Prague, with you.

Terhitung sudah lebih dari delapan belas kali Kailan berkata I miss you dalam tiga puluh menit terakhir. Kalau saja setiap Kailan mengatakan I miss you gue mendapatkan satu euro, I'd be a millionaire by now.

Sebenarnya bukan hal baru, pun sewaktu kami ada di satu ruangan yang sama, dia akan tetap berkata I miss you. Satu waktu gue tanya ke dia, jawabannya, It's very much possible that you're missing someone despite the fact that they're right in front of you, Keiramina.

Stay close.” titah Kailan sewaktu kami mengamati The Dancing House dari ujung jembatan. “Nanti kamu diculik drakula.”

Gue mengalihkan pandangan ke Kailan sambil senyum sinis. “That'd be a pleasure, Kailan. I don't mind, like, at all.

Stop watching Vampire Diaries, they can't actually bite you.” gue tau Kailan memutar bola matanya di sebelah gue.

But two can play a game, right? “Who can bite me then?

Kailan menaikan satu alisnya dan mendekatnya wajahnya ke hadapan gue, detik setelahnya dia turun ke ceruk leher sambil membuka lebar-lebar mulutnya seakan dirinya makhluk yang haus darah di depan mangsa utama. Then he kissed my neck.

Perks of having you outside Jakarta.” bisiknya sambil tertawa jahil.

Say no more.” gue menarik diri dari Kailan sebelum mengecup kilat bibirnya dan berjalan mendahuluinya.

Kailan were right, Prague is magical. Deretan bangunan tua ghotic yang mungkin terkesan menyeramkan untuk beberapa orang, namun menjadi daya tarik tersendiri bagi penikmat peradaban bohemia.

Setelah mengamati The Dancing House – yang nggak benar-benar menari, kami berjalan menyusuri Vlatava River – the longest river in the Czech Republic, menuju Charles Bridge.

Kailan menghentikan langkahnya tepat di depan gerbang hitam dengan tinggi menjulang yang menjadi salah satu tempat wisata utama kota ini.

“Kenapa, Kai?” tanya gue sambil ikut menghentikan langkah. Berusaha menahan tubuh gue yang sesekali beradu dengan milik orang lain.

Kailan nggak langsung menjawab, alih-alih dia mendongak, urat lehernya sampai terlihat jelas.

Gue ikut mendongak.

I remember when I was six, when I first visited this bridge with Ayah – karena yang lain masih jet lag waktu itu, I was really amazed by its magnificent.” Kailan menurun kepalanya dan tersenyum ke gue. “Then I realized, it was Charles Bridge that made me fell in love with Europe, not The Eiffel Tower.

Aku mengangguk setuju. “Couldn't be more agree.

Shall we?” Kailan mengulurkan lengannya yang langsung gue amit sebelum kami melangkah masuk ke Charles Bridge.

Lima lahkah setelah kami memasuki Charles Bridge, Kailan memulai ceritanya. Kailan kecil tinggal di Prague setelah Ayah-nya harus kembali ke HQ perusahaan multinasional tempat beliau bekerja. Gue juga baru tau kalau orangtua Ayah tinggal di sini. Kailan bilang, Oma nggak mau jauh-jauh dari belahan jiwanya. Oma loves reading so much, just like you and Ami, kata Kailan saat ia membantu gue turun dari tangga batu di ujung jembatan.

“Opa tuh salah satu eksil yang nggak bisa balik ke Indonesia, kewarganegaraannya dicabut. Sedangkan Oma masih WNI, tapi nggak mau ninggalin Opa sendiri. Jadi mutusin buat tinggal di sini, bahkan sampai Opa tutup usia – lima tahun lalu, Oma masih nggak mau pulang.”

Kailan menghentikan langkahnya tepat di sebelah dindang besar penuh coretan.

“Ini namanya Lenon Walls, as in John Lenon.” jelasnya sambil menaruh beberapa crown – mata uang Ceko, di kotak musisi jalanan yang sedang melantunkan lagu If I Fell.

If I fell in love with you Would you promise to be true And help me Understand

Cause I've been in love before And I found that love was more Than just Holding hands

If I give my heart To you I must be sure From the very start That you Would love me more than her

If I trust in you Oh please Don't run and hide

If I love you too Oh please Don't hurt my pride like her

Cause I couldn't stand the pain And I Would be sad If our new love was in vain

So I hope you see That I Would love to love you

If I fell in love with you ...

One of my favorite The Beatles songs.” bisik gue di telinga Kailan. “What a luck.

“Mau nulis nggak?” Kailan menunjuk kotak spidol di tengah dinding.

“Yuk!”

Kalan bilang, Lenon Walls ini satu-satunya tempat di Prague yang legal untuk dicoret-coret.

It's a significant political and historical symbol all in one, mirip Berlin Wall lah kalo kata orang.” katanya sambil menuliskan entah kalimat apa dengan spidol warna merah. “Yoko Ono even visited this place in 2003. Kamu nulis apa?”

Gue menutup spidol hitam dan memberikan ruang untuk Kailan melihat kalimat yang barusan gue tulis.

In the end, when it's over, all that matters is what you've done.” ucapnya dengan senyum. “Alexander the Great, am I right?

Gue mengangguk. Mengingat obsesi gue akan mitologi – entah yunani atau romawi, yang tiba-tiba kembali naik pesat setelah membaca ulang salah satu buku Edith Hamilton. Membuat Kailan harus extra sabar menjadi pendengar yang baik kala gue mengirimkannya tiga puluh menit voice notes teori konspirasi kalau Alexander the Great hanyalah title, bukan sebuah nama.

“Kamu nulis apa?” tanya gue sambil mendekat ke dinding tempat dia menuliskan -

“Kailan,you gotta be kidding me.

I'm not?

Come on, Kailan was here with Keiramina? You could've, ah udahlah.”

Kailan hanya tertawa melihat gue yang sedikit frustasi akan tingkah konyolnya dan memutuskan untuk berjalan meninggalkannya.

“Kai,” panggil gue saat kami duduk di outdoor area Starbucks sambil menunggu antrian masuk Prague Castle merenggang.

Kailan yang sibuk dengan ponselnya hanya menoleh sekilas ke arah gue – memberitahu kalau dirinya dengar.

“Aku, kira-kira, boleh tau dan liat makam Opa nggak?”

Detik berikutnya, gue mendapat atensi penuh darinya. “Boleh. Boleh banget. Besok mau?”

Entah kenapa tapi gue melihat sorotan mata ... terkejut? Entahlah.

Nggak lama setelah melihat antrian mulai sepi, gue dan Kailan masuk ke Prague Castle. Mengucapkan selamat tinggal ke Starbucks paling cantik di muka bumi.

Masuk ke area kastil, gue seakan ditarik ke ribuan tahun lalu. Kailan bilang, kastil ini masih digunakan untuk kantor kepresidenan.

“Salah satu kastil terbesar di dunia.” ujar Kailan sambil menunjuk salah satu katedral dalam area kastil. “Katedral St.Vitus. Ujung menaranya yang kita liat dari balkon kamar dan Charles Bridge tadi.”

Setelah berkeliling di kompleks kastil, gue dan Kailan menuruni anak tangga yang membawa kami ke jembatan favorite Kailan – tentu saja setelah Charles Bridge.

“Sini,” Kailan menarik gue mendekat. “Bengong sama aku sambil liatin crowded-nya Charles Bridge.”

Gue bersandar di bahu Kailan sambil ikut menikmati suasanya siang Prague, ditemani burung-burung yang terbang bebas di langit abu khas musim dingin. Beberapa kali kapal wisata berisi para turis hilir mudik membelah sungai Vlava.

“Makan Trdlo di kota lama yuk.” ajak Kailan sambil merapatkan coat cokelat miliknya.

Old town,” singgah gue cepat sambil tertawa. “Kota lama mah Semarang.”

Trdelník or Trdlo is a sweet pastry glazed with mix of sugar, cinnamon and chopped nuts. Gue pesan yang original dengan tambahan cream di dalamnya. Lucu, bentuknya jadi seperti ice cream.

“Hey,” gue menepuk bahu Kailan yang terlihat kebingungan. “Kenapa?”

“Kamu tunggu di sini, gapapa ya? I think I saw familiar faces.” ucapnya tenang sambil mengecup puncak kepala gue. Tapi sayang, gue tau ada sekelibat rasa khawatir yang coba dia tutupi. “Stay here, atau di Candy Store sebelah yang ada tempat duduk. I won't be long.

“Hati-hati ya.” kata gue sebelum melihat punggungnya hilang di tengah keramaian.