Devil Doesn't Bargain
Buat gue pribadi, hidup di dunia tanpa berbuat baik ibaratan ke bar tanpa menikmati alkohol. Konyol, sih, tapi balik lagi, ada banyak macam alkohol yang tersedia, bahkan setiap negara punya ciri khasnya masing-masing, sama halnya dengan kebaikan. Jadi, nggak semua orang yang ke bar untuk meminum alkohol, ada yang pesan koktail, minuman bersoda, bahkan air mineral, berbanding lurus dengan kebaikan yang manusia tunjukan — nggak semua orang bisa terima, justru banyak yang disalah artikan, membuat sebagian memutuskan membenci seseorang hanya karena perbedaan persepsi atas arti luas kebaikan itu sendiri.
Gue melihat lampu apartemen Sachi yang sudah menyala, setelah hampir setengah jam menunggu di parkiran bawah gedung dua puluh sembilan lantai ini. Ada sedikit kelegaan pada napas gue setelah melihat pesan singkat yang baru saja gue kirimkan terbaca olehnya, walaupun pada menit berikutnya gambar profil miliknya kosong.
Gue diblok.
Suara ketukan pada kaca jendela seakan menarik gue kembali ke dunia nyata. alih-alih menurunkan kaca, gue memilih untuk membuka kunci pintu agar sosok yang tengah berdiri di sebelah mobil gue bisa segera masuk.
Terra hanya terkekeh begitu duduk di kursi penumpang, gue jelas tahu kalau ia tahu. He’s one of the smartest in the family. Jadi gue hanya bisa ikut terkekeh dan menggeleng.
“So?” tanyanya dengan ambigu sembari mematikan ac mobil dan mengeluarkan satu kotak rokok dari saku celana pendeknya. “Congratulation on breaking someone’s heart for God-only-knows how many times.”
“Well,” Gue mengangkat kedua bahu. “Thank you?”
“Orang gila.” ucapnya sembari melempar kotak rokok yang dengan sigap gue tangkap dan keluarkan satu isinya sebelum menurunkan kedua kaca depan agar asap rokok kami berdua nggak mengepul di dalam mobil.
“Lo tau kan kamar cewek gue nggak jauh dari lift?” Gue mengangguk sembari menghembuskan asap dari nikotin yang gue hisap. “Tadi gue di kamar Lele ada gue sama Shaf. Nggak lama dia pamit pulang, keliatan buru-buru dan agak panit. I can tell.”
Satu sudut bibir gue terangkat, tahu jelas kemana obrolan ini mengalir. “Dan lo nggak denger bunyi lift padahal Shaf pamit pulang. I see. Dia ke kamar Sachi, karena kamar mereka satu lantai.”
“Smart ass.”
Gue dan sepupu-sepupu gue selalu terbuka akan satu sama lain, which made us a bad liar when it comes to each other. Di antara kami bersembilan, Terra adalah salah satu orang yang sulit untuk nggak berkata jujur padanya kalau kami berbicara, karena perbedaan umur kami yang nggak terlalu jauh, dibanyak kesempatan gue selalu menyempatkan diri untuk sekedar singgah ke rumahnya dan membahas apa pun yang kami ingin bahas. Kadang kalau Kaia sedang ada di Jakarta, dia akan senang hati bergabung dan menyampaikan sudut pandang dari sisinya sebagai perempuan, walaupun obrolan kami kerap kali berakhir dengan perdebatan dan sumpah serapah.
“I kissed her.” See, it’s hard to hide everything when it comes to him — and the others. “I kissed her and left.”
“Not literary left, right?” Terra tertawa, tawa sinis yang membuat gue kesal. “Jan, you wouldn’t do such a thing.”
And he was right.
Gue terkekeh sembari menghembuskan asap rokok dari dalam mulut. “Gue nggak mau bikin suasana makin nggak enak, karena gue tau dia pasti udah ngerasa, jadi gue cabut pas dia lagi mandi.”
“Go on,” lanjutnya sambil menghisap puntung rokoknya dalam-dalam, dan menghembuskan asapnya keluar dari dalam mulut seiring dengan ucapan, “I’d love to hear more.”
“Gue cek jadwal kereta api hari itu, sayangnya sisa jam malam. Ain’t no way she will take it. Jadi gue cek travel terdekat, ada di Cihampelas, gue make sure dulu kontak mereka dan masih ada sisa satu, langsung gue booking dan bayar. Info ke resepsionis buat kasih tau kalo ada perempuan yang tanya soal travel, saranin ke Ciwalk aja karena bisa beli di tempat.”
Terra berdecak setelah mendengar penjelasan cukup panjang dari mulut gue. Satu tangannya ia keluarkan ke luar jendela guna membuang abu rokok yang terlah setengah terbakar. Gue tahu kalau ia tahu bahwa gue tengah mempertimbangkan banyak hal. Di antara kami bersembilan, Terra memiliki emosi yang paling stabil dalam urusan percintaan, walaupun ia tetap sama bodohnya dengan yang lain- termasuk gue, namun beberapa hal patut gue acungi jempol.
“Kailan,” ujar Terra yang membuat gue mengerutkan dahi. “Lo sama kayak Kailan, well, sama kayak kita semua, sih.”
Gue mengangguk paham akan pembahasan dan alasan kenapa Terra menyamakan gue dan Kailan. Sepupu gue yang satu itu memang terkenal – at least di antara kami, sebagai sosok yang berpikir bahwa semua orang setuju akan langkah yang ia ambil, terdengar familiar, kan? Karena benar adanya, bahwa gue dan Kailan memiliki kesamaan dalam pola pikir tersebut.
“Setuju.” Memang gue bisa mengelak dengan cara apalagi selain membenarkan perlakuan gue?
“Sebenernya gue nggak perlu denger lanjutannya,” Terra terkekeh. “Udah kebaca. But please, go on.”
“Ya gitu,” Kali ini gue yang tertawa. “Gue ke Ciwalk dan beli kebab favorit dia, terus gue masukin ke kotak, sekalian gue tambahin roti dan cold-pressed juice favorit dia juga.”
“Dan lo tunggu travel dia jalan dari pinggir Ciwalk, dan lo ikutin travel dia dari belakang, dan lo juga jagain dia sampai pulang – to make sure she’s okey without her knowing.” potong Terra yang langsung gue benarkan. “That’s something Janitra would do.”
“That’s, that’s.”
Nggak berapa lama setelah gue dan Terra menghabiskan rokok kedua kami, ponselnya berdering, nama Ariella tertera di layar.
“Gue ke atas ya,” pamit Terra pada akhirnya. “Balik ke rumah Oma aja, kalo Sabian nggak jadi jemput Kaia, lo aja sama Akar.”
“Thanks, Ter.” Gue memukul pelan bahunya yang ditanggapi, lagi-lagi, oleh kekehan.
Gue kembali berdiam di balik kemudi, menimbang-nimbang untuk menginjak pedal gas atau tetap berdiam diri memerhatikan lampu kamar yang masih belum padam di atas sana. Pukul dua belas kurang tiga menit, gue memutuskan untuk keluar dan membeli satu kotak rokok di minimarket 24 jam milik apartemen ini.
“Ini aja, Mas?” Gue mengangguk saat pelayan kasir mengkonfirmasi barang yang gue beli sebelum menyelesaikan pembayaran dan mendorong pintu serta berjalan balik menuju parkiran.
Naas, saat gue mencoba melangkah keluar tanpa memperhatikan jalan, seseorang menubruk badan gue yang membuat ia jatuh pada detik berikutnya.
“Sorry,” Gue refleks berjongkok dan mendekatkan diri ke arah sosok perempuan –
“Gapapa, gapapa.”
Tangan gue yang terangkat di udara seketika berhenti setelah mendengar suara dari sosok di hadapan gue.
“Sach?” panggil gue lirih.
Ia menyibakan rambut panjangnya yang sedari tadi menutupi pandangan dan wajahnya.
Benar, sosok perempuan di hadapan gue adalah Sachi.
Extra chapter available on : karyakarsa(dot)com(slash)paperlinesz(slash)lavender-burning