makasih ya Mbak, selamat kerja lagi. Semangat.”

Sepanjang perjalanan pulang aku sama sekali nggak membuka mulut, pun Terra yang seakan paham dengan nggak mengajakku berbicara. Aku yakin sosok laki-laki di sebelahku memiliki banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya tentang perubahan sikapku yang tiba-tiba, well, walaupun ini bukan kali pertama.

“Mau makan atau bersih-bersih dulu?” tanya Terra pada akhirnya saat kami tiba di ruang tengah rumahnya.

“Mandi dulu,” jawabku dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki. “Kalo udah laper, makan duluan aja.”

Terra hanya mengangguk sebelum sosoknya hilang menuju halaman belakang rumah.


Terra is a good guy – in fact, he is way too good.

There's no way he would fall for somebody like me – somebody whose life as miserable as Victor Hugo greatest book.

Aku menggosok asal rambut basahku dengan handuk kala menyadari Terra yang tengah fokus pada iPad miliknya. I will never shut up about how attractive he is with that serious face while drawing whatever it is on the screen.

Aku berjalan menghampirinya di meja kerja dan menyadari setelan bajunya yang sudah berubah. “Udah mandi?”

“Udah, di kamar mandi bawah.” ia menoleh sekilas ke arahku dan kembali pada layar di hadapannya. “Udah mau makan?”

“Belum.”

Terra mengunci layar iPad-nya dan menoleh ke arahku yang kini berada tepat di sebelahnya. Tatapan kami terkunci selama beberapa detik sebelum ia memutuskan kontak dengan bangkit dan membawaku ke dalam pelukannya. Aku mengangkat kedua lenganku untuk balik memeluknya

Salah satu tangannya mulai bergerak mengusap punggungku dengan perlahan seakan satu gerakan yang salah dapat berakibat fatal. Sedangkan aku hanya merapatkan wajahku pada dada bidangnya, mendengarkan detak jantungnya yang tenang.

I miss them,” ucapku hampir berbisik.

I know.” Terra mengeratkan pelukannya pada tubuhku. “Gue bisa bantu apa?”

Kali ini giliranku yang mempererat pelukan pada tubuh tingginya. “Gini aja.”

There's no way he would fall for somebody like me.

But deep down I wish he would.