Warm Chaos
Ariella duduk di pangkuan gue dengan posisi koala favoritenya, wajahnya ia sembunyikan di ceruk leher gue dengan kedua tangan yang terkepal di dada, sedangkan tangan gue sibuk mengusap punggung ringkihnya, sesekali membubuhkan kecupan-kecupan kecil di puncak kepalanya.
“Can the world slow down ... “ gumamnya dengan suara yang bisa dengan jelas gue dengar. “Slow down ... “
“Hang in there,” tangan gue beralih mengusap surai panjangnya. “I've got your back.”
Beberapa jam yang lalu sosok perempuan cantik yang berada di pelukan gue berhasil menceritakan rentetan kejadian pilu yang ia alami. Bohong kalau gue bilang gue nggak menahan rasa perih di dada ketika Ariella memulai ceritanya; Patra – sang mantan kekasih yang secara terus menerus menghantuinya dengan alasan balas budi atas tanggungan finansial yang ia berikan di masa-masa Ariella hidup seorang diri.
“Semenjak gue punya income, setiap bulan gue cuma ambil 30% dari keseluruhan gaji gue,” ada getar menyayat hati ketika dia mengucapkan kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir tipisnya. “Karena kantor gue pake dua rekening buat gajian – for the sake of tax, satu kartu ATM gue dipegang Patra – dengan nominal paling banyak.”
Di titik ini gue sangat berharap untuk datang lebih awal ke kehidupan Ariella. Mengetahui dirinya yang rela bekerja hingga larut malam, bekerja paruh waktu di akhir pekan, serta menjual beberpa aset peninggalan mendiang kedua orangtua, membuat gue lagi-lagi mengutuk diri – if only I could turn back the time, I would, wholeheartedly.
“Move in with me.” tanya gue yang membuat Ariella mendongak, mata bulatnya menatap gue seakan ia baru saja melihat hantu.
Gue nggak sedang bercanda – I want to protect her at all cost. Gue punya tempat tinggal yang layak, gue punya tabungan yang cukup, gue punya -
“Okey.”
Kali ini gue yang dibuat kaget oleh Ariella.
Ia bangun dan duduk di pangkuan gue sepenuhnya, kedua tangannya ia lingkarkan ke leher gue, seulas senyum terpatri di wajah cantiknya. Pada detik ini gue bahkan nggak bisa menggambarkan perasaan yang gue rasakan, entah sebuah kelegaan, bahagia, atau sebuah ketakutan. I've never done this before, gue nggak pernah mencoba untuk menawarkan hal apa pun di dunia ini walaupun gue bisa dan mampu. Hidup gue terlalu rumit – dengan segudang trauma dan kejadian buruk yang kian hari kian tamak mengambil alih isi pikiran. I'm not the type of person someone falls in love with, I constantly telling myself that life will get better -
“Ter, nggak bermaksud buat ganggu waktu bengong lo, tapi,”
Mendengar ucapan Ariella, pikiran gue seakan ditarik kembali. “Hm?”
“Can you kiss me?” ucapnya lirih. “I need distraction – koreksi, I need you.”
I caved in – I tasted her.
And I realized I had been starving for more – a little more than I should.
But then I met her, she match my energy – her aura is a warm chaos. And maybe, just maybe, I do love her.