One Minutes Desperately Planning and Unplanning

Her

Aku merasa seperti robot. Hari-hariku berjalanan seperti biasa, namun enam bulan belakangan ini terasa kosong – hampa. Upaya meningkatkan semangat hidup yang sudah aku lakukan sama sekali nggak membuahkan hasil, maksudku, upaya memeriahkan hidupku yang bak film noir ini dengan mengembalikan kehidupan gemerlapku sekali lagi, guna mencari validasi.

Sama halnya seperti saat aku menghabiskan beberapa malam bersama Malik, laki-laki dengan tulang pipi paling tegas yang pernah kutemui, dengan segala tutur lembut dan sikap manisnya. Sayangnya di pertemuan kelima kami, saat kedua tangan kokohnya mengusap lembut punggung telanjangku, bukan namanya yang aku sebut, melainkan nama laki-laki lain. Yang membuatku tahu bahwa selama ini, nyatanya, aku hanya mencari distraksi atas pikiran-pikiran yang kerap kali menguasai isi kepalaku, akan satu nama.

Aku ingat betapa memalukannya ketika Jorel memberiku kejutan dengan berdiri di depan pintu apartemenku dengan satu buket bunga yang berukuran hampir setengah badannya namun yang ada di pikiranku, sialnya, tetap laki-laki itu. Laki-laki yang mengelus puncak kepalaku saat kami berada di balkon lantai dua rumahnya, sesaat setelah aku bergumam bahwa ingin rasanya menerima buket bunga dari seseorang tanpa perlu meminta, yang membuat minggu pagiku seratus kali lipat lebih indah karena kedatangan delivery man dari kios bunga terbaik di Jakarta, lengkap dengan notes singkat agar hariku menyenangkan. Dan hal terbaik dari itu semua adalah, kenyataan bahwa saat aku mengunjungi rumahnya setelah beberapa kali ia mengirimkan aku bunga, terdapat deretan bunga kering dengan tipe yang sama dengan milikku.

“Biar gue tau kalo bunga yang gue kasih ke lo itu udah layu atau belum,” jawabnya sembari menyeruput kopi hitamnya saat kami tengah duduk di meja makan rumahnya malam itu. “Makanya gue beli dua, buat lo dan buat gue. Kalo punya gue layu, berarti punya lo juga. Jadi gue tau kapan harus kirim fresh flowers.”

To say I love him might sound cringe.

But I do love him.

And I miss him, like crazy.

Beberapa kali aku bertemu Rakagi atau Kaluna di rumah sakit saat aku tengah berkunjung ke poli jiwa di rumah sakit tempat mereka praktik, namun keduanya nggak pernah membahas atau bertanya perihal hubunganku dengan salah satu laki-laki tersebut. Bukan hanya Rakagi dan Kaluna, aku cukup sering berpapasan dengan Kailan dan Keiramina di Salieri, seakan tahu kondisiku dan sepupunya yang sedang nggak baik-baik saja, Kailan lebih memilih untuk bertanya perihal kesibukanku, sedangkan Keiramina akan membahas menu Salieri terbaru favoritnya. Dan yang terakhir, ada Janitra, seakan kompak dengan para sepupunya yang lain, saat kami bertemu di salah satu bar, ia hanya bertanya tentang kelas keramik yang belakangan ini aku gemari. Kalau boleh jujur, perlakuan keluarganya membuatku seakan dimengerti, menyenangkan rasanya memiliki orang-orang yang bertanya tentang kabar dan keadaanku, disamping situasi runyam yang tengah menimpa kami.

Bercengkrama dengan keluarga Riahi dalam kurun waktu yang nggak sebentar, kadang membuatku merindukan sosok keluarga, karena pada kenyataannya, aku sudah nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Hanya diriku sendiri.

Aku memutuskan untuk kembali mengambil waktu cutiku sepenuhnya untuk berkunjung ke makam Eyang Uti serta Mama dan Papa, sebelum akhirnya membeli tiket one-way ke Paris dan mengemasi barangku.

“Sach, gue titip apart ya.” ucapku saat sambungan telepon kami terhubung. “Kali ini seminggu aja kok, nggak lebih dan nggak kurang.”

“Berisik banget,” protes Sachi sembari sedikit berteriak karena suara bising bandara. “Pokoknya take your time ya, Le. Jaga diri baik-baik. Kalo satu minggu nggak pulang, gue sama anak-naka susul ke sana.”

Aku hanya tertawa mendengar candaan Sachi. Usai berpamitan dan menutup telepon, aku berjalan ke arah gate yang berjarak nggak jauh dari tempatku duduk.

Untuk kali pertama dalam waktu yang lama, akhirnya aku siap.

Aku ingat sewaktu kami pertama kali menetap di kota cinta ini, ketika Papa dipindah tugaskan oleh perusahaannya untuk mengambil alih kantor pusat yang berlokasi di jantung kota Paris. Ariella berumur tujuh tahun waktu itu hanya bisa mengangguk dan menggeleng, bahkan aku memerlukan waktu hampir satu tahun untuk beradaptasi dengan lingkungan baru yang asing. Seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan lingkungan sekelilingku, membuatku memutuskan untuk masuk ke jenjang pendidikan yang setara dengan sekolah dasar di sana. Senyum lebar Mama nggak berhenti terukir pada paras cantiknya ketika putri sematawayangnya beradaptasi jauh lebih cepat dari perkiraannya.

Paris bukan hanya destinasi wisata buatku, Paris adalah sebagian hidupku. Setiap sudutnya penuh dengan kenangan mama dan papa. Berbeda dengan kali terakhir aku ke Paris, beberapa tahun lalu, kali ini rasanya lebih, aku nggak tahu kata apa yang sesuai untuk mendeskripsikannya, mungkin lega?

Lega.

Kunjungan kali ini aku lakukan dengan sadar dan sepenuhnya perjalanan, bukan pelarian. Kalau kali terakhir aku menginjakan kaki di Paris dengan isi kepala yang berisik, berbanding terbalik dengan kali ini yang jauh lebih tenang. Permasalahan dengan Patra sudah teratasi, perang batin dengan diriku sendiri sudah termaafkan, serta menerima bahwa mama dan papa hanya bisa kurasakan kehadirannya dengan mata terpenjam, buatku semua itu cukup – jauh lebih cukp. Dan kenyataan bahwa Paris adalah kota di mana aku bertemu dengan dirinya untuk pertama kali.

Aku mengerjapkan mata ketika menyadari bahwa aku sudah terlalu lama berdiri di pinggir sungai Seine, menatap entah apa yang ada di hadapanku. Menit berikutnya aku memutuskan untuk menghampiri kedai kopi kecil di kanan jalan.

“Un café s'il vous plait.” ucapku sembari mengulurkan satu lembar uang.

Dengan cekatan sang penjual berbalik guna menyiapkan kopi panas yang kupesan. Seketika aroma kopi memenuhi indera penciumanku. Sebenarnya memesan kopi, atau minuman panas lainnya, di musim dingin seperti ini nggak terlalu membantu. Karena dalam hitungan menit, minuman panas tersebut akan dengan cepat berubah menjadi minuman dingin. Namun aku sedang nggak mau menegak wine yang kubawa di sling bag-ku.

Sang penjual mengulurkan satu gelas paper cup dengan asap yang mengepul di atasnya kepadaku. Aku tersenyum dan berucap, “Merci.”

Aku ingat beberapa minggu yang lalu, Keiramina memberitahuku tentang Salieri yang baru saja membuka cabang baru di Paris, tepatnya di Rue de L'Aubreuvoir. Aku menegak habis sisa kopi panasku yang sudah dingin dan melemparkannya ke tempat sampah, kemudian melirik jam di pergelangan tangan kiriku seraya merapatkan coat cokelat-ku sebelum berjalan ke arah Montmartre. Aku masih memiliki waktu kurang lebih lima belas menit sebelum jam menunjukan pukul 12 malam.

Berjalan menyusuri jalan Paris di malam hari mengingatkanku pada kali terakhir aku menginjakan kaki di kota ini, lebih tepatnya saat aku mencoba melarikan diri dari kebisingan ibukota dikarenakan beberapa hal tertentu yang menguji kewarasanku. I was helpless back then, and still. Mungkin, kalau semua baik-baik saja, aku sudah bahagia bersama satu laki-laki pilihanku. Atau, jika segalanya sesuai dengan rencana, aku mungkin sudah menimang bayi kecil. Namun sayag, bahkan di ujung umur 27 tahun ini, aku masih nggak benar-benar tahu apa yang aku mau – apa yang benar-benar aku mau.

Sekali lagi kulirik jam di pergelangan tanganku sembari merapatnya coat yang menyelimuti tubuhnya. Lima menit lagi, batinku. Seketika pikiranku bercabang akan hal-hal mustahil yang terlintas pada otakku. Tulisan besar Salieri di seberang jalan sudah terlihat, melihat Salieri seperti melihat rumah, entah apa definisi harfiahnya.

Tiga menit terakhir sebelum jam menunjukan pukul 12, aku harap Sachi, Razi dan Shafrina ada di sini.

Dua menit terakhir sebelum jam menunjukan pukul 12, aku harap mama, papa dan eyang uti ada di sini.

Satu menit terakhir sebelum jam menunjukan pukul 12, aku harap Teraa di sini, merayakan hari lahirku – yang beberapa tahun belakangan ini selalu kuhabiskan dengan dia, ada di sini.

Telat pukul 12 saat kakiku melangkah masuk ke Salieri, kedua mataku bertabrakan dengan sepasang mata hitam yang baru saja mendongak. Aku tahu ada setumpuk dosa yang sudah kuperbuat, dengan sengaja dan tanpa sengaja, namun mengapa Tuhan selalu memberiku kesempatan dengan mengabulkan doa terakhir yang bagiku, sangat mustahil?

The best things come when you least expect them to, no?


Him

Semanjak gue duduk di bangku sekolah dasar, Papi dan Mami ngga pernah absen bertengkar di rumah. Entah karena salah satu dari mereka yang melewati hari kurang baik, atau masalah kecil lain yang membuat keduanya saling tunjuk jari. Kalau di rumah sudah mulai berisik, Pak Budi – supir keluarga gue, inisiatif mengajak gue masuk ke mobil dan membawa gue mengitari komplek. Nggak, gue nggak kurang menerima kasih sayang dari keduanya, gue nggak merasa kehilangan sosok Ayah pun Ibu dalma keluarga lantaran Papi dan Mami selalu menghujani gue dengan seluruh kasih sayang yang mereka miliki. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, gue sudah mulai terbiasa dengan keributan mereka. Sampai pada akhirnya gue pulang ke rumah dalam keadaan kosong. bukan, bukan kosong tanpa barang, namun kosong seakan tak berpenghuni.

Rasanya asing.

Gue sudah mulai terbiasa dengan keributan yang disebabkan oleh adu mulut Papi dan Mami. Jadi, sewaktu gue mendapati keheningan di dalam rumah, rasanya hampa, seperti ada yang hilang. Siang itu, sepulang sekolah, ue dibawa Pak Budi ke rumah Oma.

“Terra kalau nggak mau di rumah, tinggal di kamar sini ya.” kata Oma seraya mengelus lembur rambut gue. “Ada Kafka juga di kamar sebelah.”

Saat itu mungkin umur gue masih 13 tahun, tapi gue nggak bodoh untuk segera memahami situasi yang sedang terjadi.

“Aku di rumah aja, Oma.” jawab gue yang membuat Pak Budi terkejut, pun Oma. “Terra gapapa di rumah walaupun nggak ada Papi sama Mami. Ada Pak Budi sama Mbak Ani.”

Sejak saat itu gue nggak pernah lagi lihat Papi dan Mami berada di satu ruangan yang sama. Masing-masing dari mereka akan mengunjungi gue di rumah kami secara bergantian. Gue nggak pernah bertanya apa alasan utama mereka nggak lagi tinggal di sini. Gue nggak pernah bertanya kenapa kita nggak lagi sarapan di meja makan bersama layaknya keluarga. Gue nggak pernah berani bertanya, karena nyatanya, gue takut mendengar jawaban dari keduanya. Hingga jauh setelahnya, belasan tahun kemudian, gue mendapat jawaban pasti.

An unhappy marriage.

Monsieur,” gue mengerjapkan kedua mata saat menyadari seorang pelayan yang mengantarkan pesanan kopi kedua gue malam ini. “Your coffee.”

Merci beaucoup.”

Sudah lebih dari satu bulan gue tinggal di Carlsbad bersama Papi, yang berarti sudah lebih dari satu bulan pula gue meninggalkan Ariella.

Ariella.

Nama yang nggak pernah bosan untuk gue ucapkan layaknya sebuah doa.

Kenyataan bahwa Papi dan Mami, setelah belasan tahun terjebak dalam hubungan nggak sehat yang merugikan satu sama lain, akhirnya, mencapai titik tenga – perpisahan. Secara agama dan negara. Bohong kalau gue bilang semua baik-baik saja, karena pada akhirnya gue harus menghadapi kenyataan bahwa gue nggak lagi punya orangtua yang utuh. Nyatanya juga, bertahun-tahun terbiasa dengan ketidakhadiran keduanya nggak membuat gue lapang berlapang dada ketika menghadapi sesuatu, yang mungkin, sedari dulu gue takuti.

Papi dan Mami pada akhirnya harus berpisah.

Sebuah keputusan yang baik.

Terbaik.

Namun ternyata gue nggak cukup kuat untuk menghadapi kenyataan pahit tersebut saat Oma melontarkan pertanyaan tentang perpisahan Papi dan Mami di acara makan siang bulanan keluarga kami, dengan Ariella di sisi gue yang menunjukan wajah terkejutnya, sama seperti yang lain. Gue bahkan nggak memberi dia kesempatan untuk duduk berdua dan berbagi kisah atau sekedar bertukar pikiran seperti yang kami biasa lakukan sebelumnya.

I suffered from missing her so badly.

And here I am, reminiscing our first meeting, a day before her birthday, in Paris.

Ariella, di antara perempuan-perempuan yang silih berganti mengisi kekosongan hati, adalah satu-satunya yang mampu berada di sisi, sampai buat gue mempertanyakan eksistensi diri sendiri. Harusnya sedari awal gue mengakui bahwa pesonanya mampu memikat gue yang sebelumnya bahkan nggak memperbolehkan perempuan manapun menempati tempat tidur kamar gue di rumah, yet I asked her to move in with me.

Ariella is full of surprises.

“Ayo, Ter.” katanya waktu itu sembari menarik ujung lengan kemeja gue dengan girang. “Nanti waiting list, males nunggu.”

Gue hanya mengekori dia menuju tempat yang bahkan gue nggak tahu apa, di mana, ke mana. “Iya, Ariella.”

Ariella menghentikan langkahnya di depan studio foto mall yang tengah kami kunjungi. Gue mengalihkan pandangan ke perempuan yang sedang tersenyum antusias di sebelah gue dengan bingung. “Tunggu di sini, I won’t be long.”

Kemudian dirinya menghilang di balik salah satu studio foto. Gue hanya bisa terkekeh sembari pasrah. Gue pikir dia akan meminta gue untuk mengabadikan kami berdua secara layak. Namun lagi-lagi gue salah.

“Yuk, gue udah beres.” Ariella menghampiri gue dengan satu lembar map merah berisi foto dirinya dalam berbagai macam ukuran. “Mau lihat nggak?”

Gue mengangguk dan mengeluarkan hasil foto miliknya dari dalam map. Mulai dari ukuran 3x4, 4x6, sampai yang membuat gue sedikit terkejut, foto close up dirinya dengan ukuran 4R. “Ini buat apa di cetak segede gini?”

“Lo tadi bilang gue cantik, jadi gue sekalian foto buat di funeral nanti.”

Just Ariella being Ariella.

And I miss her even more now.

Sebelum pergi meninggalkan Jakarta kemarin, gue sempat singgah ke rumah Oma. Beliau bilang, jangan sampai melewatkan kesempatan hanya karena hal-hal bodoh yang masih bisa dibicarakan. Pun saat gue berpamitan dengan Mami, beliau memberikan satu kotak beludru hitam berisi cincin dengan berlian kecil di tengahnya. Dan entah kenapa gue hanya memikirkan satu nama untuk nantinya gue sematkan cicin tersebut di salah satu jemarinya.

Lima menit sebelum hari berganti menjadi tanggal tiga desember.

Gue memutar-mutar kotak beludru hitam di bawah meja, merapalkan doa yang sangat sulit untuk dikabulkan.

Suara derit pintu Salieri membuat gue mendongak dan mendapati sepasang mata cokelat yang membuat gue sulit untuk memutuskan pandangan.

If this is a dream, please don’t wake me up.


Us

Kami hanya saling menatap tanpa ada satu patah kata yang keluar dari bibir masing-masing. Selain kalimat Tuhan Maha Baik yang nggak berhenti aku rapat dalam hati atas pertemuan mengejutkan ini.

Happy birthday,” ucapnya yang membuat satu sudut bibirku tertarik sebelum mendorong satu piring kecil berisi potongan red velvet dengan satu lilin kecil ke arahku. “Make a wish.

I want us.

Aku hanya tersenyum tanpa mampu mengutarakan permohonanku kepadanya, seperti ulang tahun sebelumnya. It’s good to see him. “Apa kabar, Ter?”

“Baik.” God, I miss him so much. “Kamu apa kabar?”

Jutaan kupu-kupu seperti menyerbuku di saat yang bersamaan, menimbulkan sensasi aneh yang membuatku meremas coat-ku di bawah meja. “Baik.”

I miss you.

Aku nggak berharap ia akan mengucapkan tiga kata tersebut secepat itu namun, “I miss you, too.

Sayang, obrolan kami harus di interupsi oleh salah seorang pelayan yang memberitahu bahwa Salieri akan tutup tiga puluh menit lagi. Dengan berat hati aku dan Terra bangkit, melangkah keluar menghadapi udara musim dingin Paris.

You okey?” tanyanya penuh khawatir. “Mau cari tempat lain?

Paris nggak pernah sehangat ini di musim dingin, Ter, asal kamu tahu. “I’m good.

Kami berjalan turun menyusuri Rue de l'Abreuvoir saat Terra berbisik kecil yang nggak sempat aku dengar suaranya.

“Kenapa, Ter?”

Detik berikutnya, langkah kakinya berhenti. Ia membalikan badannya ke arahku. “Maaf.”

“Aku pun.”

“Aku nggak bermaksud buat pergi gitu aja, I was so overwhelmed back then. Badanku ikut kaget. And it’s totally okey if you forget me.”

Aku mengangguk paham. Lagi pula, aku juga penyumbang setengah masalah yang sempat terjadi di hidupnya. Namun, “Nggak pernah satu hari pun aku nggak ingat kamu, Ter.”

Satu hal yang aku sadari, suara kami sama-sama bergetar.

Hypothetically, if you never saw me again. How would it make you feel?

Aku terkekeh di bawah syal yang membalut leherku sebelum menatapnya tepat di manik mata. “Nggak mau bayangin.”

Tanpa memutuskan pandangan, ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan satu kotak kecil berwarna gelap, dengan perlahan ia membuka kotak kecil tersebut dan mengeluarkan satu benda berkilau.

No.

Let's spend the rest of our lives together.” ucapnya masih dengan suara yang bergetar. “I’m not proposing you, not yet. Let’s call it promise ring.

Aku masih terdiam memandangi cicin dengan berlian kecil di tangan Alterra. Lututku lemas seperti nggak memiliki tulang. Aku masih memproses kalimatnya, maksud dari kalimatnya.

“Ariella,” aku mendongak, mendapati kedua matanya yang menatap mataku hangat. “It’s okey to say no.

And how can I say no to you?

Satu anggukan yang membuat senyum laki-laki di hadapanku merekah. Ia meraih tangan kiriku sebelum menyematkan satu cicin di salah satu jemarinya.

I still clearly remember the first feeling I felt when I first started talking to him and I don’t want us to be strangers again. And this is what I've been looking for.

And everything comes to an end, right?

ALTERRA : Everything Comes To An End book version soon on Lavina Publisher.