Say It
Setibanya gue di CGK sore tadi, hal pertama yang terlintas di kepala gue adalah menemui Ariella – well, it's always her though.
Menghabiskan hampir satu minggu penuh tanpa Ariella di sisi gue, somehow, membuat gue sadar akan satu hal, gue butuh dia. Bukan karena paras cantiknya yang kadang membuat gue mempertanyakan wujudnya sebagai manusia, melainkan, sialan, bahkan untuk menjelaskan alasan kenapa gue butuh dia aja gue nggak mampu.
“Kenapa lo potong rambut, Alterra?” adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulutnya ketika dia melihat gue di hallway apartemennya.
Gue mendorong tubuhnya yang berada di ambang pintu untuk masuk ke dalam, sebelum mencuri kecup di bibir merah mudanya. “I miss you too.“
“Kan udah gue bilang jauh-jauh dari gunting.”
“Terus ni baiknya gue harus gimana, Ariella?”
Ia mendengus sebal, yang sayangnya malah mengundang tawa.
“Sini,” gue menepuk sisi kosong sofa di sebelah tempat gue bersandar. “Papi titip sesuatu.”
Papi nggak pernah suka berbicara dengan orang asing di luar masalah kerjaan, namun enam bulan yang lalu sewaktu Papi pulang ke Jakarta, gue mengajak Ariella untuk bertemu dengan beliau di salah satu restaurant. Semenjak itu, Papi sering kali menanyakan kabar Ariella, yang dengan senang hati selalu gue jawab sepenuh hati. Lagi pula, what's not to like about her?
“Papi titip apa?” ia bersandar di bahu gue, satu tangannya memainkan jam tangan di pergelangan tangan kiri gue.
Gue menoleh ke arahnya dan mendekat ke telingah kanannya sebelum berbisik, “Minta jadi mantu.”
Detik berikutnya satu pukulan cukup keras mendarat di dada dan lengan gue.
“Gue dibawain apa?” Ariella bangkit dan berjalan menuju koper besar di pojok ruangan. “Ini juga, tumben bawa koper.”
“Buka aja,” jawab gue masih sambil meringis akibat pukulan Ariella beberapa menit yang lalu. “Buat lo semua.”
Ariella is the prettiest when she is excited.
Seketika mata bulatnya berbinar begitu mendengar kalimat terakhir gue barusan. “Serius?”
Gue bangkit sembari menangguk.
Tanpa gue duga, Ariella menghambur ke pelukan gue yang membuat kami terjatuh ke sofa. Aroma moringa khas dirinya memenuhi indera penciuman gue.
“This feels nice,” bisik gue seraya mempererat pelukan di tubuhnya. “Lima menit.”
Gue merasakan Ariella mengangguk di ceruk leher gue.
“I miss you.” bisiknya pelan. “Jo nggak seru.”
“Why so?“
“Kalo nonton film banyak nanya. Makan snacknya juga berisik. Belum lagi hp dia bunyi terus.”
Gue terkekeh di balik surai hitam legam panjangnya. “Lebih seru sama gue dong?”
Ia mengangguk cepat.
Jo yang nggak seru atau lo yang sebenernya lebih mau sama gue, Le?
“Tapi,” Ariella menarik diri dari pelukan gue. “Lebih seru gue atau cewek yang lo post di Instagram lagi baca buku menu walaupun udah ada pastry sama kopi di meja?”
Ariella, it's you, it's always been you.
“Spesifik banget,” gue menjawil ujung hidungnya. “Did I smell jealousy?“
“You wish!“
Saat ia akan bangkit dari pelukan gue, dengan cepat tubuhnya gue putar dan perlahan gue jatuhkan di sisi lain sofa, yang membuat dia sekarang berada di bawah gue.
“It cost zero to admit,” ucap gue tepat di manik matanya. “Say it.“
Ia membuang muka, namun dengan perlahan gue bawa paras cantiknya embali menatap gue.
“Say it, Ariella.”
Bukan kalimat yang keluar dari bibir tipis miliknya melainkan kedua tangannya yang menarik kerah kemeja gue dengan cepat dan terburu-buru sebelum bibirnya membungkam milik gue secara bertubi-tubi.
“Don't” bisiknya di sela-sela ciuman kami. “Don't put me second.“
“Never.“