The Truth Untold

TW // Abuse, Divorce

Kalo ada temen gue yang tanya perihal hubungan gue dan Sabian, dengan berat hati gue akan jawab cuma temen sambil senyum tipis sebelum berlalu pergi. Do I love him? without doubt, I wish I could explain. Jadi waktu gue buka pintu kosan dan ngeliat Sabian berdiri sambil gigit bibir atasnya – cuma dia dan Tuhan yang tau seberapa lama dia nahan nangis, gue langsung tarik dia masuk buat meluk.

Nggak ada satu kata yang keluar dari mulut Sabian sejak satu jam yang lalu. Tangisannya udah berhenti, menyisakan mata bengkak yang masih merah.

“Minum dulu,” gue ngulurin hot chamomile tea karena di luar hujan. Also chamomile help people relax since he's not at his best self right now.

Thank you.” dia senyum kecil sambil ngulurin mug kosong ke gue. His smile doesn't even reach his eyes.

Feel better?” tanya gue dari dapur. Sabian masih nggak bergerak dari posisi pertama dia – duduk bersandar di kaki tempat tidur.

Much better, thanks to you.


“Aku nggak tau mulai kapan – karena lebih banyak ngabisin waktu di sini dari pada di rumah, tapi beberapa kali Mirza – adik aku, bilang kalo Papa Mama mulai sering ribut dan mecahin barang. Satu waktu bahkan Mirza liat Mama ditampar – yang buat dia bener-bener takut sama Papa-nya sendiri. Kalo udah ada suara ribut-ribut, dia aku suruh masuk kamar dan dengerin lagu full volume, sampe dia nggak bisa denger suara dari luar. Dan meledaknya kemarin – Papa mukul Mama sampe ujung pelipisnya sobek, Mirza kirim voice note ke aku nangis nangis. Aku balik ke Jakarta bener-bener nggak pake rem, isi pikiranku cuma Mirza, karena Zara – adik aku yang paling kecil, lagi di rumah Oma. Aku nggak sempet ketemu Papa, dia cuma suruh tinggal kunci mobil – “

“Makanya kamu balik ke Bandung naik kereta dan dijemput Kak Tama.”

Dia noleh ke arah gue – posisi kita terlentang sebelahan di tempat tidur menghadap langit-langit kamar. Satu tangannya meraih tangan gue. “Maafin aku, Sienna.”

Gue ikut noleh dan senyum – walaupun dia tau banyak pertanyaan yang ada di kepala gue, yang mungkin akan gue tanyain cepat atau lambat.

Sabian balik menatap langit-langit kamar gue sebelum lanjutin ceritanya. “Papa nikah sirih sama perempuan lain dan Mama minta cerai. And that's not even the worst part. Papa jadiin rumah di Jakarta sebagai jaminan atas pinjaman yang dia ajuin di awal bangun usaha propertinya. Semua habis – mobil, motor, furniture. Semester ini aku nggak dikasih uang kuliah – but thanks to Jo yang bantu lobby dosen wali aku dan untuk minta keringanan ke Dekan. Dan alasan aku pindah ke Tama –”

“Karena Papa kamu nggak kasih uang untuk perpanjang kosan.” gue melanjutkan kalimat Sabian dan memutar badan gue buat meluk dia.

It hurts, Sienna. Dadaku sakit.”

Gue cuma bisa meluk dia karena gue juga sama clueless-nya. And it sucks to see someone you love suffer in pain when there's nothing you can do to stop it – and sometimes worse than suffering yourself. Gue menghela napas pelan, satu pertanyaan lain yang sedari kemarin mengganggu pikiran gue, sebisa mungkin gue tahan. Mungkin nggak sekarang.