a lie by noon
“Hey,” sapanya dengan senyum saat aku memasuki mobil miliknya. “Lama nggak nunggunya?”
Aku menggeleng seraya memasang sabuk pengaman, sebelum akhirnya menoleh sepenuhnya ke arah laki-laki di sebelahku. Janitra, dengan sweater abu-abu bertuliskan salah satu institusi pendidikan ternama di Amerika – which he went to, menyisir rambutnya yang sudah panjang dengan jari-jari tangannya yang bebas dari kemudi. Aroma cedar wood seketika memenuhi indera penciumanku. He is indeed God’s favorite.
“Acara apa di rumah Rakagi?” tanyaku saat mobilnya sudah berjalan menyusuri jalan Dago.
“Ami ulang tahun,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. “Ibunya Rakagi.”
Aku hanya manggut-manggut dan memutuskan untuk menikmati jalanan di luar kaca mobil. Bandung sore ini terlihat lebih ramai dari hari kemarin, atau mungkin karena aku terlalu lama menghabiskan waktu di dalam ruang meeting dua hari ini dan nggak memiliki kesempatan untuk menikmati kota yang diromantisasi banyak orang.
“How was the project?” Janitra kembali membuka suara, membuatku kembali menoleh ke arahnya.
Aku mengangkat kedua bahu. “I’ve done my best, semoga presentasi gue tiga hari ini cukup untuk bikin client tanda tangan.”
“You’ll ace it,” Ia mengulurkan tangan kirinya dan menepuk pelan sisi kanan bahuku. “You’ll always ace it.”
Hubunganku dan Janitra nggak se-spesial it, kalau kalian ingin tahu. Kami hanya bertemu satu atau dua kali dalam kurun waktu satu bulan, itu pun sering kali dalam kesempatan yang nggak terduga. Seperti saat aku dan Ariella memutuskan untuk menikmati tequila di salah satu bar favorit kami di Senopati, ada Janitra di sana – yang tentu saja dengan salah satu perempuan yang wajahnya kerap kali muncul di laman Instagram majalan papan atas ibu kota. Bukan hal yang mengejutkan melihat Janitra dikelilingi perempuan-perempuan, justru kalau mendapati dirinya seorang dirilah yang membuatku bertanya-tanya, seperti beberapa waktu lalu saat kudapati dirinya duduk seorang diri di sudut ruangan salah satu bar di Sudirman – yang membuat kami sedikit lebih sering bertemu setelahnya.
“Yang enak di sini apa, Jan?” tanyaku sambil membolak-balik buku menu saat kami sudah berada di salah satu kursi di area outdoor Lawangwangi.
“Enak dilihat? Gue.” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari buku menu.
Aku memutar kedua bola mataku. “Enak dimakan.”
“Gue juga.”
Akhirnya aku mendongak seiring laki-laki di hadapanku yang ikut mendongak dan terkekeh.
“Ini kayaknya enak,” Janitra mengarahkan jarinya ke salah satu menu. “Mau coba nggak?”
Aku tahu Janitra gemar mencoba hal baru – secara harfiah dan kiasan, berbanding terbalik denganku yang lebih memilih pilihan aman dalam segala kondisi dan situasi. Jadi, aku memutuskan untuk mengarahkan jariku ke salah satu menu pasta di sana. “Gue ini aja deh, Jan.”
“Payah,” decaknya kecewa mengetahui aku, yang lagi-lagi, tetap di zona nyamanku. “Gini deh, lo pilih buat gue, gue pilih buat lo. Okey?”
Aku menimbang-nimbang tawaran Janitra. Laki-laki di hadapanku ini memang membuat segalanya rumit dengan menjadikannya pilihan. Ini kali kedua setelah pertemuan kami di bar satu bulan lalu, kala ia mengernyitkan dahi melihat aku yang dua kali menikmati tequila favoritku tanpa mengubah pesanan setelah menandaskan gelas pertama, yang kemudian membuat Janitra menawarkan untuk memesan salah satu racikan bartender – which I realy love, tanpa rasa menyesal karena sudah mengiyakan tawarannya.
“Okey, deal.”
Setelah menunggu setengah jam, makanan kami datang. Aku dapat melihat jelas seringai Janitra saat satu piring Penne Creamy Spinach dengan shrimp dan irisan beef bacon terhidang di hadapanku.
“Not so bad.” Aku mengangguk-angguk melihat hidangan di hadapanku yang menggugah selera, membuat perutku seketika nggak sabar untuk menyantapnya.
“Ini juga lumayan,” Janitra memutar satu piring Nasi Bali lengkap dengan sate lilit di hadapannya. “Looks good.”
Kami menikmati makan siang yang sudah terlalu jauh dari jadwal dengan suara canda tawa anak-anak muda di berbagai sudut Lawangwangi. Seperti lima perempuan yang duduk di sebelah kami, yang kutaksir usianya baru menginjak 18 tahun, yang membicarakan hubungan nggak jelas yang akan mereka hadapi setelah lulus SMA – membuat Janitra terkekeh akan polemik hidup anak muda yang hanya sebatas jarak dengan sang pujaan hati. Atau salah satu pasangan yang enggan bertukar tempat di salah satu spot foto utama cafe ini, yang aku dan Janitra asumsikan hasil fotonya belum memenuhi ekspektasi mereka untuk diunggah di laman media sosial keduanya, membuat geram beberapa orang yang sudah sedari tadi menunggu giliran mereka.
“Yuk,” Janitra bangkit dari kursinya saat menyadari langit yang sudah berubah menjadi jingga. “Takut macet.”
“Thank you,” ucapku saat Janitra terlebih dahulu mebayar tagihan pesanan kami sore ini. “I’ll treat you next time.”
“There will be a next time, huh?” seringainya kembali muncul saat ia memasukan kartunya ke dalam dompet.
“If you’re lucky enough.”
“I’m always lucky, though.”
Lagi-lagi aku memutarf kedua bola mataku kesal seraya merapatka cardiganku. Entah mengapa Bandung selalu lebih dingin saat malam menyapa.
Janitra menginjak pedal gas menuju arah Pasteur saat hujan perlahan turun membasahi jalanan yang kami lewati. Sedari masuk mobil tadi, aku dan Janitra sama-sama nggak mencoba memulai obrolan, pun sudah bukan hal aneh kalau kami hanya berdiam diri dengan isi pikiran masing-masing.
“Macet banget sial,” umpat Janitra melihat deretan mobil yang nggak bergerak di hadapannya. “Laper lagi.”
Aku menoleh ke arahnya dengan wajah terkejut. “Lo tadi makan satu piring ditambah punya gue gila.”
“Kalo hujan dan macet kan bawaannya laper, Sach.”
Aku hanya menggelengkan kepala nggak percaya atas kapasitas perut laki-laki satu ini. sialnya, nggak berapa lama kemudian, perutku ikut berbunyi, yang mengakibatkan Janitra meledekku habis-habisan.
“Pada puter balik masa, Jan.” bisikku saat kami masih di tempat yang sama selama hampir satu jam. “Masuk tol aja belum ini.”
“Lebih pilih buat extend kayaknya mereka,” sambungnya asal. “Extend juga apa kita, Sach?”
“Yuk.”
Aku rasa aku sudah gila? Atau berada bersama Janitra membuatku gila? Atau memang nyatanya aku nggak pernah waras? Entahlah.
“Kalo ke arah hotel lo tadi, kayaknya sama aja macetnya.” Janitra membelokan kemudi mobilnya ke arah jalan lain yang tadi nggak kita lewati. “Coba cek ke Riau aja kali ya?”
Ini kali pertama aku menghabiskan waktu dengan Janitra di luar bar atau tempat remang-remang lainnya di Jakarta, kali pertama aku akan menghabiskan satu malam dengannya secara sadar, nggak dengan aku yang limbung nggak sadarkan diri di ujung malam. Namun entah mengapa, aku percaya dengannya, aku percaya kemana ia membawa laju mobilnya untuk kami menemukan tempat beristirahat malam ini. Aku percaya Janitra, terlepas dari perlakuan buruk yang selalu aku dengar dari banyak orang tentang betapa mengerikannya berada di sisi laki-laki dengan tinggi menjulang tersebut.
“Let’s go,” Ia menarik rem tangan mobilnya saat kami sudah berada di basement salah satu hotel bintang 4 di jalan Riau. “Semoga ada kamar kosong.”
Entah dewi fortuna sedang berpihak padaku – pada kami, secara kebetulan kamar dengan tipe twin bed masih tersisa satu, dengan segera Janitra mengulurkan kartu berwarna hitam miliknya untuk proses pembayaran. Nggak butuh waktu lama untuk kami mendapatkan dua keycard dan seorang petugas yang memandu kami menuju lift untuk naik ke lantai tempat kamar kami berada.
“Nice, nice,” ucap Janitra lega saat melihat dua tempat tidur besar yang sesuai dengan penjelasan petugas resepsionis. “Lo mau di deket jendela atau nggak?”
“Boleh.” jawabku sambil menaruh koper kecil berisi segala keperluanku di salah satu sisi kamar sebelum mengeluarkan beberapa barang dari sana. “Gue mandi duluan ya, gerah banget.”
Sekilas aku melihat Janitra yang tengah berdiri di depan tv mengangguk sembari melepas sweater miliknya yang kini menyisakan t-shirt putih polos yang melekat pada tubuhnya.
Saat keluar dari kamar mandi, hidungku dimanjakan dengan aroma makanan yang seketika menggugah rasa laparku. Aku melangkah berjalan ke Janitra yang tengah sibuk di meja ujung ruangan.
“Beli apa?” tanyaku saat sudah berdiri di sebelahnya. “Bubur?”
Janitra mengangguk dan menggeser satu mangkuk bubur ke hadapanku. “Bubur Bejo, bubur paling enak di dunia.”
“Najis lebay banget.” cibirku melihat tingkah konyolnya terhadap sesuatu yang ia suka. “Mandi sana, Jan. Nggak lengket apa.”
Janitra menggumamkan sesuatu yang aku nggak jelas tahu apa artinya dikarenakan mulutnya yang penuh dengan bubur. Ia berjalan ke arah tempat tidurnya dan meletakkan mangkok buburnya di tengah kasur, sedangkan satu tagannya meraih ponsel miliknya yang tengah ia charge. Naas, bubur tersebut tumpah mengotori kasur karena gerakan tubuhnya yang terlalu brutal di sana.
“Makanya,” aku tertawa melihat raut wajahnya yang kecewa melihat makanan favoritnya terbuang sia-sia. “Kalo makan tuh jangan di kasur.”
Janitra mengumpat walaupun tangannya dengan telaten membersihkan tumpahan bubur di atas kasurnya, membuatku nggak berhenti tertawa.
“Bagi dua sini, Jan,” tawarku cuma-cuma, karena pasti aku nggak akan bisa menghabiskan satu prosi besar bubur ini sendiri, belum lagi topingnya yang berlimpah. “Gue nggak akan habis sendirian.”
Namanya bukan Janitra kalau porsi makannya nggak segunung. Ia berakhir menghabiskan buburku dan memesan room service. Yang lebih aneh dari kegemarannya makan, aku nggak melihat sedikit lemak di tubuhnya. Dunia benar-benar nggak adil, saat aku harus tetap menjaga pola makan dan work out di saat yang bersamaan, laki-laki di sebelahku ini mengkonsumsi alkohol serta makanan cepat saji dengan porsi berlimpah tanpa takut akan berat badannya yang naik drastis.
“Gue tidur sama lo ya, Sach.” Tiba-tiba saja Ia menyelinap di balik selimut saat aku tengah fokus dengan ponselku. “Masa gue tidur di atas bekas bubur.”
“Lagian sih banyak gaya.” ujarku kesal namun tetap bergeser agar ia mendapatkan cukup tempat untuk berbaring.
No, there no was no butterflies, no fireworks, nothing.
Hanya kehangatan saat lengan atau kaki kami yang nggak sengaja bersentuhan.
“Good night, Sach.”
“Good night, Jan.”
I woke up with his one hand around my waist.
Aku nggak terlalu ingat bagaimana pergerakan tidur kami, yang aku tahu hanya satu tangannya yang perlahan berada di pinggulku, setelah ia membenarkan posisi selimut pada kaki kami yang berantakan. Aku mendengar dengkuran halusnya di belakangku, ia masih tidur. Satu tanganku terulur meraih ponselku yang berada di meja nakas sebelum tempat tidur, masih pukul delapan pagi. Jadwal sarapan dimulai pada pukul enam sampai sepuluh, kami masih memiliki waktu dua jam. Aku memutuskan untuk berbalik menghadap Janitra yang semula kupunggungi sepanjang malam. Ia sedikit mengerang namun kembali tidur, dengan tangannya yang masih berada di posisi yang sama. Dalam jarak sedekat ini, aku mengamati tiap lekuk wajahnya, bulu mata panjangnya yang lentik, hidung bangirnya, bibir tipisnya, dan segala pesonanya yang bahkan bisa kurasakan dalam keadaan setengah sadar karena rasa kantuk yang masih menyelimutiku.
“Sach,” Aku mengerjapkan mata ketika mendengar bisikan lirih Janitra. “Jam berapa?”
“Jam delapan lewat.”
Perlahan kedua matanya terbuka, bertemu dengan kedua mataku yang sedari tadi nggak mengalihkan pandangan dari dirinya. Hell, this is the perfect position to kiss, I’m not gonna lie. Dalam satu gerakan pelan yang pasti, tangannya yang berada di pinggulku ia tarik agar aku lebih mendekat – merapat pada tubuhnya. Aku gagal mempertahankan fokus pandangku pada kedua matanya, karena pada kenyataannya, kini pandanganku turun pada bibir tipisnya.
“I don’t do kiss, it’s too intimate, and you know that right?” tanyanya nyaris berbisik, yang segera kubalas dengan anggukan. “But, on a scale of one to ten, how bad – “
“Eight.”
Ia tersenyum sebelum memangkas jarak di antara kami, bibirnya menyapa bibirku dengan perlahan, bahkan aku masih memproses semuanya selama beberapa detik sebelum pada akhirnya ikut memejamkan mata. Ada banyak pertanyaan berputar di kepalaku, salah satu pertanyaan terbesarnya adalah, bagaimana bibirnya begitu lembut melumat bibirku, bagaimana lengannya perlahan bergerak dari pinggulku menuju pipiku, bagaimana ia begitu hati-hati menyentuhku seakan satu gerakan yang salah mampu menghancurkanku berkeping-keping.
Saat lidahnya berhenti di dalam sana seakan menunggu jawaban, aku menyambutnya dengan senang hati tanpa tekanan. Tanganku yang diam kini ikut bergerak meremas pelan kaus bagian depan miliknya.
Detik berikutnya ia berhenti.
Janitra berhenti menciumku.
Ia menjatuhkan wajahnya pada bantal yang menopang kepala kami, namun segera kembali menoleh ke padaku saat tanganku berpindah ke lengannya. Ia mengecup pelipisku sebelum bangkit dari kasur.
“Yuk sarapan.” ajaknya seraya meraih sweater miliknya yang tergantung di lemari pakaian, kemudian meraih dua pasang sandal hotel yang tersimpan di rak bagian bawah untuk dirinya dan diriku.
Aku yang masih terkejut dan kebingungan dengan segera turun dari kasur, mengekori Janitra yang terlebih dahulu berjalan keluar kamar.
He is completely a wholhe new different person at this point.
Kami menghabiskan sarapan pagi dalam diam, pun ia hanya melahap satu mangkuk kecil cream soup dan dua lapis roti. Nggak ada satu patah katapun yang keluar dari bibirnya selain ajakan kembali ke kamar saat ia menyadari aku yang sudah berhenti makan dan kini bersandar sepenuhnya pada kursi.
“Gue keluar dulu ya Sach, sebentar.” ucapnya saat aku akan melangkahkan kaki masuk ke kamar mandi, nggak berapa lama setelah kami sampai di kamar.
Aku mengangguk sebelum mendengar suara pintu tertutup. Nggak ada pikiran macam-macam atas apa yang akan terjadi setelahnya.
Pukul 11.30, panggilan telepon pertama dari resepsionis, menanyakan apakah kami akan check out atau extend, yang tentu saja aku jawab dengan pilihan pertama. Dan Janitra belum juga kembali.
Pukul 12.00, panggilan telepon kedua dari resepsionis, menyanyakan pertanyaan yang sama, yang tetap aku jawab dengan pilihan yang sama. Dan Janitra masih belum juga kembali.
Pukul 12.05, ketukan pertama dari petugas hotel di pintu kamar kami. Aku memutuskan untuk menyapu ruangan sekali lagi, kalau-kalau ada barang yang tertinggal.
Pada detik ini aku tersadar, Janitra bukan pamit keluar, ia pamit meninggalkanku. Terlalu bodoh untuk menyadari lebih awal bahwa ia sudah membawa seluruh barangnya; ponsel, sweater, sepatu. Iya, hanya itu yang ia bawa.
Dengan langkah berat aku turun ke resepsionis, sepanjang lift turun aku sudah memikirkan kemungkinan terburuk dari semua ini – aku harus kembali ke Jakarta seorang diri.
“Mas, mau tanya, travel dekat sini ada nggak ya?” tanyaku ke salah satu petugas resepsionis yang membantu proses check out-ku.
Tentu saja aku sudah mengecek jadwal kereta untuk siang ini, yang sayangnya hanya tersisa jadwal kereta malam. Aku nggak akan mengambil resiko menaiki kereta malam, mengetahui bahwa aku harus bekerja pukul 8 pagi esok hari.
“Belum booking ya, Teh? Biasanya kalau belum booking, datang ke Ciwalk aja, di sana bisa beli tiket on the spot kalau ada sisa kursi.”
Aku mengangguk paham dan mengucapkan terima kasih sebelum menggeret koperku ke pintu masuk utama hotel. Di saat yang bersamaan, petugas yang berjaga pada pintu masuk bertanya apakah aku butuh taksi untuk ke tempat tujuan, yang segera aku iya kan.
Persetan dengan Janitra, syukurku lebih banyak aku panjatkan ke kursi kosong milik seseorang yang membatalkan kepergiannya ke Jakarta siang ini. Terlebih salah satu petugas travel memberiku satu kotak berukuran sedang berisi kebab lengkap dengan minum dan roti karena kelebihan jumlah pesanan dari seorang dermawan hari ini. Lagi-lagi aku berucpa syukur, karena jujur saja aku belum sempat mengisi perut siang ini, waktuku aku habiskan dengan menunggu Janitra.
Saat laju travel bergerak meninggalkan Bandung, aku tahu setelah ini kami nggak akan sama lagi.
Janitra long au soon.