After Hours
“Capek?” tanyanya dengan suara kelewat lembut, membuat mataku yang semula terpenjam kembali terbuka.
Aku menoleh ke sosok laki-laki di balik kemudi yang beberapa menit lalu menjemputku di kantor. “Lumayan.”
Ia mengulurkan satu lengannya untuk mengusap pelan rambutku. “Mau makan dulu nggak?”
Aku mengangguk.
Alterra Mariano Riahi, yang biasa kupanggil Terra – or babe in certain situation, adalah sosok laki-laki dengan senyum yang sampai detik ini masih belum bisa kujabarkan penggambarannya. Pembawaannya yang tenang, cara ia bicara, gesture tubuhnya, ah the list is endless.
Kami bertemu dalam penerbangan dari Paris menuju Jakarta, berbulan-bulan lalu. Secara nggak sengaja ia duduk di seat sebelahku pada kelas bisnis. Aku yang gusar akan penempatan seat yang ternyata tidak sesuai ekspektasiku nyataya menyita perhatiannya.
“Would you like to switch the seat?“
Kudapati senyum manis dan nada suara hangat miliknya. “Is it okey?“
Bukan jawaban yang kudapatkan, melainkan dirinya yang bangkit dari kursi dan mempersilahkan aku menempatinya kursinya.
“I hate aisle.” akuku yang disambut tawa renyahnya. “Thank you.“
“It's Terra.” katanya sembari mencari posisi nyaman di tempat duduk barunya. “And you're welcome.“
“It's Ariella, by the way.“
Kami menghabiskan waktu belasan jam di atas pesawat dengan bertukar kisah – pendidikan, pekerjaan, bahkan keluarga. Percakapan bahasa inggris yang semula kami gunakan mendadak berubah menjadi candaan setelah aku yang nggak sengaja mengumpat karena ponselku yang jatuh, membuat laki-laki disampingku ikut tergelak lantaran dirinya nggak menduga bahwa aku dan dia berasal dari negara yang sama. Cerita tentang Tera akan kuberi tahu lagi nanti, karena kini yang terpenting adalah meyakinkan perasaanku bahwa Terra hanyalah sosok laki-laki asing biasa, dengan senyum yang luar biasa.
“Dijemput?” tanyanya saat kami sudah berada di baggage claim Terminal 3.
Aku menggeleng. “Naik taksi.”
“Mau bareng? Gue bawa mobil.”
Aku mengangguk sebelum akhirnya mengutuk diri dan membiarkan Terra mengambil alih koper besarku untuk berjalan ke arah di mana mobilnya terparkir.
“Lo inget kan event project yang gue ceritain kemarin?” Terra mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya pada jalan. “Itu tuh mereka minta ganti hari, sedangkan semua persiapannya udah hampir selesai. Gimana gue nggak migraine coba.”
“Udah coba ngomong sama atasan lo? Jangan semua jobdesc lo yang kerjain, Le. You're not paid enough for this.” Terra menarik rem tangannya saat kami berhenti di lampu merah. “Gue nggak mau ya angkat telepon dari lo jam dua pagi ngeluh sakit kepala and ended up di IGD RSPI.”
Aku menoleh ke arahnya dan mengulurkan satu lenganku untuk mengusap pipi tirusnya. “Won't happen again, I promise.“
Aku pikir setelah di mana malam ia mengantarku pulang saat kami tiba di Jakarta kala itu, nggak akan ada lagi alasan untuk kembali bertemu karena, well, nggak ada yang berinisiatif untuk meminta nomor telepon untuk sekedar bertanya kabar atau hal klise lainnya.
Namun satu minggu kemudian, kudapati dirinya yang sedang merokok di lobby apartmentku.
“I don't know,” katanya sambil mengangkat kedua bahu. “I just feel like talking to you.“
Kalimat pamungkas yang berakhir dengan satu botol white wine dan sekotak pizza di ruang tv apartmentku, serta beberapa lebam ungu menghiasi bawah leherku.
Hingga berbulan-bulan kemudian, sosoknya nggak pernah absen di hari-hariku.
“Thank you for another drive me home safely, Alterra.” aku mengecup pipinya saat ia menahan pintu mobil untuk aku keluar. “Rest well.“
Home sweet home, after a tiring-hectic-chaos day.
Aku menyalakan kran air di bathtub sebelum masuk ke kamar dan mengganti semua pakaianku. Sesaat kupandang diriku di depan cermin; bulu alisku yang mulai tumbuh, kantung mataku yang terlihat lebih hitam, serta pipi tembamku yang belakangan ini menjadi bulan-bulanan hampir semua orang kantor.
Ting!
Kulirik ponsel di ujung meja rias saat tengah membersihkan make up, yang segera kuraih setelah sekilas mendapati nama Terra di sana.
Terra : I change my mind. Can I go upstairs?