Midnight Encounter

Kurapatkan jaket hitam milik Terra yang sengaja kubawa ke Bandung kali ini – in case I miss his heavenly scent. Belum ada balasan dari Terra sejak terakhir kali aku mencoba untuk menghubunginya, pun pesan dariku belum ada yang ia baca.

Kenapa lama banget, batinku di depan lift yang masih berjalan dari lantai lima ke lantaiku di tiga belas.

Ding!

“Le?” aku mendongak kala mendengar seseorang memanggil namaku, di saat yang bersamaan dengan terbukanya pintu lift. “Mau ke mana?”

Aku mendongak dan mendapati sosok laki-laki yang jauh lebih tinggi dariku tengah menaikan satu alisnya. “Lo ngap –”

Kalimatku belum sepenuhnya tuntas ketika Terra menarik pergelangan tanganku ke kamar nomor 908 – kamar yang kutempati.

I miss you.” bisiknya sebelum merapatkan tubuhku ke dinding setelah berhasil menutup pintu, detik berikutnya ia memangkas jarak di antara kami. Aku tersenyum seraya melingkarkan kedua lenganku pada lehernya.

“Kalimat balik kerja tuh alibi doang ternyata, cih,” aku memukul pelan bahunya. “Miss me that much?

I do.” tangannya kini berada di pipiku, dengan perlahan turun ke rahang – his favorite spot to -

Dering telepon di sudut ruangan membuyarkan fokus kami.

Aku memejamkan mata kesal dan membiarkan Terra berjalan ke sebelah tempat tidur guna mengangkat panggilan.

“Halo?”

”.....”

“Boleh tolong diantar ke kamar?”

”.....”

Thank you.

Aku menghampiri Terra yang kini duduk di ujung tempat tidur. “Kenapa?”

Ia menepuk pahanya – mengisyaratkanku untuk duduk di pangkuannya, yang segera kuturuti.

“Gue order makanan.”

Satu alisku terangkat. “Woah, so I'm not your dinner.

Dessert.” balasnya cepat, diikutin senyum jahilnya. “Or appetizer, if you want.”

The latter sounds interesting.