Hamburg Song

Sore ini gue harus sedikit mengumpat saat gaun satin hitam dan coat panjang yang sudah gue persiapkan sedari siang, harus basah diterpa hujan angin. Hamburg nggak seperti Prague. Well, sama cantiknya, tapi sayang di sini lebih sering hujan, yang mana semakin membuat udara turun drastis.

Pagi tadi gue dan Kailan menyempatkan diri berkunjung ke Hamburger Rathaus dan Mönckebergstraße. Kemudian berpindah menikmati indahnya the famous artificial lakes a.k.a Alster Lakes, dan untuk makan siang di salah satu resto di area Pöseldorf.

Pukul empat sore, gue dan Kailan memutuskan untuk pulang ke hotel, untuk bersiap menghadiri The Nutcracker di Hamburg State Opera. Everything went well. The ballet was epic and beautiful. The songs, the orchestra, just perfect. Worth every penny.

“Kailan,” panggil gue dari belakang bahunya.

Kailan mematikan puntung rokok dan membuangnya ke tempat sampah tepat di sebelahnya. Kemudian membuka lebar-lebar coat hitamnya. “Sini.”

Gue nyengir lebar dan segera masuk ke dekapannya. Kailan hanya tertawa sambil merapatnya badan gue ke badanya serta mendaratnya satu kecupan di puncak kepala gue sebelum ikut mengistirahatnya dagunya di atas kepala gue.

“Pelan-pelan,” Kailan mengulurkan lengannya ke gue saat kami berjalan keluar Opera menuju gerbang utama untuk kembali ke hotel.

Tepat dilangkah kelima, titik-titik air turun turun. Gue refleks melindungi kepala dengan handbag dan sedikit berlari menuju tempat berteduh terdekat sambil mengumpat dalam hati. Namun nggak lama setelah itu, ada satu tangan yang menarik gue dari belakang, sontak membuat gue berputar seratus delapan puluh derajat.

Ditengah hujan dan udara delapan derajat kota Hamburg, Kailan mencium gue. Satu tangannya dia selipkan ke belakang punggung gue – menahan limbung tubuh yang sudah ia tau persis sebabnya. Iya, Keiramina Earl nggak bisa dicium dalam keadaan berdiri, terutama ciuman dari laki-laki satu ini. Detik berikutnya gue nggak peduli lagi dengan tetesan hujan dan orang asing yang berlalu-lalang, I kissed him back, wholeheartedly. Dengan sisa tenaga, gue berjinjit untuk melingkarkan kedua lengan gue di lehernya. Gue merasakan senyum Kailan – dia tau kelemahan gue yang satu ini, jadi bisa dipastikan kalau he did this intentionally.

“Aku nggak bisa nyium kamu di tengah m-bloc,” ucapnya saat dua belah bibir kami nggak lagi menyatu. “Jadi mumpung di sini ya sekalian.”

Gue masih mengatur napas yang belum kembali normal. Ciuman Kailan, entah kenapa, selalu berhasil membuat gue limbung. Selalu. It wasn't just butterflies, it was a fucking fireworks, bahkan detak jantung gue melebihin dentuman pasak bumi yang sedang ditanam di suatu bangunan baru di tengah kota.

“Besok kayaknya flu nih,” kata gue sambil memijat pelan pelipis kanan saat kami sudah sampai di lobby hotel. “Gapapa lah ya, ada kamu ini yang rawat kalo sakit.”

“Ada kamu juga ini,” sambung Kailan. “Saling rawat aja deh biar win-win solution.

“Di lantai delapan kayaknya ada grand piano, liat nggak kamu tadi pas kita late breakfast?” tanya Kailan sambil merangkul pinggang gue saat kami masuk ke lift.

“Ada, di pojok ruangan gitu kalo nggak salah.”

“Mampir ke sana dulu mau nggak?” gue menoleh ke arah Kailan dengan satu alis terangkat. “I'll sing you one song. Well, I need the urge to sing this song since this is the perfect city that suit the song itself. So, may I, Miss. Keiramina Earl?

I'd love to.