Merry-Go-Round of Life
Do you ever look at someone and your heart just freaking melts? Because I just did.
Rakailan bersandar di sebelah Volkswagen Beetle hitam miliknya dengan satu tangan di saku celana dan tangan lain yang sibuk dengan ponselnya. Ripped jeans abu-abu, t-shirt putih dan kemeja lengan panjang yang ia gulung sampai siku screams Rakailan so much. It feels like forever since I've seen him, bahkan setelah berbulan-bulan nggak bersua, masih dia yang jadi juara pertama perihal membuat gue salah tingkah hanya dengan kehadirannya.
“Apa kabar, Keiramina?” tanyanya sambil menyisir rambutnya yang sudah panjang dengan jari lentiknya, setelah duduk di sofa yang bersebrangan dengan gue di ruang tengah. He calls my name like a prayer – like an amen.
“Baik, Kailan. How's yours?” No, it's the way we call each other's name like a prayer – like an amen.
“So,” gue melipat kedua tangan di depan dada, mempersiapkan diri untuk mendengar segala penjelasan darinya. “What brought you here?“
Ada helaan napas kecil yang samar gue dengar di sana. Di satu sisi, ingin rasanya menghampiri Kailan dan mengusap puggungnya – sekedar menyampaikan secara tersirat bahwa nggak ada salahnya menjadi rentan. Namun di sisi lain, ada satu keraguan tak kasat mata di antara kami yang masih sarat akan kejelasan.
“Ami bilang, when we assume what our friends, partner, even family are feeling and thinking, we somehow created a story that might not be true. So if you want to know – to clarify, go ask them.” tatapan mata Kailan bertemu dengan mata gue yang sedari tadi nggak lepas dari sosoknya. “Are you and that guy named Aceng, a thing?“
“What makes you say that?“
“I saw you two, I don't know, pretty close.“
“We were close, does that mean we are a thing?“
“We are, not we were.“
Gue menggigit bibir bagian dalam ketika mendengar penekanan Kailan pada kata are. I know Kailan, when you love someone so much, letting go is never an option. But love, is a strong word for both of us right now.
“Aceng has a girlfriend, Kailan.” kali ini gue mendongak sambil tersenyum kecil. “He has a crush on Claudia – junior aku di jurusan. Clau cerita ke aku, karena kita satu divisi di BEM. Aceng juga cerita ke aku, karena basically dia temenku. So I helped them and voila, two became one.“
Kailan menatap gue dengan senyum simpul samarnya. “It's a relief.“
Ada hening di antara kami pasca kalimat terakhirnya. Bukan, bukan hening yang canggung. Berbulan-bulan nggak bertemu dan minim kamunikasi nggak bikin kita jadi orang asing, in fact his heart and my heart are very very old friends.
“Aku minta maaf, Keiramina.” for a split I knew, I love Rakailan so much it's not even funny because he is a comfort and a heartbreak to me at the same time, at least for now. “Keizya – adik kembarku, meninggal karena hanyut di sungai, tujuh tahun lalu, waktu kami masih tinggal di Prague. Waktu itu aku, Ami, Ayah, dan Kagi lagi piknik di pinggir sungai. Aku sama Keizya cari batu kali sampe agak jauh dari yang lain, karena arusnya tenang, aku sama Keizya ke tengah. Tapi tiba-tiba ada arus deres ... itu cepet banget ... aku bahkan nggak bisa liat Keizya ... the world just stops –”
Kailan is a man of a few words and emotions. Melihat dia yang bicara terbata-bata membuat gue langsung beranjak dari sofa dan berpindah ke sebelahnya. Menceritakan kembali kejadian menyakitkan di dalam hidup bukanlah hal yang mudah. Jadi yang gue lakukan setelahnya adalah menggenggam satu tangannya dan mengusap punggungnya dengan satu tangan yang lain. Kailan being vulnerable is a rare sight to see.
“Aku shock ditinggal Keizya secepat itu. Bertahun-tahun aku coba buat ikhlas tapi ternyata nggak bisa.” Kailan mendongak dan menoleh ke arah gue. Tatapan matanya tenang, namun gue tau ada perih yang ia simpan di sana, berusaha sekuat tenaga agar nggak menjatuhkan satu tetes air mata. “Waktu aku bilang I saw familiar faces di Old Town itu, yang aku tinggal kamu di Candy Store, aku lihat Keizya – lagi jalan bawa tas belanja hijau pakai cardigan lavender yang Oma bikin khusus buat dia sebagai hadiah ulang tahun. Aku masih denial, Keiramina. Aku bahkan ribut sama Ayah perihal ini. Sampai akhirnya kita semua ketemu di Prague dan bahas semua hal yang nggak aku tau.”
If Rakailan was a book, this is the ripped chapter – the one with the drops from the tears shed.
“Aku selalu punya pikiran kalau Keizya masih ada, that the police did us dirty. Bertahun-tahun, Keiramina, aku hidup dalam rasa bersalah. Hari itu Ayah dan Ami kasih tau kalo polisi kasih mereka bukti – karena Ayah sama keras kepalanya sama aku perihal kehilangan Keizya. Liontin dengan foto keluarganya kita. Saat itu rasanya aku mau marah – ke diri sendiri. But then I remember you, a girl who came and help me laugh a little harder and cry a little less. And I decided to forgive everything, including myself.”
“Aku nggak pernah ada niat buat jadiin kamu pelampiasan atas apa pun. Di awal aku pikir aku tertarik sama kamu karena sekilas kamu ngingetin aku sama Keizya – muka mungil dan rambut panjang. Tapi nggak Keiramina, you're more than that. Kamu Keiramina, buka Keizya.” Kailan memijat pelipis kirinya dengan pelan setelah kaitan tangan kami terlepas. “Aku minta maaf perihal kalimat this isn't working yang pernah aku ucapin ke kamu. Maksud dari kalimat itu bukan hubungan kita, tapi lebih ke cara komunikasi kita saat itu. Maaf karena aku seakan narik diri juga. Setelahnya pun aku nggak langsung bahas, I really need time back then. Soal drunk calls and texts, like I said, I have so much of you in my heart, dalam keadaan sadar dan nggak sadar sekali pun – my head is spinning but all I think about is you. And the worst pick up lines I've ever said to you, hell, I wish I could take my words back. Aku minta maaf ya, Keiramina. I'm sorry if I hurt you during the process.”
Gue mengulurkan tangan untuk mengambil segelas air dingin di meja kecil sebelah sofa, menegak tandas isinya tanpa sisa.
“Kailan,” mulai gue tanpa mengalihkan pandangan dari gelas di tangan gue. What do you expect? Me looking at him while letting out my doubts? No, thanks.
Dia menoleh ke arah gue. “Hm?”
“Aku minta maaf juga, ya? Asumsiku waktu itu keterlaluan, harusnya aku paham keadaan kamu, bukan malah nge-push kamu buat jawab dan mentingin egoku. Sekali lagi maaf ya, disaat kamu butuh dimengerti, aku malah nggak bisa ngertiin sama sekali. Jadi mulai sekarang bagi dukanya sama aku, ya? It's not fair that we laugh together but you cry alone.”
Ada banyak hal yang mau gue ucapkan, tapi ternyata yang bisa gue keluarkan hanya itu. But it's good, though. Ada satu hal yang gue sadari belakangan ini, we can apologize because we value them, and it isn't always about being wrong.
Gue meletakan kembali gelas kosong ke meja di sebelah sofa. “Mau kamu atau aku?”
“Apa?” tanyanya dengan tatapan bingung.
“Yang peluk?”
Detik berikutnya Kailan sudah merengkuh gue ke dalam dekapannya. Damn, he smells like a dream – a really good dream. His hug is always warm, Kailan indeed sunshine in a human form. I've never ever been more stresses out than this. To finally able to be in his arm all over again.
“On a serious note,” Kailan melonggarkan pelukannya. “Mulai sekarang aku mau egois, boleh ya? Buat sayang sama kamu lebih dari porsinya. Jadi, sama aku terus ya, as my significant other – my better half.”
Boleh, Kai. I'm all yours. Namun yang keluar hanya anggukan.
Dari artikel tentang healthy relationship yang gue baca, ada empat bagian yang harus kita pahami perihal hubungan yang kita jalani itu sendiri. Appreciation, along side with safety in conflict – which the ability to disagree without harsh judgement, realistic expectation dimana jelas kita sadar kalau nggak ada satu orang pun yang bisa memenuhi apa yang kita mau, dan yang terakhir openness – to be curious, vulnerable, and emotionally conncected.
Kailan kembali menarik gue ke pelukannya, diikuti satu lengannya yang mengusap lembut punggung gue. “I really like the fact that as a grown up, we're able to learn that life doesn't always turn out the way we initially wanted – dreamed. And somehow, that's okey.“
Lagi-lagi gue mengangguk setuju. Memeluk Kailan is a free therapy. Kalau ada moment di mana otak gue nggak bisa diajak kerja sama untuk berpikir, mungkin ini salah satunya.
“Kailan,” gue memposisikan dagu gue tepat di bahunya. “I never wanted to be your whole life, just your favorite part. If you don't mind.“
“You already are.” jawabnya. Gue bahkan bisa merasakan senyumnya di kalimat yang baru saja ia ucapkan.
Sewaktu gue berusaha untuk melepas pelukan, Kailan menolak. Ia malah mempererat rangkulannya. “If you give me a long hug I might start crying.”
Kemudian Kailan menyerah dengan melepaskan pelukannya, walaupun kedua lengannya masih setiap di pinggul gue. “Ami was right, when a women cut her hair, she could kill a man too. I'm nearly dying, you know. And I realized you deserve happiness and everything you could possibly desire and I'm going to work my ass off so I can give you everything. God, I love you so much and I hope you stay around for a long time because I think, well, forever is such a long time, but I want you in my life forever.“
“You're being talkative,” gue mengangkup wajahnya. “I love it.”
“My mouth can do a better job than talking tough.” godanya sambil mendekatkan wajahnya ke arah gue, diikutin dengan senyum jahilnya.
Gue tertawa untuk beberapa saat sebelum mengamati wajah Kailan, tiap lekuknya nggak luput dari pandangan. Why on earth this man is so attractive. “I love you, boyfriend.“
“It's such an honor to finally call you my girlfriend, Keiramina.” ucapnya tulus tepat di mata gue, sedangkan jari-jarinya mengelus lembut pipi gue. At this point, I couldn't be more in love with this guy. “And I love you too. Always.“
Somebody once said that trauma isn't something about what happened to us, it's about the story we tell about ourselves based on what happened to us, and re-writing our story is key.
No one compares to the person I met on my healing pace. Rakailan, thank you for making me feel things I thought I could never feel in life.
Kailan : Transatlanticism book version available in offline and online bookstore, published by Penerbit Bukune.