The Riahi
“Relax,” Terra meremas pelan tanganku sewaktu kami tiba di salah satu rumah besar dengan gaya Eropa di pusat kota Jakarta – rumah Oma. “It's just a normal lunch.”
It is not just a normal lunch for me, Terra, it's the whole family rendezvous.
Kupandangi pantulan diriku di kaca mobil untuk kali terakhir sembari menunggu Terra mengambil sesuatu di bagasi mobilnya. Kemeja putih casual yang kupadankan dengan kulot high waist berwarna krem dan rambut panjangku yang kubiarkan tergerai.
“Udah cantik.” satu tangan Terra menyelinap di pinggangku yang kubalas dengan senyum kecil serta anggukan. He knows.
Salah satu hal yang kusuka dari Terra adalah dirinya yang seakan mengetahui perasaan yang sedang kurasakan. Seperti siang ini ketika aku mengiyakan ajakan makan siang rutin para cucu Riahi di kediaman Oma. Terra tahu aku gelisah, terhitung sejak kejadian Patra, aku seperti menarik diri dari dunia, enggan untuk bertemu siapa pun kecuali Sachi. Butuh keberanian dan niat khusus untuk percaya bahwa dunia nggak semenyeramkan itu, terlebih dengan adanya Terra dan sepupu-sepupunya yang selalu ada untuk membantuku dalam segala situasi dan kondisi.
“Oma,” Aku menyalami sosok perempuan paruh baya dengan rambut putih yang bertumpu pada satu tongkat kayu tua yang ia genggam di satu tangannya. “Sehat, Oma?”
“My Ariella,” hatiku menghangat mendengar sematan kata kepemilikan yang beliau ucapkan beriringan dengan namaku. “Sehat. Oma sangat sehat. Everything's good?“
Aku mengangguk mantap walaupun jauh di dalam hatiku ingin rasanya menangis.
“Mariano,” Terra bilang, Oma memiliki kebiasaan memanggil semua cucunya dengan nama tengah. “I miss you.“
“Kayak aku nggak pernah ke sini aja.” protesnya. “Baru juga minggu lalu.”
Keduanya terkekeh.
Oma mempersilahkan aku dan Terra untuk masuk ke dalam guna bergabung dengan yang lainnya.
“Kak Lele!” perempuan cantik dengan rambut panjang dan dress bunga berwarna kuning berlari kecil menghampiriku dari arah ruang keluarga. Aku hampir jatuh ke belakang ketika menerima pelukannya kalau saja tangan Terra nggak menahanku. “It's good to see you!“
Keiramina the sweetest. Kekasih dari adik sepupu Terra yang satu ini memanglah berhati bak malaikat.
“It's good to see you too.” aroma bunga peony khasnya menyeruak begitu aku memeluk balik tubuh kecilnya. “Kailan mana?”
Keiramina menunjuk pintu kaca besar menuju halaman belakang dengan dagunya. “Di gazebo belakang sama Kak Janitra. Yuk, aku juga mau ke sana.”
Kami bertiga berjalan menuju area halaman belakang rumah Oma, walaupun cuaca sedang terik, meja makan panjang yang sudah tertata rapih di tengah halaman, persis di sebelah kolam renang, nampak sejuk, mungkin berkat rerimbunan pepohonan yang hampir memenuhi area yang aku rasa sama luasnya dengan basement apartemenku.
“Le!” Aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Janitra dengan deretan gigi putihnya serta satu tangan yang melambai ke arahku. “Sini!”
Tiga laki-laki yang semula tengah duduk santai di gazebo kini menghampiri kami. Terra terlebih dahulu memeluk satu persatu adik sepupunya sebelum ketiganya bergantian memelukku. This is so heartwarming, I feel like I was in the family. I feel like I've known them forever.
“Embun mana, Kar?” tanyaku pada pemuda dengan t-shirt putih dan jeans biru yang sedang menghirup dalam-dalam rokoknya.
“Di atas sama Kak Iya. Lagi bikin nggak tau apa tuh buat cewek-cewek.”
Bersamaan dengan ponsel Kailan yang berdering, Bi Ratna – asisten rumah tangga kepercayaan Oma, memberitahu Terra untuk bersiap di meja makan panjang yang sudah di dekorasi sedemikian rupa.
“Kaia's duty,” bisik Terra di telingaku saat ia membantuku untuk duduk di salah satu kursi. “She loves white.“
Nggak berapa lama kemudian, Kaia dan Embun turun dari lantai atas dengan dua box besar, dengan cekatan Akar dan Janitra menghampiri mereka dan membantu untuk meletakan dua box besar tersebut di samping salah satu kursi.
“Good afternoon, everyone.” sapa perempuan cantik dengan tinggi menjulang tersebut, diikuti Embun yang melambaikan tangannya ke arahku dan Terra. “Such a pleasure to see you all.“
Aku ingat pertama kali bertemu Kaia di salah satu restaurant fine dining di Jakarta, sekitar satu tahun lalu, ia sedang bercengkrama dengan salah satu aktor papan atas ibu kota. Minggu setelahnya kudapati dirinya dengan laki-laki berwajah oriental di salah satu bar di bilangan Jakarta Selatan. Sewaktu kutanya Terra perihal satu-satunya adik sepupu perempuannya tersebut, Terra hanya menyebut satu nama diantara deretan sepupunya – Janitra, yang membuatku paham bahwa Alissaya Kaia Riahi is a female version of Janitra Gautama Riahi, fall off a bridge instead of fall in love with them because it'd hurts less.
Kaia is very thoughtful. Box besar yang ia dan Embun bawa dari lantai atas berisi paperbag berwarna putih, dengan senyum secerah matahari ia mengeluarkan satu persatu paperbag dari dalam box dan mengulurkannya ke masing-masing dari kami sesuai nama yang tertera di bagian pojok kanan atas.
“Kaia, thank you.” ujarku sembari mengangkat satu paperbag berwarna putih. “This is so pretty.“
Ia mengedipkan satu matanya sebelum melanjutkan aktivitasnya.
“Ah, akhirnya dateng juga.”
Here they are, the two oldest Oma's grandson with their gorgeous partner. It's an honour to see Anaya Sudiro in a person other than in a movie theater or billboard around the town. Also Kaluna Masitha with a normal floral dress other than her white coat and a stetoskop, along side with their partner – Kafka and Rakagi.
“Kak Nay this one's for you,” Kaia menyerahkan satu paperbag ke perempuan cantik dengan dress berwarna putih gading yang satu tangannya masih digenggam erat oleh sang kekasih. “Walaupun kamu brand ambassador mereka.”
Anaya Sudiro slash Indonesia's Sweetheart, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kekasih dari Rakagi – one of the best surgeon in town. Paras cantiknya yang terpampang nyata di beberapa ruas jalan utama ibu kota, belum lagi kehidupannya yang nggak pernah absen diliput portal berita dan wajahnya yang berseliweran di linimasa sebagai model papan atas nasional, bahkan internasional.
“Ini alasan gue nggak pernah beli parfum,” cibir Kafka yang baru saja menerima paperbag miliknya. “Thank you, Iya.”
Yang namanya disebut hanya memutar bola mata dan memeluk perempuan dengan rambut sebahu di sebelahnya – Kaluna.
“Le, apa kabar?” tanyanya begitu ia menghampiriku. “It's good to see you.“
Why is everyone telling me this. I'm about to cry my ass off.
“Never been better, Kal. Thanks to you.“
I believe that Kaluna is an angel in a human form and nobody tell me otherwise.
“Everyone's happy to see you,” bisik Terra. “Nggak gue doang.”
I feel loved, more than loved, I feel seen.
Oma bergabung setelah kami semua duduk di kursi masing-masing. Dimulai dari sambutan sederhana betapa bahagianya beliau akan acara bulanan yang selalu rutin terlaksana dan doa-doa yang selalu dirapal tanpa henti teruntuk semua orang yang berada di sini. Diantara canda dan tawa selama menikmati menu makanan Eropa yang disuguhkan di makan siang kali ini, selalu terselip pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan untuk beberapa nama.
Janitra sang target utama.
Sama seperti Kaia, beberapa kali aku dan Terra melihat figur tingginya di berbagai tempat, mulai dari bar, cafe, restaurant, sampai shooting range, tentu saja dengan perempuan yang berbeda. Di samping sifatnya yang bisa dibilang pemain handal, Janitra selalu punya batasan.
“I would never bring them to a family event.” tuturnya waktu itu. “What's stay outside, stay outside.“
“Nebraska Abyasa,” panggil Oma, seketika semua mata tertuju pada sosok tenang yang berada di ujung meja. “How's medical school so far?“
Ah, iya. Selain Rakagi, Nebraska juga mengikuti jejak sang Oma yang berprofesi sebagai dokter, walaupun kini beliau sudah nggak aktif karena faktor umur.
“Pusing, Oma.” Aska – panggilan akrabnya, terkekeh. “But I'll manage.“
Oma mengangkat kedua jempolnya yang diikuti Rakagi yang duduk persis di hadapannya. Sementara kami semua tertawa menyemangati.
“Embun, cucu Oma.” mendengar Oma memanggil nama Embun, Terra dan Janitra yang berada di sebelahku tertawa. “How's Kalingga treating you?“
“Same as usual,” Embun menunjukan senyum manisnya. “Gonna go find another best friend, Oma.“
“Oh My God,” Oma menutup mulutnya sebagai tanda keterkejutannya. “You have my full support, Dear.“
Tawa Terra dan Janitra semakin lantang, diikuti para sepupu lainnya. Membuat Akar mendengus sebal.
“Papi mami jadi urus berkas ke pengadilan?” Aku menoleh ke arah Oma. Kudapati sorot matanya mengarah ke laki-laki di samping kananku.
“Kak,” Kailan yang duduk di sisi kirinya menyenggol Terra yang sedang melahap sup labu dengan siku. “Ditanya Oma.”
Aku masih melihatnya mengunyah sisa roti yang sebelumnya ia celupkan di sup labu kuning pada mangkuknya. Kini semua mata tertuju pada Terra, sedangkan dirinya masih dengan santai meraih kotak tisu dan membersihkan mulutnya dari sisa-sia makanan.
“Jadi,” jawabnya singkat sebelum melanjutkan, “Sidangnya pertama kayaknya lusa. Mungkin cuma sekali, nggak tau sih aku nggak paham. Yang pasti nggak akan ada mediasi, karena buat apa juga.”
Aku nggak bodoh untuk mengetahui apa yang dibicarakan Terra – perceraian kedua orangtuanya. Yang membuatku merasa bodoh adalah, dirinya yang sama sekali nggak memberitahuku, atau aku yang terlewat nggak peka akan masalah yang ia tengah hadapi.
“Good,” Oma mengangguk. “They better off that way – officially.“
Keheningan pasca pembahasan tersebut buru-buru diisi dengan cerita Kaia yang baru saja menemukan salah satu fosil hewan purba yang menarik penasaran kami, walau aku tahu ia sedang berusaha mendistraksi.
Dan benar, Kaia adalah seorong Arkeolog.
“Le,” Aku menoleh dan mendapati Rakagi yang tengah berjalan ke arahku dengan dua gelas white wine. “You want some?“
“Sure.” Aku menerima uluran gelas darinya. “Anaya mana?”
“Tuh,” Ia menunjuk Anaya yang tengah sibuk meladeni pertanyaan-pertanyaan Janitra di ruang keluarga. “Biasa, minta rekomendasi next eligible target.”
Seketika aku menutup mulut agar gelak tawa yang kuciptakan nggak menjadi pusat perhatian.
“Judging by your reaction, lo kaget ya tadi sama pertanyaan Oma soal Terra?” Sial, terlalu tepat sasaran.
Aku mengangguk. “Enlighten me, Gi.”
Rakagi terkekeh dan menggeleng pelan. “Bukan hak gue untuk cerita.”
“He's struggling,” ucapku pelan, yang aku yakin Rakagi juga mendengarnya. Pandangan kami kini mengarah ke Terra yang tengah merokok di salah satu kursi taman dengan satu botol bir di tangan lainnya. “Yet he's ... “
“Le, I think if someone helps you and they're struggling with their own problems, that's not help,” pandanganku beralih ke Rakagi – yang masih memperhatikan Terra menghisap nikotinnya dalam-dalam. “That's love.“
Seusai berpamitan dengan Oma dan para sepupu yang lain, aku dan Terra berjalan ke arah Mercedes C Class miliknya yang terparkir bersebelahan dengan Jaguar F-Type putih milik Janitra. Seketika pikiranku kembali ke hari itu.
“Masuk atuh,” suara Terra membuyarkan lamunanku akan salah satu mobilnya yang ia serahkan ke Patra, yang bahkan sampai sekarang enggan ia bahas dengan lebih lanjut. “Malah bengong.”
Lima menit setelah meninggalkan rumah Oma, aku dan Terra sama-sama memilih untuk diam menikmati lagu-lagu yang diputar secara acak di radio. Aku tahu ia menungguku untuk bertanya terlebih dahulu perihal pertanyaan Oma tadi, namun niatku untuk bertanya kuurungkan ketika menyadari satu hal – Terra bukan tipe manusia yang dengan mudah berbagi cerita, kalau ia rasa bisa menyelesaikannya, ia akan dengan cekatan melakukannya seorang diri.
“Kaia is very nice,” ucapku pada akhirnya, nggak tahan akan keheningan kami yang sudah berlangsung terlalu lama. “In fact, this whole official-monthly-lunch-with-Oma merchandise thing is so thoughtful.“
“Kaia been doing that since she was fifteen,” ungkap Terra. “Dulu isinya masih scented candles lima puluh ribu-an, sekarang udah Jo Malone.”
Aku tertawa sembari mengeluarkan satu demi satu barang yang ada di dalam paperbag berwarna putih di pangkuanku. Parfum Chanel no. 19, Jo Malone scented candles, Drunk Elephant lip balm, Louis Vuitton Drops Mink Fur sleep eye mask dan yang terakhir bathbomb dari Lush.
“Kok Kaia bisa pas gini kasihnya,” tanyaku lebih ke diri sendiri sembari mengangkat kotak putih berisi perfume. “This can't be coincidence, kan?”
Terra menoleh ke arahku bertepatan dengan lampu lalu lintas yang berubah warna menjadi merah. “Kaia nanya ke gue satu minggu lalu.”
“Wait, what?” Aku mengerutkan kedua alisku nggak percaya. “*Kita bahkan belum ketemu – “
“I will always find a way, Ariella.” Satu tangannya terangkat untuk mengelus pipiku. “Satu minggu lalu kita belum ketemu, setelah hampir satu bulan pisah. But I'll always find a way, no?“
Aku mengangguk. “You will. You always will.“
Aku memajukan sedikit tubuhku ke arahnya guna mencuri satu kecup di ujung bibir Terra, membuatnya mengerang pelan karena lampu lalu lintas yang sudah berubah menjadi hijau. Sekali lagi, kuurungkan niatku untuk bertanya perihal masalah kedua orangtuanya, dan memutuskan untuk menunggu hingga ia bercerita.