Sad Movie

What's the most pain you've felt that wasn't physical? Mine is loving Rakailan, recently.

Satu minggu yang lalu nama Kailan muncul di notifikasi ponsel gue, setelah hampir satu bulan bungkam perihal salah paham yang gue sendiri nggak tau apa yang salah dan harus dipahami. Bubble chat terakhirnya cuma gue baca tanpa ada niatan untuk memperpanjang percakapan. Karena yang butuh waktu bukan cuma dia, untuk kali ini.

“Woi,” gue mengerjapkan mata saat Aceng melambaikan satu tangannya di depan wajah gue. “Mikirin Kailannya nanti dulu, besok acara nih.”

Gue tertawa sinis sambil menarik satu kertas dari tumpukan dokumen yang ada di hadapan gue. “Kok tau?”

“Tau kalo lo lagi mikirin Kailan?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop. Aceng melirik gue dari ekor matanya saat gue mengangguk. “Air muka lo beda, Ciw. Lo keliatan, apa ya, tenang?”

Gue mengangguk paham sambil kembali menatap dokumen-dokumen yang sekarang berada di tangan gue.

Kalau ditanya apa rasanya nggak komunikasi sama Kailan selama lebih dari satu bulan, I'd go with weird – right, it feels weird. Mungkin bisa dibilang hampir mirip putus sama pacar. Well, actually it worse. It was like breaking up with your best friend.

Sejujurnya gue merasa bersalah atas asumsi nggak baik yang gue lontarkan ke Kailan tempo hari. Harusnya gue tau kalo dia butuh waktu buat proses semua ini. Kailan bukan tipe orang yang dengan mudah menyerah akan suatu masalah – besar atau kecil, mengalah karena terlalu malas untuk beradu argumen nggak pernah ada di kamus seorang Rakailan. Dia akan dengan senang hati mendengar dan beropini, sekesal dan semarah apa pun. Jadi, sewaktu dia secara nggak langsung minta gue untuk kasih dia waktu perihal Keizya, gue tau masalah ini bukan sekedar asumsi gue atas Keizya, it's Kailan against himself. And I decided to back off and gave him some space – for both of us.

“Ceng,” gue menutup laptop yang menghalangi kami. “Menurut lo Kailan nggak nembak gue karena apa?”

“Karena nggak semua orang butuh validasi atas suatu hubungan.” jawabnya sambil membolak-balik dokumen di atas meja.

“Kan biar jelas, Ceng.”

“Jelas nggak jelasnya hubungan bukan didasari dengan tembak menembak, Keiramina.”

Ouch, right in the heart.

But he has a point.

Hari-hari di mana Kailan dan gue nggak komunikasi, nggak ada satu hari pun gue lewatin dengan merasa kalau hubungan kami – yang entah bisa disebut apa, berjarak. Kalau ditanya apa gue sakit hati perihal Keizya, jawabannya nggak. Gue nggak sakit hati, gue kecewa. Sebisa mungkin gue coba buat lihat ini semua dari sudut pandang Kailan – walaupun hasilnya nihil, karena nggak ada yang benar-benar tau isi hati si gemini satu itu. I feel bad for him, di saat dia lagi butuh dukungan, gue malah membombardir dia dengan segala asumsi gue.

And now I miss him.

Gue kangen Kailan main dota, bahkan kadang gue buka Steam cuma buat lihat activity dia. Sekarang baru terasa kalau berisiknya dia ternyata nggak senyebelin itu. Kadang kalau Abang lagi main dota sama Kailan, gue suka nguping dari depan pintu. Speaking of Abang, dia nggak tau kalau gue dan Kailan lagi dalam keadaan yang nggak terlalu baik.

Beberapa kali gue mendapati Ami yang sedang typing di WhatsApp, she probably knows about me and Kailan being not in a good term, yang berhari-hari setelahnya nggak ada satu pun chat yang beliau berhasil kirim.

Keilist yang Kailan buat khusus buat gue, surprisingly, selalu bertambah satu lagu setiap hari senin – as promised. Dari spotify activity juga gue bisa melihat dia yang dengerin Transatlanticism on loop. Kailan is the man of his words.

Satu yang gue sayangkan dari semua ini adalah, dia yang nggak transparan. Kailan selalu bilang, bahkan kalau kamu kesandung batu di depan fakultas pun cerita ke aku. Dan kenapa perihal Keizya – his twin sister, I repeat, his twin sister, dia nggak bisa cerita. Apakah gue nggak cukup baik buat tau soal keluarganya? Which leads me to think about who am I in his life for these past two and half freaking years.

“Ceng, abis acara free nggak?” tanya gue ke Aceng yang sekarang sibuk mengaduk kopi hitamnya dengan sendok plastik.

“Mau ciuman?”

“You wish. Tolong temenin ke salon, mau nggak?”

“Mau ngapain?”

“Kayaknya gue mau potong rambut.”

Detik berikutnya Aceng tertawa. “Do you really want to cut your hair or do you just want to change something in your life physically that you can't do emotionally?

Aldrich Abasi speaking the truth.